Semenjak negara Indonesia ini merdeka, dunia pendidikan telah berulang kali mengalami perombakan sistem ajar atau kurikulumnya. Dimulai dari adanya "Rentjana Pembelajaran 1947" yang mana merupakan bentuk kurikulum pertama yang diterapkan di Indonesia hingga sekarang Kurikulum 2013 dengan segala "Revisi" penyempurnaannya.Â
Jika menelisik lebih dalam, kondisi perpolitikan di negara ini agaknya selalu mempengaruhi sistem pendidikan di setiap periodenya. Ide atau gagasan atau pemikiran di setiap menteri baru bidang Pendidikan yang kerap kali berbeda menimbulkan adanya perubahan-perubahan pada sistem pendidikan ini. Walaupun semua tujuan tersebut didasarkan atas keinginannya untuk meningkatkan taraf kualitas pendidikan Indonesia, namun nyatanya kerap ditemukan kesulitan yang tentunya sangat berarti di lapangan. Mungkinkah pemangku kebijakan kurang menganalisis tindakan preventif untuk pengimplementasiannya? Atau memang masyarakat kita yang belum siap menerima perkembangan?Â
Kurikulum sejatinya adalah "ruh" tersendiri bagi dunia pendidikan. Tanpa adanya kurikulum yang baik dan terstruktur, sudah barang tentu pendidikan yang dijalankan hanya sebatas nama tanpa ada hasil yang bernilai. Melihat dari sisi perkembangan dan kemajuan zaman, Kurikulum Merdeka yang baru-baru ini digaungkan tentunya dihasilkan dari pemikiran-pemikiran yang matang dan mendalam. Para pengembang kurikulum bukan serta merta membuat suatu terobosan kurikulum pendidikan tanpa memikirkan positif dan negatif hasilnya. Di sinilah peran "Pembuat Kurikulum" harus aktif berkolaborasi dengan para pihak yang berkecimpung langsung di lapangan pendidikan (Guru dan Tenaga Kependidikan).Â
Kembali ke bahasan awal, akankah kurikulum ini menjadi faktor pendukung yang memudahkan atau malah menjadi faktor penghambat?Â
Justifikasi serta merta tidak boleh di keluarkan tanpa melihat berbagai perspektif. Adanya kurikulum baru tentu bisa menghasilkan result yang baik maupun yang kurang baik. Kita ambil permisalan dari Kurikulum Merdekan ini:Â
Kurikulum Merdeka bisa menjadi satu hal positif bagi siswa, dimana mereka tidak lagi terikat dengan penjurusan-penjurusan di jenjang sekolahnya (khususnya jenjang SMA-red). Mereka akan diberikan kebebasan memilih mata pelajaran yang sesuai minat, bakat, dan aspirasi diri mereka sendiri. Walaupun dalam pengimplementasiannya, siswa tetap diawasi dan dibimbing melalui arahan dan konsultasi dengan Guru BP/BK.Â
Dari persepektif negatif, penulis beranggapan bahwa masih banyak guru-guru yang mungkin merasa kesulitan dengan perkembangan zaman yang semakin teknologikal ini. Mungkin untuk para GTK muda hal ini bukanlah sesuatu yang berarti, namun untuk guru yang sudah terbilang berumur bukankan ini menjadi kendala tersendiri?Â
Kembali lagi, di sinilah peran aktif dan kolaboratif di perhitungkan antara pemangku kebijakan dengan para GTK yang notabene berada langsung di lapangan perlu ditingkatkan. Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa kegiatan seperti pengadaan diklat, pengarahan, pembekalan atau yang semavamnya guna mengsinergikan visi dan misi dari adanya kurikulum yang baru ini.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H