Hoaks merupakan informasi bohong yang meyakinkan orang lain tapi tidak  dibuktikan kebenarannya. Isu hoaks yang lebih dikritisi disini adalah penebaran berita yang mengandung unsur kebencian.
Media penyebaran isu hoaks ini beragam dapat melalui portal media online dan akun medsos palsu. Hoaks disebarkan dalam bentuk tulisan berita bohong, foto dan bahkan video yang pada intinya menebarkan nuansa kebencian.
Menurut Gusty Agung dalam artikelnya di wordpress.com , penyebab hoaks  ia kemas dalam istilah cantik ini yaitu 'politik di media dan media dipolitik'. Singkatnya dalam artikelnya bahwa hoaks dibuat karena kepentingan politik lewat media. Tetapi dari media sendiri melakukan politisasi demi pemenuhan kepentingan komersial dan pemenuhan komsumsi berita politik oleh masyarakat.
Di mata 'cermin retak' yaitu forum diskusi ilmiah yang independen mengkaji persoalan hoaks ini dari 3 perspektif, yaitu dari segi filsafat, sosial politik dan hukum. Ketiganya mengkaji dari disiplin ilmu dan pandangan yang berbeda tetapi bermuara pada satu tujuan yaitu menganalisis hoaks sesuannguhnya seperti apa.
Dari segi filsafat oleh pemateri Wilbaldus Sae (Mahasiswa Filsafat) menyatakan bahwa hoaks itu merupakan berita yang keabsahannya tidak dipertanggungjawabkan. Dan dalam tataran epistemologis, hoaks jelas mengkhianati kebenaran dan mengancam eksistensi dan prinsip kebenaran.
Pemateri kedua yaitu Efrem Wijaya (mahasiswa FISIP) mengkaji dari perspektif sosial dan politik. Dalam paparan materinya, Efrem mengatakan bahwa hoaks merupakan fenomena yang menggerogoti eksistensial kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini disebabkan isu yang ditebarkan mengandung unsur kebencian dan berdampak memecahbelah bangsa.
Selanjutnya hoaks dikaji dari perspektif hukum oleh pemateri Elfrem Wonny dari fakultas hukum. Memang secara hukum, masyakat di beri kebebasan untuk menyampaikan pendapat baik lisan maupun tulisan.
Hukum yang mengatur hal tersebut terdapat pada Pasal 28 UUD 1945 bbunyi "Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dan lisan dan tulisan, dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang".
Lanjut lagi pada Pasal 28 F UUD 1945 bunyi  "setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia".
Namun isu hoaks ini menjadi tantangan para aparat penegak hukum untuk menentukan arah kebijakan baru mengenai landasan hukum pers terkhususnya media online. Selain pemerintah harus mengadakan kegiatan edukasi kepada masyarakat untuk membedakan berita hoaks dan yang tidak demi eksistensi kehidupan dalam keberagaman bangsa.
Selain pihak pemerintah kita sebagai pihak konsumtif media online harus lebih dewasa dalam berselancar dengan berita di media online. Kita harus mengomsumsi berita-berita yang sumber yang dipercaya. Dalam hal ini media online yang berbadan hukum dan sudah tervalidasi oleh dewan pers.
 Seperti dirilis dari news.okezone.com bahwa menurut dewan pers ada sekitar 43.000 portal media online di indonesia, yang terdaftar ada 500 media dan batu 7 media yang tervalidasi. Disarankan kepada kita agar  membaca berita dari sumber terpercaya dan jika perlu dari sumber yang sudah divalidasi oleh dewan pers.
Untuk itu, kita harus lebih dewasa dan selektif dalam mengomsumsi berita serta tidak mudah terprovokasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H