Entitas nyata berada diantara kami, mereka perkumpulan yang melalangbuana dalam organisasi yang bermacam wujudnya. Mereka datang dari berbagai latar belakangnya serta berbagai pula kontribusinya dalam terbentuknya rumah yang saya singgahi bersama. Mereka ini empunya mereka yang banyak pula terlibat pada kejadian sebelumnya. Mereka diantaranya dalam diantara , membuat sebuah rumpun yang mengakar dan tiada tara bagi banyak cerita yang tersuara. Saya dan teman sempat bercengkrama dan bersahaja sangat terhadap mereka-mereka.
Mengapa dalam chapter dikatakan satu perdua?. Ini tiada bukan pelengkap dalam narasi yang telah saya lalui bersama teman dan apa yang berimbas  terhadap saya dan teman. Tak positive atau pun negative karena itu hanya prespektif. Namun yang pasti mereka ini lah yang membuat kami semakin pipih dalam berpola terhadap pikir yang terjadi dalam benak. Serta tersajinya buah prespektif baru dalam setiap kejadian yang mereka turut terlibat. Mereka tiada bukan membuat kami berfikir dan terfikir selalu dibuatnya, entah.
Bagai koloni kami selalu didampingi kemana dan apa yang kami giatkan terjadi. Mereka selalu memiliki gagasan yang kadang kami tiada pikirnya bagaimana dan mengapa mereka dapat terlintas buah nalar sedemikian. Merekalah awal dari amin kami yang diaminkan, mereka sejahwat kami dalam melanjutkan kebiasaan, serta menggiatkan kebiasaan kami dalam pendiskusian. Itu lah yang membuat kami buta diawal, entah bagaimana. Bukan berfikir yang tiada bukan namun banyak hal yang kemudian tersadarkan.
Imbas dan andilnya cukup membuat kami merasa kian tak bebas dalam bergerak. Terbayang kian menggelap dan terjerat membuat nafas kian tersendat dan tak ada habisnya pula mereka turut terlibat dari apa yang dibuat. Mereka mengimbuhinya sebagai pola dan kami pun mengaminkan segala nestapa. Giat mereka dalam berpola pun kian tiada habisnya bagai bank dalam berpola , mereka selalu merubah cara dalam melakukan wujud eksistensinya, dan kami kembali pula dengan sengaja mengaminkannya.
Bukan tiada hal kami mengaminkan segala pola. karena kami memang mengimani apa yang disebut intelektual serta berbau logika dialetika. Tiada bukan mereka sangat mengimajinerkan nalar kami dari wujud pola yang mereka siratkan. Seperti pada chapter sebelumnya yang saya sebutkan, kami menjadi buta karena saking terledaknya kepala dan nalar dibuat mereka. Itu tiada halnya yang membuat kami menjadi berbalik arah kini, karena kian kami berpikir dan meresaapi, kian pula kami menanggapinya skeptikal dan kian tak masuk diakal namun terjadi.
Itulah mereka sang pengembala suci. Mereka berbuat atas dasar menggerakan apa yang seharusnya memang. Bukan kami menjilat apa yang kami imankan. Namun rasa-rasanya kami dibuat tak mudah dengan segala macam dan tingkah. Dan sejujurnya memang itu yang dibutuhkan dalam menjaga eksitensinya sebuah pergerakan. Ada roda ada pula gear nya namun dalam reaksinya pasti pula menimbulkan traksi , gesekan, serta fraksinya. Kami berada pada ekskresi fraksi yang terjadi mau tidak mau suka tidak suka itulah kami.
Chapter empat konklusi kolusi dan neopolitikan
Setelah apa yang terjadi kami kembali jadi dua dari empat yang tiada tara. Namun teman pemikir saya hampir menjadi gila atau bisa dibilang memang dia sudah gandrung gila. Dia dihempas konflik saking kuatnya terpental mengasingkan diri bak manusia goa. Ia tiada bukannya sampai tak mau menghadiri perkuliahan dan membiarkannya hina dalam kekosongan dan nestapa. Sks nya satu ampuh dalam semester berantakan bagaikan kapal karam , ia menghadapinya santai namun terus dipikirkan. Bagai mahluk yang hidup sekarat mati pun sungkan.
Kami mulai menjalani kehidupan normal kami, segalanya kini dibuang tendensi. Apalah itu problematik kami tak risau lagi. Karena kami sedikit sudah punya regenerasi yang kami limpahkan saja pada mereka dan tak peduli. Justru terbelak mata kami karena problematik yang kami miliki dalam diri malah tak terurusnya sebab problematik yang dahulu kami gandrung gubahi. Ini tiada bukan dari kaburnya pandangan kami yang terdahulu sempat kami imani. Namun kini kami menjadi apa yang mereka kebanyakan sebut sebagai pragmatis.
Sudah tiada lagi tendensi apa pula diskusi kami menjalani apa yang kami pikir pekat substansinya dan penting perannya dalam melanjutkan kehidupan kami yang akan kami jalani kedepan. Kami masih tersirat kata ingin namun sungkan pula menjalani maka kini apa yang terjadi sudah saja jalani dan takpeduli. Apatis tentu namun bagaimana ini yang berkelit terjadi, mereka membuat apa yang kami kini dan sulit rasanya kembali ditambah dengan segala perubahan terhadap realitas asli yang selalu radikal terjadi.
Kami dalam masanya berkabung merenung dan banyak melamun. Mencari apa yang sebenarnya terjadi dengan berbagai cara tersendiri dari kami. Teman saya lebih banyak melamunnya ia dirumah berfikir bahwa ia terlibat dari apa yang disebut quarter life crisis imbuhnya. Memang terdengar naif dan tidak gagah dibuatnya. Namun dengan segala pola yang terbentuk kami menjadi terlalu observan terhadap apa yang terjadi dan tak semena-mena dalam melihat sebuah tragedi yang dinarasikan dalam realitasnya terhadap gambaran lini alam dimensi.