Mohon tunggu...
Naufal Adi Prasetyo
Naufal Adi Prasetyo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa 23107030119 UIN Sunan Kalijaga

Topik konten yang saya sukai adalah seperti rekomendasi film-film dan terkadang saya juga menyukai topik-topik berkaitan yang sedang hangat dibicarakan seperti salah satunya seputar mental health ataupun berita internasional

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Hustle Culture di Dunia Perkuliahan, Emang Boleh Sesibuk Itu?

17 Mei 2024   18:48 Diperbarui: 17 Mei 2024   18:50 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar diambil dari Freepik: master1305

Perlu kita ketahui terlebih dahulu, apa itu Hustle Culture. Jadi hustle culture merupakan istilah yang menggambarkan keadaan seseorang yang terus menekan dirinya untuk selalu bekerja keras demi menjadi sukses. Bagus dong? Terus apa salahnya? 

Oke baik, hustle culture menjadi hal negatif karena kerja keras akan melakukan sesuatu tidak dibarengi dengan memikirkan kesehatan fisik serta mental kita sendiri. 

Sering kali kita temui dalam dunia perkuliahan, teman atau bahkan kita sendiri yang cenderung mengambil banyak kegiatan  dari organisasi ataupun ukm. 

Hal tersebut kebanyakan datang dari gagasan bahwa jika tergabung dalam suatu organisasi atau ukm akan menambah relasi, pengalaman, serta jangan menjadi mahasiswa "KuPu-KuPu". 

Nah biasanya perkataan semacam ini menimpa para mahasiswa baru. Jadi nih buat kalian yang sebentar lagi jadi mahasiswa bisa simak terus artikel ini.

Sebenernya perkataan-perkataan semacam itu tidak sepenuhnya salah. Ada benernya. Kenapa? Karena tentu dengan memilki banyak relasi akan memudahkan kita mendapatkan link-link pekerjaan setelah kita lulus kuliah. Lalu pengalaman pun juga akan memudahkan kita dalam dunia setelah lulus kuliah. Lantaran pengalaman-pengalaman selama kuliah kita tersebut dapat kita cantumkan pada CV kita serta pengalaman juga memudahkan kita dalam menjalankan pekerjaan. Lalu letak kesalahannya dimana? Letak kesalahannya terletak jika kita mengikuti organisasi dan ukm sana-sini tanpa mempertibangkan kedepannya mau jadi apa. Lebih parah lagi jika menuangkan energi atau kerja keras ke pada suatu hal yang sebenernya gak disuka dan sinkron sama cita-cita atau goals kita. Udah mah gak sinkron, lalu juga gak memikirkan tentang diri sendiri. Nah kurang lebih seperti ini lah penjelasan dari Hustle Culture. Selanjutnya, apa sih yang mendorong atau faktor yang menyebabkan seseorang termasuk ke dalam Hustle Culture? Berikut dibawah ini akan disebutkan serta dijelaskan mengenai poin-poin tersebut dilansir dari glints:

1. Toxic Positivity

Yaitu merupakan paham mengatakan bahwa nggak peduli sesulit apa keadaan yang sedang kita rasakan, kamu tetap harus bersikap positif. Jadi seolah-olah kita harus menahan emosi negatif. Karena bukan cuma kita saja yang merasa kesusahan, tetapi juga semua orang. Kira-kira begini kata-kata yang mengandung toxic positivity yang sering kita dengar dari teman atau kita baca melalui media sosial. "itu mah masih nggak seberapa", "lu mah masih mending, lah gue?, "yuk bisa yuk jangan nyerah" memang kelihatannya seperti kata-kata penyemangat, akan tetapi dampaknya membuat kita terbungkam dan menahan perasaan negatif yang sedang kita rasakan. Memang, memiliki pandangan hidup yang positif dan pemikiran yang positif itu baik untuk kesehatan  mental, akan tetapi hidup tidak selalu positif dong. Iya kan? Kadang kala kita juga merasakan emosi yang tidak menyenangkan, nah hal tersebut sebaiknya kita terima dan tangani secara terbuka sehingga mencapai kesehatan psikologis yang lebih baik.

2. Kurang mengenal diri sendiri

Kita dapat dapat mencegah diri kita dari hustle culture dengan mengenal diri kita terlebih dahulu. Seperti penjelasan diawal tadi bahwa kita harus mempertimbangkan goals kita kedepannya dalam mengambil keputusan-keputusan seperti mengambil ukm atau pun organisasi, supaya kita kerja keras yang kita curahkan bukan sekedar "kerja keras" saja. Contohnya seperti ini. Kamu bercita-cita sebagai seorang public relation. Maka sebelum itu kamu harus tau dulu Langkah-langkah menuju kesana tuh harus apa aja. Seperti latihan menulis atau berbicara serta kamu dapat mengambil peminatan ke organisasi atau komunitas yang dapat melatihmu ke pada skill-skill tersebut.

3. Teknologi yang kian praktis

Ternyata perkembangan teknologi juga ikut andil dalam maraknya budaya bekerja keras ini loh. Jika kita kaitkan pada hustle culture yang terdapat pada lingkup mahasiswa, teknologi sekarang yang serba digital memudahkan segala sesuatu dilakukan secara online, dan dapat dilakukan dimana saja. Seperti halnya WFH, mahasiswa dapat melakukan berbagai tugasnya melalui internet dan terkadang menjadi lupa waktu dan lupa untuk beristirahat. Jadi membuat seseorang bahwa hustle culture memungkinkan untuk dilakukan padahal bisa saja melewati batas kemampuannya lalu tipes deh. Bercanda hihi.

4. Stigma Masyarakat

Seringkali masyarakat memiliki asumsi bahwa semakin sibuk seseorang artinya orang itu akan dan semakin sukses. Lalu anggapan masyarakat mengenai patokan sukses seseorang hanya pada pekerjaan tertentu. Sehingga hal tersebut memungkinkan seseorang terpaksa mengikuti standar sosial tersebut, karena jika tidak, mereka akan dilihat sebagai orang yang belum sukses. Hal ini balik lagi pada yang disebutkan tadi, yaitu seseorang jadi bekerja keras terhadap hal yang sebenernya tidak ia sukai dan tidak sesuai dengan goal yang dimiliki.

Gambar diambil dari Freepik: rawpixel.com
Gambar diambil dari Freepik: rawpixel.com

Selain menyebabkan terganggunya kesehatan fisik dan mental kita. Hustle culture dapat menyebabkan kita tidak punya waktu untuk kehidupan pribadi. Hal ini cocok nih sama lagu Hindia yang berjudul "Untuk Apa?" pada lagu itu , menggambarkan orang-orang yang sibuk mengejar cita-cita dan lupa bahwa mereka punya rumah yang merupakan tempat dari sebuah keluarga yang memiliki rasa, kasih, sayang dan cinta. Selain itu, dampaknya dapat berupa tidak puas dengan hasil kerja yang telah kita lakukan. Biasanya orang yang sudah terjebak kedalam hustle culture ini akan cenderung membandingkan hasil kerjanya dengan orang lain. Sehingga kita yang padahal punya standar dan batas kemampuan sendiri jadi mengikuti pace orang lain.

Lalu apa nih solusinya? Pertama jangan membandingkan diri kita dengan orang lain, seperti penjelasan sebelumnya jadi nggak perlu dijelasin lagi yah hehehe. Kedua, mencari hobi diluar pekerjaan kita atau tugas kita. Hal ini dapat membuat hidup kita lebih seimbang atau istilah kerennya "work-life balance". Jadi kita nggak selalu harus bekerja keras mengejar goals kita, tetapi disela-sela waktu itu dapat kita isi dengan hobi kita. Selanjutnya, berkaitan dengan poin sebelumnya, kita harus lebih mengenal diri sendiri agar tau nih kita mau kemana, lalu dengan mengenal diri sendiri juga kita juga tahu kapan nih kita harus beristirahat dan lanjut melakukan pekerjaan atau kegiatan lagi.

So, boleh buat bekerja keras, apa lagi kalo untuk mencapai tujuan atau cita-cita. Tetapi kesehatan fisik dan mental serta kehidupan pribadi kita jangan sampai kita lupakan. Karena hal tersebut juga sama pentingnya juga. Semoga bermanfaat!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun