Atau bisa jadi, daya dorong atau preasure massa kurang maksimal hingga tak cukup buat kuping pekak, atau mungkin juga moment itu hanya upaya menciptakan panggung agar dapat dimanfaatkan calon anggota Legislatif sekaligus kampanye. Entahlah.
Selain hal itu, prosedur dan penggunaan dana bantuan kemanusiaan pasca bencana juga tak dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Terlalu banyak desas-desus atas penggunaan dana bantuan muncul seiring masih terbengkalainya beberapa titik pengungsian.
Padahal jika pemerintah Propinsi maupun kabupaten/kota mau sedikit lebih kreatif, rasanya baliho ukuran besar dapat digunakan sebagai wadah transparansi penggunaan dana-dana bantuan yang telah terpakai. Biayanya pun tidak besar dan dapat diakses luas masyarakat.
Lha caleg dengan biaya sendiri saja bisa cetak dan sewa tempat-tempat strategis untuk pajang baliho kok, masak pemerintah tidak?
Yang lebih menarik lagi, issue-issue di atas apakah kurang sexy untuk dijadikan wacana kemanusiaan dalam diskusi-diskusi aktivis mahasiswa hingga dapat menurunkan jumlah massa bejubel seperti aksi tolak RKUHP? Padahal ini situasi riil yang terjadi di depan mata dan jauh dari nuansa politis lho.
Malah yang muncul adalah aksi massa tuntut pidana atas YB, Ketua Pansus Pasigala DPRD Sulteng, sedikit bergeser dari substansi situasi pasca bencana dan lebih kental pada aroma kepentingan politik.
Di sisi lain, RKUHP dan RUU KPK lebih memilik peluang revisi jika dalam proses penerapannya memunculkan ketimpangan asaz hukum. Kanalnya jelas dan diatur, bisa lewat judicial review di Mahkamah Konstitusi.
Bagaimana dengan hak-hak rakyat kecil yang jadi korban bencana? Apakah negara hadir bersama korban yang sampai detik ini sebahagian masih ada di tenda-tenda pengungsian?
Tuntutan pada transparansi pengelolaan dana bantuan dan pemenuhan hak-hak dasar pengungsi lebih butuh preasure massa, terlebih dari mahasiswa yang sedari dulu selalu mengusung slogan 'penyambung lidah rakyat'.
Penulis melihat ada sedikit keengganan aktivis mahasiswa untuk berpanas terik pada isu-isu lokal walau lebih menyentuh kemanusiaan. Memang kurang keren dibanding isu nasional, apalagi jika digelorakan serentak seluruh universitas. Di zaman penulis, seolah ada ketakutan akan dikirimi paket berisi rok, lipstik, dan CD dari aktivis kampus lain.
Atau aktivis mahasiswa milenial terlalu mudah terseret dalam kooptasi senior-senior yang kini telah berkecimpung dalam politik praktis? Wallahu a'lam bish-shawab. ***