Ini juga yang menjadi poin penting kelemahan Ranperda ini jika benar-benar ditetapkan sebagai Perda. Berkaca pada penerapan Ranperda ini oleh Bupati periode sebelumnya, malah aneh bin ajaib, Ranperda bertujuan mendidik rakyat untuk hidup hemat, malah pemerintah yang produksi perda itu yang menlanggar sendiri yang diindokasikan dalam acara 'tunnu teba' mereka mengurbankan banyak hewan melampui batasan Perda yg ada.
Bagi kami masyarakat kelas menengah kebawah, tanpa Ranperda tersebut yah kami hitung-hitungan kalau kami acara 'tunnu teba' artinya kami tidak boros (Hemat) karena kami memang bukan orang berada. Yang mempertontonkan budaya hidup boros adalah kalangan orang kaya yang kebanyakan datangnya dari pihak pemerintah sendiri (mungkin kekayaannya hasil korupsi).
Dalam kondisi ini saya setuju dengan pendapat kk Jhonatan Aguate bahwa jika Ranperda ini betul-betul diadakan, maka disarankan terapkan terlebih dahulu pada seluruh orang dipemerintahan. Hal ini memang kenyataan dilapangan pemerintah buat perda, pemerintah sendiri yg melanggar, mungkin saja mereka mengganggap peraturan dibuat untuk di langgar bukan ditaati.
Poin berikutnya adalah, jika Ranperda ini benar2 diadakan, mampukah pemerintah untuk melakukan fungsi kontrol kepada masyarakat dalam rangka menegakkan raperda ini? Cerita yg beredar ditengah masyarakat bahwa di Sumba Tengah, diterapkan perda semacam ini, kemudian dalam prakteknya, didepan 'natara' masyakat memang potong kurban sesuai batas perda, tetapi dibelakang banyak sekali hewan yang dikurbankan melebihi batasan perda.
Indikator sebagai parameter hemat tidaknya orang dalam perda tidak jelas dan tidak menghitung semua pemborosan yang ada. Dari sisi aspek sosial budayanya, Yang trend di pahami masyarakat adalah bahwa budaya hidup hemat indikatornya adalah dengan memotong hewan maksimal 5 (misalnya), lalu bagaimana dengan belis perempuan, apa ada batasan juga ?. Selanjutnya, bagaimana pemborosan lain, misalnya dalam berpesta pora dalam acara nikah, apa ada batasan sebagai parameternya juga? Apakah ada batasan bagi kami perokok untuk merokok berapa bungkus dalam sehari dalam rangka budaya hidup hemat?.
Dalam keadaan tertentu, ketika masyarakat dituntut keadaan harus mengurbankan hewan lebih dari batasan Perda, Ranperda ini tidak memberikan solusi, kehadirannya semata-mata menuntut rakyat untuk budayakan hidup hemat tanpa solusi dalam keadaan tertentu. Contohnya sederhana saja, bagi orang yang keluarganya banyak, dalam hitung-hitungan secara budayawi mencukupi tidak?
Sekali lagi, sudahlah pak bupati, berhentilah merancang perda yg sudah basi dan tidak krusial dibutuhkan masyarakat, Berhentilah mengontrol hidup pribadi rakyatmu dengan batas membatasi dalam kedok budaya hidup hemat, apalagi kami masyarakat miskin tidak ada gunanya Ranperda itu jika orang elit sendiri yg langgar, terus kami hemat apanya, ko kami memang bukan orang berada. Urus dan kontrol saja jajaran dan kaki tangan pemerintahanmu untuk hemat menggunakan anggaran dan tidak korupsi, itu saja sudah cukup bagi kami dari pada Ranperda basi itu.
Produksi saja Ranperda yang mengontrol investor yang datang supaya bukan hanya mereka investor saja yg untung tetapi rakyat juga ambil keuntungan demi memperbaiki ekonomi mereka, bukan malah kehadiran investor menindas rakyat kecil.
Produksi saja perda yang dapat mengontrol orang luar yang datang mempermainkan harga jual beli di sumba barat, misalnya harga pasir.
Urus saja dulu moral hidup hemat dalam birokrasimu, dari pada urus moral privasi rakyatnu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H