Mohon tunggu...
Nathania Davita
Nathania Davita Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Program Studi Magister Bioteknologi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Fermentasi Self-Cycling Menggunakan Khamir untuk Meningkatkan Produksi Etanol

11 November 2022   10:19 Diperbarui: 11 November 2022   12:36 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bioetanol merupakan salah satu bahan bakar alternatif yang dapat digunakan sebagai pengganti bahan bakar untuk kendaraan bermotor. Penggunaan bioethanol ini merupakan salah satu langkah yang dilakukan dengan tujuan mengurangi penggunaan minyak mentah dan mengurangi polusi lingkungan. Bioetanol dapat diproduksi melalui fermentasi pakan dengan memanfaatkan selulosa yang terkandung di dalamnya. Bioetanol memiliki sifat yaitu angka oktan yang tinggi, lebih luas batas terbakarnya, kecepatan untuk menyala lebih tinggi, dan titik panas penguapan yang lebih tinggi dibandingkan dengan bensin (Balat et al. 2008).

Fermentasi merupakan suatu proses metabolisme memecah suatu molekul yang kompleks menjadi molekul yang lebih sederhana yang dilakukan oleh mikroorganisme secara anaerob. Mikroorganisme dapat berupa bakteri, kapang, atau yeast (merk dagang fermipan). Dalam proses fermentasi, berbagai macam produk dapat dihasilkan seperti asam laktat, enzim, antibiotik, zat warna dan juga etanol. Fermentasi paling sering diaplikasikan di bidang pangan untuk mendapatkan produk pangan fermentasi yang memiliki nilai nutrisi yang lebih baik seperti tempe, yogurt, dan kimchi. Selain di bidang pangan, fermentasi juga dapat diaplikasikan sebagai salah satu cara untuk mengurangi limbah di lingkungan,  dan untuk memproduksi etanol yang akan dijadikan bioetanol.

Sumber: merdeka.com
Sumber: merdeka.com

Salah satu bahan yang dapat digunakan untuk memproduksi etanol adalah selulosa. Selulosa tidak dapat difermentasi secara langsung sehingga diperlukan perlakuan pre-treatment yang bertujuan untuk membuka struktur lignoselulosa. Salah satu proses pre-treatment yang dapat dilakukan adalah hidrolisis menggunakan enzim. Hidrolisis ini bekerja dengan cara memecah polimer menjadi monomer gula. Selain proses pre-treatment, inoculum harus disiapkan sesuai dengan produk yang diinginkan. Setelah persiapan di awal selesai dapat dilakukan fermentasi untuk memproduksi etanol. Proses fermentasi dilakukan dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan pertumbuhan optimal dari mikroorganisme yang dibutuhkan. Etanol yang dihasilkan dari hasil fermentasi dipanen dengan menggunakan proses distilasi. Industri pembuatan etanol dari selulosa memiliki tantangan biaya produksi yang mahal, sehingga diperlukan teknologi yang dapat mengurangi biaya produksi (Wang et al. 2017).

Penggunaan mikroorganisme juga berpengaruh pada efektivitas dari produksi etanol. Salah satu mikroorganisme yang dapat memproduksi etanol dengan baik adalah Saccharomyces cerevisiae atau yang biasa dikenal dengan fermipan. Mikroorganisme untuk fermentasi etanol harus memiliki rentang temperatur, rentang pH, dan toleransi terhadap alkohol,

Berbagai langkah yang telah dilakukan untuk menurunkan biaya produksi berfokus di metode pre-treatment, menurunkan penggunaan enzim, serta modifikasi strain mikroorganisme yang digunakan untuk proses fermentasi. Sampai saat ini, proses fermentasi yang paling sering digunakan adalah fermentasi dengan hidrolisis terpisah dan fermentasi bersamaan dengan sakarifikasi. Fermentasi dengan hidrolisis terpisah adalah proses fermentasi yang terpisah dengan hidrolisis substrat. Hal ini menjadi keuntungan dalam penggunaan bahan kimia, dan mempersingkat waktu yang diperlukan untuk mempersiapkan sistem.. Kekurangan dari proses ini adalah hasil hidrolisis dapat menghambat produk sehingga produktivitas bisa lebih rendah. Fermentasi bersamaan dengan sakarifikasi merupakan proses hidrolisis yang dilanjutkan dengan fermentasi pada satu sistem yang sama. Fermentasi bersamaan dengan sakarifikasi ini meningkatkan hasil produk dan lebih efisien (Wang et al. 2017; Phwan et al. 2018; Balat et al. 2008).

Dalam fermentasi etanol umumnya menggunakan fermentasi batch. Fermentasi ini memiliki kelemahan yaitu etanol tidak diproduksi pada fase lag dan stasioner sehingga bioreactor yang digunakan fermentasi batch culture harus selalu dicuci setiap selesai fermentasi dan dilanjutkan dengan proses fermentasi batch berikutnya. Pada skala industri yang besar, proses ini menjadi salah satu faktor menurunkan produktivitas dari produksi etanol. Hal ini menjadi salah satu faktor pendorong dikembangkannya teknik fermentasi self-cycling untuk meningkatkan produktivitas fermentasi dengan cara mengurangi watku fermentasi dan jeda batch fermentasi. (Wang et al. 2017).

Fermentasi self-cycling merupakan proses fermentasi siklus semi-kontinyu menggunakan online monitoring parameter untuk identifikasi fase stasioner. Identifikasi ini akan memicu pembuangan dari isi fermentor dan akan digantikan dengan medium steril yang baru untuk menginisiasi siklus berikutnya. Sel yang ada di dalam fermentor akan tersinkronisasi sehingga sel berada di tahapan yang sama. Pertumbuhan sel akan bervariasi bergantung pada kondisi lingkungan sehingga dapat mempengaruhi waktu yang dibutuhkan untuk mencapai fase stasioner (Wang et al. 2017; Wang et al. 2020).  

Fermentasi self-cycling memiliki kelebihan dibandingkan fermentasi batch culture yaitu hilangnya fase lag dan stasioner sehingga seluruh sel yang ditumbuhkan selalu berada pada tahap eksponensial. Dalam proses fermentasi self-cycling, oksigen terlarut, kadar karbon dioksida merupakan parameter yang digunakan secara real-time untuk mengamati pertumbuhan sel dan memicu proses siklus berikutnya. Perbandingan antara fermentasi self-cycling dengan fermentasi batch culture dapat dilihat dari yield yang dihasilkan seperti asam sitrat, bioemulsifier, asam sikimat, dan protein beta-galaktosidase. Kelebihan yang didapatkan dari fermentasi self-cycling menjadi alasan kuat untuk memproduksi etanol dengan biaya produksi yang lebih rendah namun hasil etanol yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan dengan batch culture. (Wang et al. 2017; Tan et al. 2022).

Produksi etanol dapat dihubungkan dengan pertumbuhan sel. Apabila nutrisi dibatasi yaitu nitrogen dan sumber karbon, maka khamir akan berhenti tumbuh dan memproduksi etanol kemudian khamir akan memasuki fase stasioner. Selama proses fermentasi, pH dari sistem fermentor sedikit menurun. Hal ini disebabkan adanya senyawa asam amino, hasil samping asam organic, penggunaan ammonium sulfat yang melepaskan ion H+ keluar sel, serta produksi asam karbonat yang merupakan hasil reaksi karbon dioksida (dilepaskan oleh khamir) dengan air. Penurunan pH ini tidak mempengaruhi hasil produksi etanol dan tetap mencapai fermentasi yang tinggi. Jumlah oksigen yang tersedia juga perlu diperhatikan agar proses fermentasi menghasilkan etanol terjadi. Apabila oksigen terlalu banyak, maka khamir akan menggunakan oksigen untuk tumbuh dan memperbanyak diri. Apabila oksigen tidak ada, maka akan terjadi proses fermentasi (Wang et al. 2017) .  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun