Selama kampanye pilpres, Prabowo Subianto kerap menegaskan bahwa pemberantasan korupsi dan reformasi birokrasi akan menjadi "prioritas utama" pemerintahannya. Janji ini disambut hangat oleh publik, terutama di tengah catatan Indonesia yang masih berada di peringkat 115 Indeks Persepsi Korupsi 2023 versi Transparency International. Kini, setelah 100 hari memimpin, pertanyaan kritis mengemuka: sejauh mana komitmen tersebut diwujudkan dalam langkah konkret?
Pidato Awal Presiden: Retorika atau Komitmen Nyata?
Dalam pidato pelantikannya, Prabowo menyebut korupsi sebagai "musuh bersama yang merusak sendi-sendi bangsa". Ia menegaskan tekadnya untuk melakukan "revolusi mental birokrasi" dan memperkuat sistem hukum guna menciptakan tata kelola pemerintahan yang bersih. Pernyataan ini langsung memantik harapan publik, terutama dari kalangan aktivis antikorupsi yang selama ini vokal menuntut transparansi. Â
Namun, retorika tanpa aksi hanya akan menjadi lip service. Masyarakat menunggu bukti: apakah pemerintah mampu mengubah janji kampanye menjadi langkah sistematis?
Klaim Pemerintah
Pemerintah mengklaim telah memulai reformasi birokrasi dengan fokus pada penyederhanaan prosedur perizinan melalui digitalisasi layanan publik, penguatan sistem pengawasan internal di kementerian/lembaga untuk mencegah mark-up anggaran, dan melakukan pelatihan integritas bagi ASN, meski masih terbatas pada instansi tertentu seperti KPK dan Kemenkeu.
Namun dengan adanya fakta bahwa bertambahnya jumlah kementerian di dalam Kabinet Merah Putih bukankah hal itu justru memperumit koordinasi antar instansi?
Atau paling tidak ada suatu instansi yang bingung menempatkan diri karena tugasnya tumpang tindih. Ujung-ujungnya saling lempar tanggung jawab apabila terjadi suatu permasalahan.
Pemerintah juga mengklaim bahwa telah menyalamatkan 6,7 Triliun uang negara dari hasil pemulihan aset negara yang sebelumnya disalahgunakan oleh pihak yang korup dan tidak bertanggung jawab. Meskipun angka tersebut bukanlah angka yang kecil, namun sejumlah pengamat mengatakan bahwa sebagian besar kasus merupakan hasil daur ulang dari periode sebelumnya.
Wacana Kontroversial Pemerintah
Pernyataan Prabowo tentang "kebijakan memaafkan pelaku korupsi asal mengembalikan aset negara" menuai polemik. Pihak yang pro berargumen ini adalah solusi pragmatis untuk mempercepat pemulihan kerugian negara. Sementara kritikus menilai kebijakan ini berisiko melemahkan efek jera dan mengabaikan prinsip equality before the law.
Meskipun demikian, hingga artikel ini ditulis belum ada panduan resmi atau peraturan turunan yang mengatur mekanisme amnesti tersebut. Hal ini memicu kekhawatiran bahwa kebijakan ini bisa disalahgunakan untuk melindungi elite tertentu.
Respons Publik: Antara Skeptisisme dan Harapan
Masyarakat tentu selalu mengharapkan bahwa adanya perubahan nyata ketika dipimpin oleh pemimpin yang baru. Pemimpin yang tidak hanya nyaring pada saat kampanye, tetapi juga pemimpin yang berani mengambil sikap, menentukan keputusan yang memberikan manfaat kepada masyarakat kita.