Mohon tunggu...
Natsir Said
Natsir Said Mohon Tunggu... Freelancer - Wiraswasta

Melihat, menelaah, menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Logika Miring

13 Oktober 2019   11:11 Diperbarui: 13 Oktober 2019   11:15 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pilpres 2019 yang menyulut segregasi antar partisan tidak ikut usai dengan inkrahnya mekanisme politik lewat putusan Mahkamah Konstitusi. Secara implisit kita dapat menangkap logika-logika yang dipaksakan sebagai bagian dari upaya menterjemahkan, atau membangun narasi terhadap beberapa kejadian. 

Tujuannya mengarah pada membangun antipati atas pemerintah dengan kritik-kritik kontraproduktif. Menurut penulis, hal itu tidak lepas dari sentimen-sentimen politik yang digelorakan dalam masa pemilihan Presiden beberapa waktu silam.

Jika merunut beberapa kejadian sebelumnya, serta melihat bagaimana sebagian publik merespon di media sosial, akan terurai satu alur jelas yang terus dilakukan secara aktif oleh kelompok pemilih salah satu calon presiden pada Pilpres kemarin. Yang paling dapat dilihat adalah membanding-bandingkan secara langsung satu kejadian dengan kejadian lain.

Pengibaran bendera bintang kejora di depan Istana misalnya. Baru terhitung menit dari aksi tersebut langsung beredar foto dan meme di media sosial yang mencemooh sikap pemerintah, dinilai kurang tegas dibanding saat pemerintah menindak pengibar bendera HTI. 

Namun mereka yang mencemooh justeru tiarap saat belasan pengibar bendera bintang kejora diamankan pihak berwajib. Padahal jika hendak membangun kritik otokritik yang konstruktif dan adil, mereka juga mesti menuntut pemerintah agar bersikap tegas pada pemerintah terkait simbol-simbol HTI yang masih marak.

Kejadian paling terakhir adalah penikaman Wiranto. Beberapa saat setelah kejadian, sebagian publik langsung menilai ini sebagai upaya pengalihan isu, sandiwara dan sebagainya. Padahal sedikit saja mau berdikir jernih, apakah seorang Wiranto sampai mau mengorbankan diri ditusuk hanya untuk keperluan sandiwara? Rasanya orang tak berpendidikan pun tidak akan mau melakukan itu.

Tidak cukup dengan cemoohan dan meme yang menggambarkan kepekaan yang tumpul akibat sentimen-sentimen yang terbangun sebelumnya, publik pun membandingkan bagaimana pemerintah bersikap antara penusukan Wiranto dengan para korban di Papua. 

Sama seperti kejadian-kejadian sebelumnya yang selalu dibandingkan dengan kasus lain, namun pada penikaman Wiranto ketika dibandingkan dengan para korban Papua seolah ingin menyampaikan pesan bahwa penikaman atas Wiranto adalah tindakan yang patut dan layak. 

Hal itu dipertegas dengan upaya membangun simpati atas istri oknum TNI yang suaminya dicopot dari jabatan karena status medsos yang juga terkesan 'mendukung' pelaku penikaman.

Entah logika bagaimana yang digunakan. Ketika melihat kejadian satu lalu dijadikan dalil sehingga terkesan mendukung kejadian lain. Padahal jika hendak mau berlaku adil maka mesti mendudukkan kejadian pada porsi masing-masing yang terpisah. 

Kita menuntut pemerintah agar bergerak cepat untuk membendung korban berjatuhan di Papua, lalu memproses hukum para pelaku, sebagaimana kita pun mengutuk aksi penikaman atas Wiranto tanpa mempersandingkan kedua kasus dalam logika yang timpang.

(Penulis penerhati sosial)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun