Mohon tunggu...
Alifia Nadiatun Najiiha
Alifia Nadiatun Najiiha Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Sebelas Maret

Nathan Arael, nama pena dari gadis introvert yang lahir pada bulan Desember 2003 di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Anak keempat dari keluarga yang luar biasa. Kebiasaan mengkhayal dan mengamati lingkungan sekitar membuatnya bertekad untuk menjadi penulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bahtera dari Kayu Curian

25 Maret 2024   00:08 Diperbarui: 25 Maret 2024   00:49 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tentu saja kamu merasa bahagia, dengan segala harta dan hak istimewa, hidupmu tak pernah kehausan. Bahkan meski samar, masih ada ingatan tentang sosok ayah yang meluangkan waktu bermain--tentunya sebelum dilanda oleh padatnya dunia kerja.

Entah sejak kapan, kamu tidak tahu pasti. Ayahmu selalu pergi dan ibumu sibuk mengikuti. Kamu ditinggal di rumah besar, tidak sendiri tentunya—ayahmu mengirim satu dua orang yang dibayar untuk memenuhi kebutuhanmu. Mungkin saat itulah kerenggangan mulai terjadi, tapi kamu tidak begitu menghiraukannya. Toh, ayahmu masih sempat pulang dan membawa buah tangan setelah sebulan, dua bulan, atau lebih terus mengurus sesuatu yang kamu tidak tahu pasti apa itu. Kamu sebagai anak tunggal hanya sibuk mencari ilmu dan bergaul tanpa berusaha mencari tahu.

Sampai ketika kamu yang jarang mendengar kabar ayahmu-- jutsru malah mendapat kabarnya dari kanal berita, kabar penangkapan untuk pertama kalinya. Saat itu, kamu tak begitu khawatir. Bukan, bukan karena kamu tidak peduli, tapi saat itu kamu tak punya prasangka.  Meskipun saat itu pekerja di rumahmu tergopoh-gopoh mematikan televisi setelah mendapat telepon dari seseorang. Mungkin ayahmu, atau ibumu yang kabarnya juga ikut diinvestigasi, atau bisa jadi pekerja lain yang dibayar oleh mereka.

Ayah dan ibumu pulang ke rumah besar—saat itu masih rumahmu. Kamu, yang biasanya tetap di kamar tanpa menyambut, saat itu memberanikan diri untuk keluar. Tak menyangka bahwa keputusan itu akan segera kamu sesali. Menyaksikan percakapan mereka malam itu membuat semua eunoia hirap. Itu kali pertama kamu mendengar ayahmu melaung, kali pertama pula melihat ibumu dengan mata yang sembab.

“Aku sudah bilang berkali-kali, ini proyek rahasia!” Ayahmu memulai, melimpahkan murka yang selama ini mungkin ia tabung, sebab kamu sama sekali belum pernah melihat wajah semerah itu darinya. Saat itu kamu baru tahu alasan mengapa semua pekerja di rumahmu dipulangkan lebih awal.

“Aku cuma percaya sama Kamu. Aku dengan percaya diri mengatakan semuanya di depan mereka karena aku pikir Kamu tidak salah.” Ibumu membela diri dengan berani, meski beberapa kata yang terlontar pecah akibat isak yang masih tersisa.

“Aku tidak salah. Aku hanya mengambil langkah cerdas. Biar Kamu, anakmu, kita semua bisa hidup dengan baik. Keparat-keparat itu yang aji mumpung, sengaja mengambil untung dari hasil jerih payah orang.”

“Itu bukan langkah cerdas, Kamu serakah.”

“Lihat siapa yang bilang. Sebelum mengatakan omong kosong itu, lebih baik Kamu melepas semua pakaian yang aku belikan. Itu hasil dari langkah cerdas yang Kamu nistakan.”

“Kamu beneran nggak merasa malu?” Ibumu lagi-lagi bertanya, mungkin masih tak percaya sosok yang ia bersamai selama lebih dari belasan tahun itu melakukan kelicikan tanpa segan.

“Malu? Kamu yang bikin malu. Sudah lama di bidang ini, tapi masih buta arah uang. Bukan kejujuran dan kepercayaan yang ngasih Kamu makan.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun