Mohon tunggu...
Irsyadi AN
Irsyadi AN Mohon Tunggu... Lainnya - Orang biasa

Hanya ingin belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

'nyambal' - Simulasi dan Kritik Gastronomi

27 Oktober 2022   18:29 Diperbarui: 27 Oktober 2022   21:17 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Perkembangan kuliner Indonesia memang tidak diragukan lagi. Dari tahun ke tahun, ada inovasi yang dilakukan pada setiap jenis makanan dan minuman. Hal ini merupakan tren dalam persaingan pasar produk olahan berupa makanan dan minuman. Pasar dan tuntutannya menjadi salah satu faktor adanya inovasi yang dilakukan oleh pelaku usaha di bidang kuliner. Mereka bergerak memahami tren pada makanan dan minuman yang saat itu beredar, dan kerapkali melakukan inovasi hiperkinesi yang dapat ditinjau dari komposisi (bahan), bentuk, visual, dan bahkan harga.

'nyambal' merupakan satu fenomena yang sering menjadi bentuk dari hiperkinesi kuliner di Indonesia. Banyak penikmat kuliner yang memburu makanan yang memiliki tingkatan pedas yang luar biasa, dengan puluhan hingga ratusan cabai yang digunakan. Globalisasi informasi melalui perangkat elektronik menjadi salah satu relasi kuasa yang digunakan untuk menyebarkan keunikan kuliner tersebut, sehingga daripadanya mengundang pelaku usaha yang sama untuk melakukan hal yang sama, namun dengan konsep yang berbeda; misalkan, penggunaan nama produk kuliner yang berbeda namun meniagakan produk yang serupa.

Bagi mereka, menjadi 'viral' merupakan potensi yang diperlukan untuk meningkatkan jumlah konsumen dan income. Sesuatu yang dikemas dan dibuat dengan komposisi yang berlebih menjadi hal yang unik, namun mengandung belenggu ironi. Disinilah kritik gastronomi berperan. 'nyambal' sebagai tema dan produk kebudayaan kuliner perlu ditinjau dari kritik gastronomi yang berfungsi sebagai pencegahan dini terjadinya gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh makanan dan konsumsi berlebih; memediasi perubahan dan inovasi dalam bidang kuliner untuk tetap menjaga marwah kebudayaan dan kemaslahatan bersama, terkait keberlangsungan hidup individu. Gastronomi menyoroti efektivitas kuliner sebagai produk kebudayaan terhadap kesehatan sistem pencernaan manusia. Kombinasi ataupun aspek interdisipliner pada kritik gastronomi tidak dapat dihindari, karena kebudayaan dan kesehatan merupakan dua hal yang dinamis dalam kehidupan manusia. Sistem kebudayaan membangun suatu iklim kesehatan di suatu populasi, sebaliknya kesehatan membentuk budaya higienis dan sehat dalam kehidupan masyarakat.

Kritik gastronomi menggabungkan prinsip kebudayaan dan kesehatan. Dalam hal ini, suatu kebudayaan tidak dapat selalu dimaknai sebagai sesuatu yang secara masif dilakukan oleh sejumlah kelompok ataupun menjadi karakteristik khusus yang berlaku secara umum terhadap suatu kelompok. Kuliner, menjadi salah satu bentuk dari kebudayaan, karena memperkenalkan ragam rempah nusantara yang dapat diolah menjadi berbagai jenis masakan dan olahan. Tentunya, untuk mencapai taraf hidup dan pemenuhan kesehatan yang baik. 'nyaman' merupakan suatu pilihan, namun 'menyehatkan' tidak lagi menjadi perhatian; atau mungkin sengaja tidak diperhatikan. Sebagai fakta, jamu merupakan olahan tradisional, yang diolah melalui kekayaan alam nusantara. Bagi sebagian orang, jamu tidak 'nyaman' atau 'tidak enak' dikonsumsi. Ia hambar, tidak terlalu manis, bahkan pahit, namun ia mengandung manfaat yang bermakna bagi kesehatan. Persoalan yang dihadapi saat ini, pada aspek apakah 'nyambal' sebagai fenomena kuliner berkontribusi bagi keberlangsungan hidup konsumen atau penikmat?

Konsumsi yang berlebih akan menghasilkan dampak yang tidak baik bagi konsumen. Tubuh, khususnya organ dalam perut memiliki kapasitas masing-masing. Ia merupakan arena, dimana olahan pedas mendominasi. Data penelitian di China pada tahun 2019 menunjukkan hubungan antara asupan cabai yang tinggi dengan penurunan kognisi diantara remaja China, terutama bagi mereka yang memiliki berat badan yang normal. Hasil penelitian tersebut dimuat pada jurnal ilmiah Nutrients naungan Multidisciplinary Digital Publishing Institute (MDPI). Secara legalitas, pastinya data yang disampaikan akurat dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Selain itu, penelitian terhadap 101 populasi di tahun 2020 menyimpulkan bahwa mengkonsumsi makanan pedas dapat membuat perut terasa terbakar, serta dapat meningkatkan respons dinding/lapisan dubur.

Secara mendasar, cabai memiliki kandungan vitamin dan manfaat -- sama halnya buah dan sayuran lainnya. Akan tetapi, apabila dikonsumsi secara berlebihan, maka akan menimbulkan dampak yang tidak baik -- bahkan buruk bagi kesehatan. Kritik gastronomi memediasi antara ketimpangan dalam proses kultivasi kuliner yang ada, kuliner yang jauh dari marwah kesehatan dan lebih mementingkan materi. Dalam kesadaran kita, kita akan beranggapan bahwa perubahan jenis dan komposisi kuliner dari waktu ke waktu terjadi atas dasar asimilasi, dan ironinya dapat berujung pada difusi. Kuliner, dituntut menjadi agen dalam kapitalisme pasar. Kendati demikian, ada sejumlah pelaku usaha kuliner yang masih mengandalkan dan menghidangkan hidangan tradisional ataupun modern namun tetap memperhatikan kualitas kesehatan produk mereka. Bagi kami, gastronomi melihat kondisi kuliner di Indonesia dalam dua-aspek: esensi dan ekspresi. Bisa jadi, perubahan dan hiperkinesi kuliner juga terjadi akibat tingginya ekspresi seseorang akan sesuatu (kuliner) -- rasa ingin mencoba yang berbeda dari segala perbedaan, rasa ingin tahu dari segala pengetahuan, dan rasa ingin diakui.  

Bagaimanapun, 'nyambal' merupakan salah satu fenomena over-konsumtif terhadap olahan makanan pedas. Kegilaan yang berbalut hyper consumption perlu diberikan batasan antara wajar dan tidak wajar. Kegilaan boleh dianggap sebagai sesuatu yang positif, namun harus berada pada batas normal dan wajar. Begitu juga perilaku 'nyambal', harus berada pada batas normal dan kewajaran, tidak boleh berlebih. Sesuatu yang berlebih mengadung unsur hiperrealitas. Hiperrealitas dilahirkan melalui simulakra, yang memburamkan realitas sebenarnya. Foodstagraming menjadi medium hiperrealitas yang sebenarnya, yang memberikan ruang bagi individu untuk menunjukkan eksistensinya dengan konsep kuliner yang hyper. Secara tidak langsung, simulasi mematikan makna (kuliner) secara absolut untuk memunculkan suatu kondisi hiperrealitas. Sedari pembacaan kami terhadap karya Suwardi Endraswara "Botani Sastra", kami menemukan pertemuan antara kebudayaan dan kesehatan, yang dikemas ke dalam konsep Gastronomi. Fenomena 'nyambal' tak lain merupakan manifestasi kebudayaan masyarakat dalam bidang kuliner, khususnya penikmat masakan pedas. Masih terdapat sejumlah bahan dan fenomena kuliner yang dapat ditinjau dari sudut pandang gastronomi, tujuannnya tak lain adalah menormalisasi nilai dan kewajaran, serta menumbuhkan wawasan tentang kritik kebudayaan terkini berdasarkan teori-teori relevan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun