masyarakat pribumi Hindia Belanda. Pergerakan yang lahir pada tahun 1912 ini memiliki empat misi yang dijalankan, yaitu pembaruan agama, perubahan sosial, kekuatan politik, serta pembendung kristenisasi. Tak terkecuali riwayat panjang pendirian Muhammadiyah Pekajangan yang berangkat dari persoalan sosial dan pendidikan masyarakat di akar rumput.
Pada awal kehadirannya, Muhammadiyah sudah banyak dihadapkan pada berbagai permasalahan yang terjadi di tengahPekajangan sendiri merupakan sebuah desa kecil yang masuk ke dalam wilayah administratif kota Pekalongan, Jawa Tengah. Secara geografis wilayah Pekajangan terletak di bawah Kecamatan Kedungwuni, bagian selatan Kota Pekalongan.
Pekajangan banyak dihuni oleh komunitas masyarakat dengan tradisi panjang dalam pembuatan batik yang menjadi mata pencaharian mayoritas masyarakatnya. Hasil kerajinan batik kemudian dipasarkan ke berbagai daerah di luar Pekajangan seperti Yogyakarta dan Solo.Â
Hasil produksi batik yang ada bukanlah untuk keperluan domestik melainkan hanya terbatas pada keperluan perdagangan indidividu semata. Kendati demikian, pesatnya penjualan batik di Pekajangan secara tidak langsung berpengaruh terhadap kemunculan lembaga-lembaga Islam di sana. Hal ini disebabkan semakin besar kekayaan seorang pengusaha batik, semakin besar pula peluang mereka untuk mengakses lembaga-lembaga pendidikan Islam dan menunaikan ibadah haji. Faktor ini pula yang nantinya turut menjadi sebab berdirinya Muhammadiyah di Pekajangan.
Kelahiran Muhammadiyah Pekajangan tidak bisa dilepaskan dari peran seorang putera daerah Pekajangan pengusaha batik dan stagen bernama K.H Abdurrahman (1879-1966). Lahir di tengah keluarga pengusaha batik dengan ekonomi yang mapan membuat K.H Abdurrahman memiliki kesempatan untuk mengenyam ilmu di beberapa pesantren sebagai lembaga pendidikan mainstream yang mahsyur ketika itu, serta tak lupa berhaji ke baitullah.Â
Berbekal keilmuan dan pengalamannya baik ketika menempuh pendidikan di pesantren maupun saat berhaji, K.H Abdurrahman pada akhirnya mendirikan lembaga pendidikan keagamaan umum bernama Ambudi Agama yang kelak menjadi cikal bakal Muhammadiyah di Pekajangan. Ambudi Agama sendiri pada awalnya hanyalah kelas pengajaran agama informal yang diinisiasi K.H Abdurrahman atas izin karibnya; Haji Dimyati yang ketika itu menjadi Kepala Desa Pekajangan. Pengajian ini sendiri berbentuk majelis pengajaran agama Islam dan baca Qur'an yang dilaksanakan di langgar hingga masjid desa.
 Namun seiring dengan berjalannya waktu, kelas itu semakin berkembang dan menjadi lebih terorganisir hingga akhirnya terbentuk lembaga pengajian bernama Ambudi Agama pada tahun 1921. Dalam pelaksanaannya K.H Abdurrahman mendapat dukungan dari teman-teman karibnya, seperti K.H Dimyati, K.H Cholil, Chumasi Hardjosubroto, Kiai Asmu'i yang pernah menjadi Ketua Pondok Djamsaren di Solo dan rekan-rekan lainnya
Belum genap setahun beroperasi, pada tahun 1922 organisasi ini harus diberhentikan pemerintahan kolonial Belanda dengan dasar peraturan Ordonasi Guru-Agama Islam-yang dikeluarkan Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1905 atas saran Het kantoor voor Inlandsche zaken (kantor bagian urusan pribumi.)Â
Di tengah halangan dalam penyiaran agama Islam, K.H Abdurrahman teringat kabar tentang berdirinya perkumpulan agama Islam bernama Muhammadiyah di Yogyakarta. Ketika itu ia cukup menaruh perhatian pada Muhammadiyah karena mereka memiliki lembaga pendidikan bernama Pondok Muhammadiyah yang  cukup terkenal.Â
Hal itu bukan hanya karena mereka berani meminjam sistem klasikal dan piranti atau unsur-unsur pendidikan Belanda, termasuk mengintegrasikan ilmu-ilmu sekuler dan ilmu-ilmu agama sekaligus, tapi juga kegiatannya yang cenderung aman serta tidak terkena represi Pemerintahan Kolonial.
Guna mengonsultasikan masalah yang tengah terjadi, K.H Abdurrahman memutuskan untuk datang langsung ke Yogyakarta ditemani Kiai Asmu'i. Namun keberangkatan K.H Abdurrahman ke Yogyakarta sempat dicekal oleh beberapa kawannya, salah satunya Chumasi Hardjosubroto yang mengklaim bahwa perkumpulan Muhammadiyah yang berada di Yogyakarta merupakan perkumpulan Kristen.Â
Tanpa tanggapan berlebih, K.H Abdurrahman ditemani Kiai Asmu'i akhirnya berangkat ke Yogyakarta untuk menemui Pimpinan Besar Muhammadiyah di Kauman guna mencari solusi bersama atas rentetan permasalahan dakwah di Pekajangan. Sesampainya di Yogyakarta K.H Abdurrahman ditemui langsung oleh K.H Ahmad Dahlan untuk mendiskusikan masalah yang sedang terjadi.Â
Segera saja Kiai Dahlan menyarankan agar didirikan cabang kepengurusan Muhammadiyah di Pekajangan, karena Muhammadiyah merupakan organisasi legal yang sudah diakui pemerintah kolonial walau ketika itu Muhammadiyah tengah melewati masa percobaan pendirian organisasi selama sepuluh tahun (1912-1922.) Rupanya saran K.H Ahmad Dahlan tersebut cukup menarik hati K.H Abdurrahman dan lantas diamini olehnya. Ia berhasil membuktikan bahwa Muhammdiyah bukanlah organisasi Kristen seperti apa yang diucapkan karibnya Chumasi.
Tidak lama sekembalinya rombongan K.H Abdurrahman dari Yogyakarta, K.H Ahmad Dahlan mewakili Hoofdtbestuur (Pengurus Besar) Muhammadiyah mengutus delegasi beranggotakan Ki Prodjokusumo, H. Muchtar, H. Machdum dan H. Wasool Dja'far ke Pekajangan untuk membicarakan rencana pendirian cabang Muhammadiyah di Pekajangan. Para Pemuda Pekajangan seperti H. Abdurrahman, H. Dimyati (Kepala Desa Pekajangan,) Makhali, A. Aziz, Mashuri, Jalil, Abdurrahim (Putera H. Abdurrahman) bersama dengan utusan dari Kauman tadi berembuk bersama. Hasil dari rundingan tersebut adalah keluarnya maklumat tentang berdirinya Persyarikatan Muhammadiyah di Pekajangan. Akhirnya setelah rampung masa percobaan organisasi Muhammadiyah, dimulailah proses pelebaran sayap Muhammadiyah di Pekajangan.Â
Berdasarkan Besluit No.13/PK tanggal 15 November 1922 secara resmi diputuskan bawa Muhammadiyah Pekajangan berdiri pada 15 November 1922, dengan diketuai oleh K.H Abdurrahman. Ketika itu K.H Ahmad Dahlan turut mengunjungi Pekajangan untuk meresmikan cabang Muhammadiyah Pekajangan dan turut menginap di rumah Kiai Cholil. Pendirian Muhammadiyah cabang Pekajangan ini sudah mendapat surat resmi dari Pimpinan BesarMuhammadiyah artinya segala kegiatan yang nantinya dilaksanakan memiliki bentuk legal karena Pemerintah Kolonial sudah menyetujui aktivitas Persyarikatan Muhammadiyah di seluruh Hindia Belanda.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H