Mohon tunggu...
Naufal Aprilio
Naufal Aprilio Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Jember

Menjalani kehidupan yang rumit dengan sedikit persepsi tidak normal. Meski demikian tetap menjalani kehidupan normal untuk mendambakan kedamaian. Membaca buku-buku mau pun artikel internet, berolahraga, dan berimajinasi menjadi pendamping kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Menelisik Karakter Unik Gus Dur Melalui Pemikiran Dan Kebijakan Yang Diterapkannya

4 Desember 2023   11:50 Diperbarui: 4 Desember 2023   11:51 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semua orang tentu mengenal siapa sosok Abdurrahman Wahid. Tokoh besar Indonesia tersebut telah menjabat sebagai presiden keempat RI pada periode 1999 hingga 2001. Siapa sangka, pria keturunan NU tulen kelahiran 4 Agustus 1940 di Denanyar Jombang, Jawa Timur memiliki karakteristik yang unik dibandingkan para pemimpin RI lainnya. Pria yang yang akrab dengan panggilan Gus Dur ini, sejak muda dikenal oleh banyak orang karena sifatnya yang terbuka, gaul, cerdas, dan humoris. Sifat uniknya semakin diperkaya dengan pengalaman panjangnya menempuh berbagai pendidikan dari dalam hingga luar negeri.

Tak ayal, beliau menguasai berbagai keterampilan yang dianggap unik pada masa itu, seperti keterampilan bermain musik klasik ala barat hingga menguasai enam bahasa, yakni bahasa Arab, Spayol, Jerman, Belanda, Perancis, dan Inggris. Berbagai pengalaman dan keterampilan membuatnya dilantik menjadi presiden RI pada tanggal 20 Oktober 1999. Selama menjabat sebagai presiden RI, Gus Dur terkenal akan kebijakan-kebijakan kontroversial yang membuatnya semakin unik dan tabir yang selama ini tertutupi semakin terbuka.

Gus Dur sejak lama telah dikenal oleh berbagai lapisan masyarakat sebagai Bapak Pluralisme. Bagaimana tidak? Gus Dur mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 yang melarang etnis Tionghoa untuk melaksakan ibadah Imlek di muka umum. Menurutnya, Inpres Nomor 14 Tahun 1967 bentukan masa Soeharto merupakan perwujudan dari sistem diskriminasi yang harus ditinggalkan. Empat tahun pasca Gus Dur menghadiri peringatan Imlek pertama pasca pencabutan Inpres Nomor 14 Tahun 1967, beliau dinobatkan sebagai Bapak Tionghoa, pada 10 Maret 2004, ketika perayaan Cap Go Meh di Klenteng Tay Kak Sie, Kota Semarang. Tidak hanya itu, Gus Dur sempat mengusulkan untuk menghapus TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966, mengenai PKI dan yang berkaitan dengan Marxisme di Indonesia dan tidak melarang mengibarkan bendera Bintang Kejora. Bagi Gus Dur, kebijakan menghapus larangan PKI bertujuan sebagai jalur untuk membebaskan orang-orang yang menjadi korban pada masa Orde Baru. Begitu pula dengan pengibaran bendera Bintang Kejora yang menurut Gus Dur sebagai bentuk ekspresi budaya dari orang-orang Papua. Gus Dur selalu memiliki pandangan yang berbeda.

Kebijakan, pemikiran, dan usulan yang diterapkan oleh Gus Dur, meninggalkan bentuk warisan yang tak ternilai kepada orang-orang masa lalu dan masa depan untuk berani mengungkapkan kebathilan. Melalui asas keterbukaan, transparansi, dan kecerdasaanya layak membuatnya disandingakan denga beberapa tokoh luar biasa di luar sana.

Hal menarik lainnya tentang Gus Dur adalah mengenai pemikirannya antara Islam dengan Negara dan kebijakannya mengenai keterbukaan demokrasi. Demokrasi yang diterapkan oleh Gus Dur bersifat prosedural yang berarti memilih dan dipilih. Konteksnya, rakyat bebas untuk memilih calon para pemimpin dan calon para pemimpin dipilih oleh rakyat. Berbeda sekali dengan apa yang diterapkan di masa Orde Baru.

 Pemikiran terbuka, cerdas, dan berani mengambil keputusan dari Gus Dur adalah bagaimana konstitusi negara dipisahkan dari bentuk agama tertentu terutama Islam. Menurutnya Islam tidak mengenal doktrin konstitusi negara. Konstitusi negara tidak memiliki bentuk yang baku. Tidak peduli negara menggunakan sistem demokrasi, monarki, atau teokrasi.

 Bagi seorang Gus Dur yang paling penting adalah terpenuhinya tiga prinsip, yakni prinsip permusyawaratan, penegakan keadilan, dan jaminan kebebasan. Gus Dur tidak pernah mengkafir-kafirkan seorang muslim, meskipun muslim tersebut tidak menjalankan ajaran Islam sepenuhnya seperti shalat, puasa, dan zakat. Baginya seorang muslim tetaplah seorang muslim. Gus Dur menerangkan:

            ”Muslim tidak terbatas hanya dengan mengecap bahwa Abdurrahman Wahid Ketua Umum PBNU, Nurcholish Madjid berasal dari HMI, Amin Rais Muhammadiyah, Lubis-Wasliyah, atau Latief Muchtar-Persis. Tetapi mereka-mereka yang "KTP", tidak pernah ke mesjid, tidak pernah shalat, namun selama ini merasa Muslim, mereka berhak untuk berbicara atas nama Islam dan menyampaikan ide-ide mereka.”

Dikutip dari Zainal abidin, “Pemikiran Abdurrahman Wahid Tentang Islam Dan Pluralitas” dalam Jurnal Humaniora, Vol. 3 No. 2/Oktober 2012, hlm. 376.

Mudah untuk mengatakan bagaimana Gus Dur berbeda dari kebanyakan pemimipin lainnya seolah tenang dan mudah memainkan semuanya. Terlihat bagaimana sosok Gus Dur yang tidak dusta, profesionalisme, berani berpendapat, dan cerdas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun