Mohon tunggu...
Nathania GwendyIndarmastuti
Nathania GwendyIndarmastuti Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar SMA

Halo

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Budaya Busuk: Victim Blaming dalam Kasus Kekerasan Seksual

3 Januari 2023   18:44 Diperbarui: 3 Januari 2023   18:47 671
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kekerasan seksual, khususnya pemerkosaan, merupakan kejahatan umum yang kita temukan di tengah masyarakat. Kekerasan seksual bisa dilakukan dan terjadi pada siapa saja, bahkan dalam lingkup keluarga kandung. 

Tidak ada seorang pun yang benar-benar lepas dari potensi menjadi korban kekerasan seksual. Namun, sebanyak 67% dari kasus kekerasan seksual di Indonesia pada tahun 2020 terjadi pada wanita menurut Indonesia Judicial Research Society (IJRS) dan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID). Wanita menjadi sasaran utama kekerasan seksual, sedangkan laki-laki menjadi pelakunya.

Kasus jenis ini selalu identik dengan munculnya victim blaming yang seakan-akan merupakan respon pokok masyarakat terhadap seorang korban wanita. Korban kekerasan seksual kerap menerima sikap apatis, cemooh, bahkan hinaan akibat kejahatan yang menimpa dirinya. Komentar merendahkan mengenai cara berpakaian, bergaul, dan bagian tubuh menjadi senjata utama masyarakat Indonesia untuk membuat seorang korban merasa bersalah. 

Kecenderungan untuk melakukan victim blaming muncul akibat kentalnya unsur patriarki dalam pembentukan identitas gender di Indonesia. Seorang wanita dituntut untuk selalu berpakaian secara tertutup dan tidak ketat, berperilaku polos, dan tidak berdandan berlebihan sehingga apabila kekerasan seksual terjadi, maka yang patut disalahkan adalah dirinya karena tidak bisa menjalankan identitas gendernya. Kebalikannya, pria sebagai pemilik maskulinitas, memiliki hierarki lebih tinggi dari wanita dengan femininitasnya. 

Oleh karena itu, tindakan kekerasan seksual dalam budaya patriarki lumrah dijustifikasi dan dinormalisasi dengan dasar bahwa pria memiliki nafsu tinggi dan wajar baginya untuk memuaskan nafsu tersebut pada wanita yang dinilai tidak "menjaga diri". 

Victim blaming mengakibatkan korban merasa bahwa kekerasan seksual yang menimpanya adalah kesalahan dirinya. Korban menjadi semakin takut untuk melapor karena pelabelan negatif sehingga rentan depresi bahkan mencoba bunuh diri. 

Victim blaming memastikan ketidakadilan untuk terus berlangsung karena menghindarkan pelaku dari persidangan. Pendidikan seks yang disertai elemen kesetaraan gender merupakan hal esensial untuk menghapus budaya busuk victim blaming yang mengakar di masyarakat. 

Daftar Pustaka:

Antika, Rizka. 2022. " Kekerasan Seksual pada Lelaki Disepelekan di Indonesia Akibat Toxic Masculinity",https://www.vice.com/id/article/4awjqn/fenomena-kekerasan-seksual-pada-lelaki-cenderung-disepelekan-di-indonesia-akibat-budaya-patriarki, diakses pada 3 Januari 2023 pukul 15.08.

Asiyanbola, Abidemi R. (2005). Patriarchy, male dominance, the role and women empowerment in Nigeria. (Makalah Ilmu Sosial, Olabisi Onabanjo University, 2005). Diakses dari https://ipc2005.popconf.org/papers/50005/.

Hubbard, Caroline dan Alan Greig. 2020. Men, Power and Politics Program Guidance. Washington: National Democratic Institute.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun