Kota di atas awan, Baguio, memberikan esensi tersendiri pada diri. Semua terlihat dari tatakota yang menakjubkan di ketinggian 1,470 meter di atas permukaan laut. Pohon pinus berbaris gemar menari menemani tiap jengkal aspal licin teguyur hujan yang enggan diam. Â Sendu yang menimbun suka, diantara semua rimtiknya kota Bagui menyimpan harta karun di balik gunung ....., . Keindahanya tersembunyi kabut apatis dari si burjois di tengah hirarki.
Kecil dari awan, raksasa bagi para awam. Kota besar yang bertumpuk kesenjangan, hidup dari asap tepi laut. Enggan menghilang. Dari beton menjulang, proletar punya segelas air jenuh menuang. Dua pekan di tanah sebrang, hati menolak untuk berpulang. Kembali alas kaki beradu dengan lantai pualam, mencari topang untuk tubuh yang mulai legam. Suara dari pengeras memerintah diri untuk masuk kembali ke dalam burung besi. Moncong yang mulai menantang langit, roda yang tidak lagi menyentuh lintasan, dan turbolensi setia menanti disudut awan.
" Maraming Salamat, Po. " Kalimat batin ketika tubuh mulai berpisah dari tanah Luzon, mulai menggapai horizon. Janji untuk kembali bukan hanya di tanh Luzon, mencoba merengkuh Mindanao di selatan.
Sekembalinya di bumi pertiwi, gerimis tangis telah menanti dengan renungan sepanjang pertemuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H