Dalam kehidupan sehari-hari, uang menjadi bagian tak terpisahkan dari aktivitas ekonomi kita. Setiap lembar uang memiliki nilai penting, namun bagaimana jika uang tersebut rusak? Apakah masih dapat digunakan, atau harus disingkirkan begitu saja? Di balik pertanyaan sederhana ini, tersembunyi isu hukum yang menarik untuk dikaji, terutama ketika berbicara tentang penukaran atau bahkan jual beli uang rusak. Mari kita lihat lebih dalam bagaimana praktik ini dilihat dari kacamata hukum positif dan juga perspektif Islam.
Uang merupakan kebutuhan dan bahkan menjadi kemajuan perekonomian suatu negara yang merupakan sumber utama perekonomian. Praktik transaksi uang rusak menimbulkan polemik dalam masyarakat, baik ditinjau dari hukum positif di Indonesia, maupun hukum ekonomi syariah. Salah satu bank yang menfasilitasi pertukaran uang rusak adalah Bank Indonesia. Bank Indonesia dapat meminta kepada pihak yang memperdagangkan uang rupiah rusak atau rusak karena terbakar dengan mencantumkan surat keterangan dari kelurahan setempat atau kantor Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan pertimbangan tertentu. Bank Indonesia tidak akan penggantian uang rupiah yang rusak atau kekurangan apabila menurut Bank Indonesia kerugian uang rupiah tersebut diduga dilakukan dengan sengaja.
Kaidah Hukum terkait Praktik Transaksi Jual Beli Uang Rusak
Dalam praktik jual beli penukaran uang rusak, timbul berbagai persoalan yang berkaitan dengan keabsahan transaksi tersebut baik dari sudut pandang hukum positif maupun hukum Islam. Hukum positif di Indonesia, yang berlandaskan pada undang-undang dan peraturan perbankan, memiliki ketentuan khusus mengenai uang yang masih layak untuk digunakan dalam transaksi. Bank Indonesia, sebagai otoritas moneter, memberikan panduan terkait standar kelayakan uang, termasuk dalam hal penukaran uang rusak. Namun, persoalan muncul ketika masyarakat tetap memperjualbelikan uang rusak, yang menimbulkan perdebatan apakah tindakan tersebut melanggar hukum atau tidak, serta bagaimana regulasi menyikapinya.
Di sisi lain, hukum Islam memiliki konsep yang berbeda dalam menilai transaksi penukaran uang rusak. Dalam fikih muamalah, transaksi jual beli harus memenuhi syarat sah seperti adanya ijab kabul, barang yang jelas, serta harga yang disepakati. Uang rusak, dalam pandangan sebagian ulama, dapat dianggap sebagai barang yang tidak sempurna, sehingga jual belinya dikhawatirkan mengandung unsur gharar (ketidakpastian) atau bahkan riba jika ada pertambahan nilai dalam proses penukaran. Namun, sebagian ulama juga mendefinisikan transaksi jual beli secara syar’i sebagai akad yang mengandung sifat tukar menukar satu harta dengan harta yang lain secara khusus. Itu artinya transaksi jual beli adalah pertukaran harta atas dasar saling rela, atau memindahkan hak milik dengan mendapatkan benda lainnya sebagai gantinya dengan tujuan untuk mencari keuntungan (laba) dengan jalan yang dibolehkan oleh agama.
Norma Hukum terkait Praktik Transaksi Jual Beli Uang Rusak
Berdasarkan normanya terkait jual beli dan penukaran uang rusak berkaitan dengan kesepakatan tidak tertulis di masyarakat tentang pentingnya menjaga kejujuran dan keadilan dalam transaksi. Secara umum, masyarakat menganggap tidak pantas untuk memperjualbelikan uang yang rusak dengan harga yang lebih rendah atau bahkan lebih tinggi dari nilai nominalnya, karena dianggap menipu atau merugikan pihak lain. Penukaran uang rusak seharusnya dilakukan secara terbuka dan sesuai dengan nilai aslinya, bukan untuk mencari keuntungan pribadi. Norma ini mencerminkan harapan bahwa setiap individu berperilaku jujur dalam bertransaksi, serta menjaga stabilitas kepercayaan dalam sistem pembayaran yang berlaku di masyarakat.
Dalam perspektif hukum Islam, transaksi penukaran atau jual beli uang rusak diatur berdasarkan prinsip-prinsip muamalah yang menekankan keadilan, keterbukaan, dan larangan unsur gharar (ketidakpastian) serta riba. Uang yang rusak, karena kehilangan fungsinya sebagai alat tukar yang sempurna, dapat dianggap sebagai barang yang cacat, sehingga transaksi atas uang tersebut harus dilakukan dengan transparan. Menurut pandangan ulama, jika uang rusak masih memiliki nilai tukar yang jelas dan tidak menimbulkan ketidakpastian, maka transaksi penukarannya dapat dibenarkan. Namun, jika terdapat unsur penambahan nilai atau pertukaran yang tidak seimbang, transaksi tersebut dapat tergolong dalam kategori riba, yang dilarang dalam hukum Islam.
Aturan Hukum terkait Praktik Transaksi Jual Beli Uang Rusak
Di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2011 tentang mata uang disebutkan dalam BAB VI penukaran Rupiah Pasal 22 bahwa: Untuk memenuhi kebutuhan rupiah di masyarakat dalam jumlah nominal yang cukup jenis pecahan yang sesuai dan kondisi yang layak edar rupiah yang beredar di masyarakat dapat ditentukan sebagai berikut (1) penukaran rupiah dapat dilakukan dalam pecahan yang sama atau pecahan yang lain (2) penukaran rupiah yang lusuh dan rusak sebagian karena terbakar atau sebab lainnya dilakukan penggantian dengan nilai yang sama nominalnya.
Selain itu, transaksi penukaran uang rusak diatur oleh Bank Indonesia sebagai otoritas moneter. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/7/PBI/2012 tentang Pengelolaan Uang Rupiah, Bank Indonesia memberikan ketentuan mengenai standar kelayakan uang yang masih dapat diedarkan. Uang yang rusak, baik sebagian hilang, sobek, atau cacat lainnya, tetap dapat ditukar asalkan memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, seperti masih dapat dikenali keasliannya dan luas fisik uang yang rusak tidak kurang dari 2/3 bagian. Transaksi jual beli uang rusak di luar ketentuan resmi yang ditetapkan dapat dianggap melanggar hukum, karena uang tersebut tidak lagi berfungsi sebagai alat pembayaran yang sah, serta berpotensi merugikan konsumen dan menimbulkan gangguan terhadap kestabilan sistem pembayaran nasional.
Analisis Pandangan Aliran Positivism Hukum dan Sociological Jurisprudence terkait Praktik Transaksi Jual Beli Uang Rusak
Dalam pandangan positivism hukum, hukum dipandang sebagai aturan yang dibuat dan ditegakkan oleh otoritas yang berwenang, tanpa memperhitungkan aspek moral atau etika. Mengenai jual beli uang rusak, kaum positivis akan melihat bahwa yang terpenting adalah kepatuhan pada peraturan yang telah ditetapkan oleh otoritas negara, seperti Bank Indonesia. Selama aturan hukum, seperti yang telah disebutkan diatas dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/7/PBI/2012, sudah jelas menetapkan bahwa uang rusak hanya boleh ditukar melalui lembaga resmi dan tidak boleh diperjualbelikan di luar ketentuan, maka tindakan apapun yang bertentangan dengan aturan ini dianggap melanggar hukum, terlepas dari apakah secara moral dianggap benar atau salah. Fokus positivisme adalah pada legalitas dan keabsahan formal dari suatu aturan, bukan pada nilai-nilai keadilan yang mendasarinya.
Dari perspektif positivism hukum, keberadaan aturan yang tegas mengenai penukaran uang rusak memastikan adanya kepastian hukum dan ketertiban sosial. Bagi para positivis, aturan yang jelas dan tegas ini memberikan perlindungan kepada masyarakat dari tindakan-tindakan yang dapat merugikan secara ekonomi, seperti jual beli uang rusak yang tidak sah. Dalam konteks ini, hukum dianggap sebagai alat kontrol sosial yang efektif untuk menjaga stabilitas ekonomi dan keadilan transaksional. Selama peraturan tersebut diterapkan dengan konsisten, menurut positivisme hukum, tidak diperlukan penilaian moral lebih jauh, karena kepatuhan terhadap aturan yang dibuat oleh otoritas sudah cukup untuk menjamin tertibnya masyarakat.
Sedangkan sociological jurisprudence melihat hukum tidak hanya sebagai aturan tertulis, tetapi juga sebagai instrumen sosial yang dipengaruhi dan mempengaruhi interaksi dalam masyarakat. Dalam konteks jual beli uang rusak, analisis sosiologis akan memperhatikan bagaimana aturan yang mengatur penukaran uang rusak diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, serta bagaimana masyarakat meresponsnya. Misalnya, aturan Bank Indonesia yang melarang jual beli uang rusak mungkin dianggap formal secara hukum, tetapi dalam praktiknya, beberapa anggota masyarakat masih melakukan transaksi di luar lembaga resmi, terutama di kalangan pedagang kecil atau di daerah terpencil. Pendekatan sosiologis akan mempertanyakan apakah aturan tersebut telah mempertimbangkan realitas sosial, akses masyarakat terhadap lembaga resmi, serta faktor-faktor ekonomi yang mendorong orang untuk memperjualbelikan uang rusak.
Sociological jurisprudence akan mengeksplorasi apakah aturan penukaran uang rusak efektif dalam mengatur perilaku masyarakat atau justru menciptakan ketegangan sosial. Jika aturan tersebut tidak sejalan dengan kebutuhan atau kebiasaan sosial tertentu, maka akan sulit bagi hukum untuk sepenuhnya ditaati. Dalam konteks ini, sosiologis hukum akan menganalisis bagaimana interaksi sosial, ekonomi, dan budaya mempengaruhi kepatuhan terhadap aturan hukum, dan apakah diperlukan penyesuaian kebijakan agar lebih responsif terhadap kondisi sosial yang ada. Dengan kata lain, pandangan ini menekankan bahwa hukum harus berkembang sesuai dengan dinamika sosial, dan tidak hanya diterapkan secara kaku tanpa memperhatikan konteks kehidupan nyata di masyarakat.
Seiring dengan semakin kompleksnya kebutuhan masyarakat dalam bertransaksi, fenomena jual beli dan penukaran uang rusak menjadi topik yang tidak bisa diabaikan. Baik dari sudut pandang hukum positif maupun hukum Islam, keduanya menawarkan perspektif yang berbeda namun saling melengkapi. Pemahaman yang mendalam mengenai aturan yang berlaku menjadi kunci untuk memastikan bahwa setiap transaksi dilakukan dengan prinsip keadilan dan kehati-hatian.
Pada akhirnya, meski uang rusak mungkin terlihat sepele, praktik penukaran atau jual beli uang rusak memiliki implikasi yang signifikan dari segi hukum. Dalam hukum positif, regulasi yang jelas telah mengatur tata cara penukaran uang yang tidak layak edar, sementara hukum Islam menekankan pentingnya transparansi dan kejujuran dalam setiap transaksi. Dengan demikian, sebagai pelaku ekonomi, memahami kedua aspek ini tidak hanya membantu kita terhindar dari masalah hukum, tetapi juga menjaga integritas dalam setiap bentuk muamalah.
Rujukan
Alfaraq M. Z., Harun H., & Nuraida Fitri Habi N. F., “Jual Beli Uang Rusak Perspektif Hukum Bisnis Syariah”, Journal of Comprehensive Islamic Studies (JOCIS), Vol. 2 No. 2, 2013.
Safitri, Mahfud I., “Jual Beli Mata Uang Rusak dalam Tinjauan Hukum Islam”, e-Journal Syar’ie, Vol. 7 No. 1, 2024.
Rato D., Setyawan F., & Yahya K. R., “Aliran Hukum Sociological Jurisprudence Dalam Perseptif Filsafat Hukum”, Jurnal Insan Pendidikan dan Sosial Humaniora, Vol. 1 No. 1, 2023.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H