Apa yang sebenarnya terjadi dengan sensitifitas aktivis mahasiswa? Sebuah pertanyaan lama dalam diskusi ringan dengan beberapa kawan tahunan silam kembali menggelayuti fikiran penulis.
Dalam perjalanan darat menuju Kabupaten Luwuk untuk agenda Banggai International Tuna Fishing Tournament (BITFT) 2019, penulis berusaha membathini fenomena psikologis pergerakan mahasiswa yang belakangan cenderung menumpul dalam merespon issue-issue sensitif.
Senin (25/9) di Sulawesi Tengah, gelombang aksi membahana di beberapa titik, baik di Palu maupun beberapa kabupaten termasuk Poso. Issue besarnya sama, tolak RKUHP, RUU KPK dan beberapa issue turunan keduanya.
Tulisan ini sama sekali tidak akan menyoal indikasi 'ditunggangi' hingga pokok tuntutan yang ditulis di spanduk dan poster melenceng jauh ke soal ganti sistem demokrasi, namun lebih pada pergeseran kepekaan aktivis mahasiswa atas situasi sekitar yang justru lebih perlu tekanan dan preasure massa.
Sekira enam bulan pasca gempa, tsunami dan liquifaksi menghantam Palu, Sigi dan Donggala bahkan sebagian di Parigi, ratusan kaum ibu, bapak serta orang tua renta rela antri untuk mengambil formulir penghapusan hutang di jalan Hasanudin, Palu.
Sebagai bagian dari masyarakat terdampak bencana, penulis dapat merasa bagaimana perih situasi yang mendera.
Tak perlu detil menggambarkan kondisi psikologis korban yang menguras air mata, sebab bagaimana hendak menjalani kehidupan selanjutnya dengan bayang-bayang hutang serta bunga kredit juga tak kalah penting untuk difikirkan.
Mereka, ibu-ibu dan orang tua dengan beban berat itu turun jalan. Mengiba pada nurani penguasa untuk menjembatani agar kebijakan perbankan nasional dapat mengeluarkan keputusan memihak.
Meninggalkan tenda-tenda pengungsian dengan pakaian ala kadar tak jadi soal, asal suara-suara tertahan itu sampai di telinga mereka yang diberi wewenang. Teriaklah walau telah parau, sebab air mata tak lagi cukup setelah dikuras duka.
Beberapa hari lagi, 28 September 2018 akan kembali dikenang. Tepat setahun silam, bencana menghempas Pasigala dan pergerakan massa korban menyeruak ke atas jalan-jalan protokol beberapa bulan setelahnya.
Tuntutan mereka hingga kini dipastikan kandas, dalam kalkulasi perbankan mungkin terlalu berisiko jika harus memutihkan hutang korban bencana.