Mohon tunggu...
Natia
Natia Mohon Tunggu... -

Me is Me

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kala Mentari Berkuasa dan Rembulan Berpaling

17 Oktober 2011   06:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:51 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kala Mentari Berkuasa dan Rembulan Berpaling

Apa yang terjadi bila bumi ini kosong...? apa yang terjadi bila bumi ini bulat mulus tanpa gunung, laut danau, bukit danlainnya.? Apa yang terjadi bila matahari berjibaku mencambukkan gerilya panasnya tanpa henti.? Apa yang terjadi bila rembulan tak ingin bersinar dan melenyapkan belaian indahnya.? Apa yang terjadi..??

Apa yang terjadi dengan kita makhluk terlemah dibumi ini yang dengan sombong membusungkan dada seolah bisa membeli seuluruh isi bumi ini bulat-bulat..merasa harga diri paling sempurna, memandang rendah dan hina mahkluk lain. Sungguh berartikah diri ini sebenarnya..?

Wahai insan, pernahkah saat diatas kehebatan yang di elu-elu kan kau berfikir, mengapa kau hidup.? Mengapa kau dilahirkan.? Mengapa kau bisa bicara.? Mengapa kau bisa berkuasa.? Mengapa.? Apakah kau selalu menjawab bahwa itu sudah takdir, keturunan.?

Pernahkah kau berfikir bahwa bumi ini tak terjadi begitu saja, pernahkah kau berfikir bahwa udara tak berhembus begitu saja, pernahkah kau berfikir, bahwa debu tak bebas begitu saja, pernahkah kau berfikir bahwa air tak mengalir begitu saja.? Siapakah yang sudah menciptakannya.? Jadi siapakah yang paling hebat dan berkuasa di alam jagad raya ini.?

Mengapa..mengapa hingga saat ini, saat dunia semakin canggih semakin tak terkendali, justru kalian mencari-cari hal yang sebenarnya sudah nyata, justru dengan semakin briliannya kepintaran kalian menjadi munafik di tengah kecerdasan, mencari-cari titik awal kehidupan dari yang wajar hingga menjadi tidak wajar dan itu kalian syah kan.

Kini, mentari sudah menunjukkan aksinya, panas tak lagi milik siang, sejuk tak lagi milik malam, udara tak lagi bersahabat, air sudah menarik alirannya, gunung, hutan, laut sudah menunjukkan protesnya satu demi satu. Burung-burung sudah tak berhasrat mendendangkan suara merdunya, kicauan-kicauan itu sudah beralih ke tangan makhluk-makhluk yang sempurna itu, kicauan sumbing yang memekakkan, dan yang mendengarkan hanya bisa mendengarkan dengan sejuta raungan umpatan yang tak bersambung, yang hanya akan mengantarkannya lebih cepat ke haribaan yang kuasa.

Namun bumi masih menahan ledakan yang tertanam layaknya bom waktu, bumi masih menelurkan manfaat bagi yang memercayainya, bagi yang mencintainya, namun bumi punya sejuta kejutan kecil yang tak pernah terfikirkan sakit yang akan diberikan.

Semoga alam ini tetap indah hingga waktunya, saat bumi berhenti berputar, saat udara menghilang dalam sekejap, dan seluruh penghuni langit jatuh menghempas bumi bagaikan tembakan-tembakan nuklir yang tak ada habisnya. Hancur lebur.

Hingga.....tak ada lagi waktu untuk kalian memohon ampun (apalagi perlindungan) pada Dia yang telah menciptakan dan menunjukkan bukti nyata bahwa semua kembali kepada-Nya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun