Dahulu pernah teringat dalam benak apa itu mereka tabu. Ialah mereka yang saya pikir tak memikirkan segala hal dan mengindahkan segala kehidupan berjalan dengan apa yang di inginkan tanpa beban dari apa yang di hindarkan. Dalam benak mereka tersirat saya berprasangka, bahwa mereka bahkan tak memikirkan kejadian dari sekitar dan memuaskan dari ego yang mereka dambakan.
Mereka indah dimata saya, membuat tersendak iri hati dirasa diantara beberapa waktu yang bercengkrama. Selalu terlintas bayang mereka dalam benak dan realitasnya pun selalu bersinggungan elok kala mata mengepak. Ingin sekali rasanya berada diantara benak yang ringan dirasa tanpa adanya beban tendensi problematika diraga.
Prasangka ini muncul dikala kami (teman sepemikir saya) berada dalam jerat Tendensi Rakyat pada masa. Kami mencoba meringankan nalar dan benak, menghirup udara segar sembari menyeruput legitnya kopi di angkringan ringan kala itu. Saya berkeringat dan teman saya sepat mulutnya tersebab satu dan dua hal. Kami memikirkan hal yang kami indahkan dan kami menyelaminya beserta nikmatnya hembusan malam.
Dalam alam , tersirat untaian benak karena diri merasa terjerembak oleh buasnya sifat rakyat. Saya sejenak tersenyum melihat kawanan kawula mudiawan yang terbahak bersama mereka. Laki perempuan menjadi satu kesatuan dalam canda kumpulan pertemanan. Entah apa yang mereka bicarakan, saya merasa betapa tabunya mereka dihadapnya sebuah lingkungan rakyat.
Terfikir oleh saya kala itu, kemudian bicaralah saya bersama teman. Teman terdiam dan ikut tersenyum dalam nalarnya. Ia merasa begitu indahnya menjadi diantara dari diantara.Â
Menjadi tabu dan bersendandung lagu, menyongsong esok dengan ringannya bahu. Dan saya menanggapinya gurau canda saut saya berkata bahwa uanglah yang berbicara. Ia mengiyakan seraya merasa sesak memang dompetnya meneriaki kehidupan problematika mahasiswa.
Kami pun kian kembali hanyut dalam bincang yang kami tendensi kan kala itu. Waktu memang tak berlalu namun ia menyempit dalam sekat-sekat yang dilalu. Itulah kami masa itu disibukan launan waktu yang tak dirasa kini namun pada kalanya , satu detik pun dapat dirasa sulit dilalu.
Kini kami melepas atribut dari entitas pelengkap. Menanggalkannya sekian dari apa yang dahulu diinginkan. Sejenak saya berpikir kawanan saya yang bersama di tinggalkan perlahan. Mereka masih mau menyuarakan, masih disibukan khalayak yang abstrak, masih dalam tendensi rakyat. Walau praktiknya pun tak kian. Namun atribut mereka masih terpampang jelas dalam entitasnya.
Tabu saya kini dilanda, dari apa yang mereka tetap jalankan. Apa yang diucap dahulu berbalik arah melawan saya, hanya saja saya berada diantara. Tidak kekanan atau kirinya, saya berada ditengah entah memojok atau menyerong sedikit diantara keduanya. Entitas tak bisa menilai terhadapnya. Prespektif entitas lain yang dapat menerka dari apa yang dilakukan antar entitasnya.
Indahnya menjadi tabu karena akan kah mereka bertemu? bertemu dengan paham-paham tertentu ? suatu paham yang kita pun pusing akan itu ? dengan segala cara berfikir yang keliru. Mungkin hanya saya yang tak tahu. Atau saya yang terlalu tabu. Tabu dalam menyikapi hal baru. Tabu dalam menyikapi sesuatu. Yang relative dan tak tentu.