Mohon tunggu...
Irsyadi AN
Irsyadi AN Mohon Tunggu... Lainnya - Orang biasa

Hanya ingin belajar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

(Ber)Bahasa -- Tantangan Afektif dalam Pendidikan Bahasa

25 Juli 2024   16:05 Diperbarui: 25 Juli 2024   17:37 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Berbahasa memiliki indikasi bahwa seseorang memiliki pengetahuan dan kompetensi tentang suatu bahasa. Seseorang yang memiliki pengetahuan bahasa kerap kali dianggap memiliki kompetensi berbahasa. Padahal, tidak ada jaminan bahwa seseorang dapat mempraktikkan pengetahuannya dengan benar dan sesuai dengan konteks yang membaluti bahasa, baik konteks budaya, sosial, etika, dan aspek lainnya. Penyebaran bahasa prokem ataupun bahasa gaul hampir tidak memberikan tabir pembatas antarpenutur sebagai diferensiasi. Variasi bahasa tersebut rupanya tidak memandang usia. Lantas bagaimana seorang pendidik menanggapi fenomena tersebut?

Sejatinya, kompetensi berbahasa dan tindakan berbahasa adalah dua konsep yang berkaitan namun berbeda. Kompetensi berbahasa mengacu pada kemampuan seseorang dalam menguasai aturan-aturan bahasa, termasuk tata bahasa, kosa kata, dan fonologi. Sementara itu, tindakan berbahasa adalah penerapan praktis dari kemampuan ini dalam situasi komunikasi nyata. Lebih lanjut, persoalan pengetahuan masih terbilang abstrak, bahkan hanya bergeliat pada proses mentalis saja. Di sisi lain, kompetensi seseorang dalam menerapkan suatu bahasa secara verbal cukup perlu menjadi perhatian. Apalagi, jika kognisi seseorang terhadap suatu bahasa masih cukup minim. Yang akan menjadi tantangan adalah falsifikasi dalam praktik berbahasa. Falsifikasi dapat berujung pada normalisasi (ber)bahasa -- bentuk bahasa apapun akan dianggap normal dan suatu 'kewajaran' selagi tidak ada konflik yang muncul sebagai akibat.

Fenomena yang relevan pada tajuk ini adalah ragam tindak-berbahasa pelajar dalam menyikapi terbuka-bebasnya persebaran bahasa prokem. Hampir tidak ada pembatas dan pembeda antara penutur yang sudah berusia maupun yang berstatus sebagai pelajar. Terbukanya interaksi antar individu membuka peluang tersebarnya bahasa prokem, dan potensi digunakannya dalam aktivitas komunikasi. Mengutip konsep Flores and Ludlow pada tahun 1980 tentang Language-Action Perspective (LAP), dikatakan bahwa bahasa tidak sekedar pertukaran informasi, melainkan juga menggambarkan suatu tindakan. Di sisi lain, jika merujuk pada konsep cooperative principle, maka akan ada ketidaksesuaian dan pelanggaran maksim yang terjadi dalam suatu interaksi. Boleh jadi, penggunaan bahasa prokem tidak sesuai dengan konteks tuturan yang sedang berlangsung.

Konsekuensi logis akan diperoleh pada saat persebaran bahasa prokem dapat menjalar pada kepribadian pelajar. Penting untuk menjadi catatan bahwa penanganan terhadap penyimpangan siswa tidak hanya penting untuk dilihat dari perspektif tindakan semata, melainkan juga tindakan berbahasa. Tindakan dan berbahasa bisa menjadi dua hal yang memengaruhi pelanggaran dan kasus kekerasan di sekolah yang dilakukan oleh pelajar. Tindakan berbahasa akan menjadi penting sebagai salah satu aspek penopang keberlanjutan pada pendidikan.

Memasuki Kerangka Perkembangan Berkelanjutan

Tindakan berbahasa dalam paradigma berkelanjutan merujuk pada upaya untuk menggunakan bahasa secara bijak dan bertanggung jawab. Dalam konteks ini, tindakan berbahasa mencakup penggunaan kata-kata yang penggunaannya perlu memperhatikan dampak terhadap lingkungan sosial dan budaya. Ada empat konsentrasi logis yang akan dilibatkan jika tindakan berbahasa menjadi salah satu perhatian dalam pengembangan dan keberlanjutan pendidikan.

Pertama, aspek perdamaian antarpelajar. Hal ini berkaitan erat dengan suasana belajar dan interaksi yang kondusif di sekolah. Penggunaan bahasa prokem dan kata-kata yang cenderung provokatif dan kasar dapat pula memicu terjadinya perselisihan antarindividu di sekolah, sehingga akan mengurangi efektivitas kegiatan yang berlangsung. Penggunaan bahasa yang inklusif dan tidak diskriminatif mendorong rasa menghargai keragaman di antara pelajar. Begitu pula, berbahasa dengan baik dan tidak menggunakan kata-kata yang dapat menyinggung dan memicu ego individu lainnya akan berdampak pada keberlangsungan mereka di sekolah.

Kedua, aspek tindak kekerasan non-verbal. Kekerasan non-verbal dapat meliputi penggunaan bahasa yang tidak senonoh, tidak baik, dan mengandung unsur ejekan. Bullying menjadi salah satu fakta kekerasan non-verbal yang biasa terjadi di lingkungan sekolah. Tindakan non-verbal seperti bullying dapat meninggalkan dampak psikologis yang mendalam pada korban, dan sedikit-banyak memengaruhi cara mereka berkomunikasi di masa depan. Trauma yang dialami bisa menyebabkan gangguan bicara, ketakutan dalam berkomunikasi, atau perubahan dalam pola bahasa. Jika dilihat, tindakan berbahasa dapat memicu, mencerminkan, dan membantu mengatasi kekerasan non-verbal. Pendidikan yang tepat dan intervensi berbasis bahasa memainkan peran penting dalam mengenali dan menangani kekerasan non-verbal, membantu individu dan komunitas mengembangkan lingkungan yang lebih aman dan komunikatif. Pemahaman yang lebih dalam tentang hubungan ini dapat mendukung upaya untuk mengurangi kekerasan dan meningkatkan kesejahteraan emosional dan sosial dalam masyarakat.      

Ketiga, aspek revitalisasi nilai pendidikan. Bahasa dan revitalisasi nilai pendidikan sangat terkait karena bahasa memainkan peran penting dalam pendidikan dan mempromosikan nilai-nilai penting yang berhubungan dengan konteks sosial, budaya, dan pendidikan. Mempelajari pantun, hikayat, puisi, dan pitutur menjadi salah sejumlah instrumen dalam menjaga aspek keluhuran dan etika dalam tindakan berbahasa siswa. Dengan mengajarkan bahasa yang baik kepada siswa, mereka dapat terbantu mengembangkan kemampuan berkomunikasi yang baik dan mempromosikan nilai-nilai seperti kejujuran, rasa hormat, dan keadilan.

Keempat, aspek moralitas individu dan kelompok. Dalam hal ini, bahasa memainkan peran penting dalam mempromosikan nilai-nilai moral dan membangun komunitas yang kuat dan inklusif. Sejatinya, bahasa mengandung unsur kebudayaan yang dapat terpaut dalam rangkaian kata yang digunakan, ataupun pada dialek seorang penutur. Seseorang dapat mengidentifikasi dari daerah mana seorang penutur berasal dengan melihat karakteristik berbahasanya.

Hubungan antara tindakan berbahasa dan moralitas individu serta kelompok adalah saling berkelindan dan penting dalam pembentukan interaksi sosial yang harmonis. Tindakan berbahasa tidak hanya sebagai alat komunikasi tetapi juga sebagai cerminan dan pembentuk moralitas. Dalam konteks kelompok, bahasa berfungsi untuk menyampaikan dan memperkuat nilai-nilai moral yang dianut bersama, menciptakan kohesi sosial yang kuat. Sebaliknya, moralitas memandu bagaimana bahasa digunakan, memastikan bahwa komunikasi yang terjadi bersifat etis dan konstruktif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun