Mohon tunggu...
Naufal Al Zahra
Naufal Al Zahra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pendidikan Sejarah FKIP UNSIL

Dari Sumedang untuk Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Petualangan Hamka ke Tanah Jawa

17 Februari 2022   19:08 Diperbarui: 17 Februari 2022   19:13 1172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Haji Rasul, ayahanda Buya Hamka (sumber gambar: Twitter malakmal)

Tepat pada hari ini, 114 tahun silam, seorang lelaki yang ditakdirkan menjadi ulama dan pujangga terkemuka bangsa Indonesia dilahirkan. Ia bernama Abdul Malik Karim Amrullah. Tetapi, orang-orang lebih akrab mengenalnya dengan nama Buya Hamka (1908-1981).

Sebenarnya, nama Hamka yang masyhur dikenal orang itu adalah akronim namanya sendiri. Hamka adalah singkatan dari nama panjangnya; Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Sementara, Buya adalah semacam istilah "ayah" atau penyebutan tokoh yang dituakan di Minangkabau.

Ayahnya adalah ulama terkemuka, Syaikh Dr. Haji Abdul Karim Amrullah atau yang terkenal dengan gelarnya, Haji Rasul (1879-1945) dan ibundanya bernama Shafiyah. 

Ayah Hamka merupakan tokoh berpengaruh yang menggagas lembaga pendidikan Sumatra Thawalib dan aktif sebagai mubalig Muhammadiyah di Minang.

Haji Rasul, ayahanda Buya Hamka (sumber gambar: Twitter malakmal)
Haji Rasul, ayahanda Buya Hamka (sumber gambar: Twitter malakmal)

Hamka sendiri dilahirkan di Nagari Sungai Batang, Minangkabau pada 17 Februari 1908. Sejak kecil, ia berada di bawah asuhan dan didikan ayahnya. Sebagai seorang ulama, Haji Rasul memberikan pelajaran agama secara intensif kepada Hamka kecil sampai dirasanya cukup.

Dari kecil sampai dewasa, Hamka tidak pernah duduk belajar di bangku sekolah formal. Pendidikan dasarnya cukup ia dapatkan dari guru tersayang yang tiada lain adalah ayahnya sendiri. 

Kendati begitu, Hamka bukanlah sosok yang lekas cukup dengan semua itu. Ia adalah pribadi yang haus ilmu. Dalam perkembangannya, Hamka tumbuh sebagai pembelajar otodidak. 

Oleh karena itu, tidaklah mengejutkan jika Hamka, seorang lulusan pendidikan surau mampu menjadi ulama sekaligus pujangga yang super produktif menerbitkan beraneka ragam karya sastra.

Yogyakarta Menyimpan Kesan

Sesampainya pada usia remaja, Hamka sempat merasa menjadi anak muda yang nakal. Dalam buku Ayahku (cetakan ulang 2019) karangan Hamka, dikisahkan bahwa saat usianya 15 tahun, ia pergi bertualang ke Bengkulu lalu pulang ke kampung dengan membawa penyakit. Tak sampai lama tinggal di kampung, Hamka meneruskan petualangannya ke Tanah Jawa sendirian.

Kali ini ia hendak melawat ke sana untuk mencari ilmu Islam. Semula tekadnya ditentang oleh Haji Rasul. Namun, bila maksudnya ingin menimba ilmu kepada iparnya yaitu A.R Sutan Mansur di Pekalongan, ayahnya itu membolehkannya. Hamka mengenang dalam buku Ayahku, menurutnya, kelakuannya saat itu telah membuat ayahnya pusing.

Di balik pusingnya sang ayah akibat ulah Hamka, rupanya terdapat keberkahan yang sedang menanti putranya di Tanah Jawa. 

Yusuf Maulana dalam bukunya berjudul Buya Hamka Ulama Umat Teladan Rakyat (2018), menerangkan bahwa pengalaman paling mengesankan yang dirasakan Hamka selama berada di Tanah Jawa yaitu manakala dirinya menimba ilmu di Yogyakarta.

Pada saat Hamka berada di Yogyakarta, tokoh-tokoh pergerakan sedang aktif-aktifnya membangun kekuatan. Tak terkecuali para tokoh pergerakan Islam khususnya dari Sarekat Islam dan Muhammadiyah.

Bertemu dengan Beberapa Tokoh Islam

Di Yogyakarta, Hamka mengikuti kursus yang diselenggarakan SI. Saat itu, untuk kali pertama, ia berkesempatan melihat langsung wajah tokoh-tokoh yang sebelumnya hanya bisa ia baca atau dengar namanya dari kampung. 

Beberapa tokoh yang sempat ia lihat dan ambil ilmunya langsung dalam kursus SI waktu itu ialah Tuan Tjokroaminoto (SI), Surjopranoto (SI), Haji Fakhruddin (Muhammadiyah), dan Ki Bagus Hadikusumo (Muhammadiyah).

Bagi seorang Hamka yang berasal jauh dari kampung, kesempatan itu ia manfaatkan sebaik mungkin untuk menimba ilmu dari mereka. Dari sekian tokoh yang mengajarinya, Hamka terkesan dengan tiga orang tokoh, yaitu; Tjokroaminoto, Surjopranoto, dan Haji Fakhruddin.

Dari beberapa tokoh yang sempat ia ambil untaian ilmunya dalam kurusus itu, rupanya Hamka menyimpan kesan tersendiri kepada Tjokroaminoto. Anhar Gonggong dalam bukunya HOS. Tjokroaminoto (1985) memuat ulasan Hamka tentang perawakkan tokoh yang dianggap sebagai guru bangsa itu.

“Badannya sedikit kurus, tetapi matanya bersinar. Kumisnya melentik ke atas. Badannya tegak dan sikapnya penuh keagungan, sehingga walaupun beliau telah tidak mempedulikan lagi titel Raden Mas yang tersunting di depan namanya, namun masuknya ke dalam majelis tetap membawa kebesaran dan kehormatan, sehingga segala wajah mesti tunduk kepadanya, tunduk penuh cinta.”, demikian terang Hamka.

Hamka dibuat kagum oleh Tuan Tjokroaminoto yang mampu menerangkan hubungan Islam dengan ide sosialisme-komunisme yang saat itu sedang digandrungi kaum muda. Sedangkan, bersama Surjopranoto, ia mendapat pelajaran sosiologi agama. Adapun bersama Haji Fakhruddin, Hamka memperoleh materi tentang penguatan akidah.

Dalam kursus itu pula, Hamka mulai mengenal magnum opus karya Muhammad Abduh, seorang tokoh pembaharu Islam dari Mesir. 

Pasalnya, dalam kursus itu, Ki Bagus Hadikusumo mengajarkan tafsir Al-Manar karangan Abduh yang fenomenal pada sekitar awal abad ke-20. 

Namun, secara pribadi, Hamka menyayangkan penggunaan metode pembelajaran tafsir yang dibawakan oleh tokoh Muhammadiyah tersebut.

Modal Seorang Mubalig

Hamka yang berusia remaja menghabiskan waktu selama satu tahun di Jawa. Setelah itu, ia kembali ke kampung halaman dengan membawa bekal-bekal ilmu yang didapatkannya. 

Sesampainya di kampung, Hamka secara perlahan mulai berani unjuk tampil di muka, menyampaikan ilmu seraya mempraktikkan retorika ala tokoh-tokoh Islam yang ia ambil ilmunya di Jawa.

Berkat pengaruh figur Tjokroaminoto, kemampuan retorika Hamka meningkat. Pidatonya di hadapan massa mampu memikat hati. Bila Hamka berpidato di depan sebayanya, tampaklah semangat mudanya nyala berkobar. 

Kandungan pidato yang disampaikannya berisi, tidak seperti pada umumnya. Hal itu disebabkan, karena sewaktu mengikuti kursus SI di Jawa, pelajaran yang diberikan kepadanya lebih banyak berkutat soal ideologi, politik, dan kondisi sosial yang sesuai dengan jiwa zaman itu.

Meski Hamka fasih berbicara dengan gaya retorikanya sendiri. Haji Rasul, ulama terpandang dari Minang yang juga ayahnya sendiri mengetahui titik kelemahan putranya. Utamanya dalam penguasaan bahasa Arab. Sehingga, ayahnya ini merekomendasikan Hamka untuk lebih intens lagi mempelajari bahasa Arab sebagai modal pokok seorang mubalig.

Selepas petualangannya dari Jawa, Hamka secara bertahap mampu menjadi seorang juru dakwah yang bernilai lebih. Oleh karena Hamka mampu meramu materi keislaman dengan kandungan materi yang berkesesuaian dengan zeitgeist (jiwa zaman) kala itu. 

Kendati Hamka mempelajari dan menyampaikan tentang berbagai hal baru kepada massa seperti ideologi besar dunia saat itu yaitu sosialisme-komunisme. Namun, ia sendiri tidak terbawa arus untuk tampil sebagai propagandisnya.

Hamka mengarahkan narasi-narasi pidatonya agar tiap-tiap poin pembicaraan yang tampak samar menjadi jelas dan dapat diterima hati para pendengarnya, terutama kaum muda di ranah Minang untuk lebih dekat lagi dengan ajaran Islam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun