Mohon tunggu...
Nathanael Ricardo Diaz
Nathanael Ricardo Diaz Mohon Tunggu... Jurnalis - Feature Writer, Social Dynamic Enthusiast

Seorang manusia yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi terhadap kehidupan. Mari terhubung melalui Instagram: nathanaelricardoo | Facebook: Nathanael Ricardo Diaz | E-mail: ardodiaz123@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Wajarkah Jika Pria Tidak Menampilkan Maskulinitas?

1 Maret 2020   20:44 Diperbarui: 3 Maret 2020   08:17 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi | sumber: pexels.com

Memperingati hari nol diskriminasi pada tanggal 1 Maret 2020, saya masih melihat ketidakadilan dan diskriminasi dan perbedaan kesenjangan sosial di Indonesia. Dari segi dinamika sosial, saya ingin mengekspresikan peran gender yang saya rasa "terlalu" menuntut kaum pria untuk mengikuti nilai dan norma yang sudah distandarisasi oleh masyarakat.

Secara konteks perkembangan zaman, Anda dan saya sudah hidup di zaman "modern" dimana norma-norma tradisional sudah mulai tidak dipegang secara total oleh masyarakat di Indonesia.

Tetapi, seiring perjalanan hidup saya berinteraksi dengan berbagai macam jenis orang, saya masih melihat ada individu-individu yang menginginkan emansipasi tetapi masih memegang dan mempercayai nilai-nilai norma masa lampau.

Berikut beberapa contoh nilai-nilai dan stereotip masyarakat yang sering kita jumpai dan dengar:

  • Pria wajib menampilkan sosok dominan seorang pemimpin.
  • Pria wajib membiayai kebutuhan rumah tangga.
  • Pria wajib untuk menunjukkan kejantanannya di depan orang lain.
  • Pria wajib untuk menyembunyikan perasaannya.

Dan saya rasa masih banyak tuntutan-tuntutan lainnya yang sudah ada atau bahkan diciptakan oleh masyarakat itu sendiri. Secara singkat, nilai-nilai yang sudah sering Anda dan saya dengar tersebut menampilkan label seorang "pria" sesungguhnya; seseorang yang maskulin dan dominan.

Menurut beberapa penelitian yang dilakukan di Amerika, label dan tuntutan maskulinitas yang dibebankan ke pria meningkatkan persentase kemungkinan stres dan bunuh diri bagi pria.

Secara psikis, pria dan wanita juga mempunyai respon yang berbeda ketika mengalami tekanan. Secara statistik, pria juga ditemukan bunuh diri lebih banyak dari pada wanita. Secara tidak langsung, bukankah ini juga menunjukkan bahwa tuntutan-tuntutan maskulinitas sangat membuat pria merasa lebih dikekang dan ditekan?

Bukan, saya tidak ingin mencoba menggeser hal dan peranan tersebut dari seorang pria. Penekanan saya adalah soal mentalitas dan peran yang terkadang kontra terhadap nilai-nilai konvensional. Tuntutan dan nilai-nilai bahwa pria harus menjadi sosok yang lebih membiayai soal materi ataupun peran-peran lainnya juga sebenarnya sudah tidak berlaku di perkembangan zaman modern ini.

Tolak ukur identitas seorang pria tidak hanya ditampilkan dari apa yang sudah dipercayai atau diyakini nilai-nilai secara tradisi ataupun norma sosial yang berlaku.

Sebuah Individu, terlepas dari jenis kelaminnya, berhak untuk mengekspresikan dirinya sesuai kehendak yang diinginkan.

Jika seorang wanita merasa dirinya mampu untuk memimpin, itu berarti seorang pria juga dapat merasa dirinya menjadi team player yang baik. Peran dan mentalitas tersebut yang saya rasa masih sering disalahartikan sebagai pergantian atau pergeseran peran yang mutlak.

Jika pergerakan feminisme dan kesetaraan gender sudah mengubah cara pandang masyarakat terhadap kaum wanita dari segi peran dan prinsip kehidupan. Bukankah berarti nilai-nilai keseteraan tersebut juga berlaku bagi para kaum pria?

Saya akui, nilai-nilai konvensional dan tradisi mungkin mengekang beberapa individu yang dikondisikan untuk bersikap demikian. 

Akan tetapi, jika pria ataupun wanita sudah mampu memahami peran masing-masing dan dapat berkontribusi sebagai manusia dengan baik, maka tuntutan atau nilai-nilai yang ditekan oleh masyarakat dan kelompok tertentu akan semakin tidak berlaku untuk emansipasi di zaman modern ini.

Tuntutan sebagai pria untuk menjadi sosok yang memaklumi, lebih dewasa, merupakan sebuah beban yang tidak manusiawi. Pria juga manusia, bukan superhero. Saya rasa setiap individu mempunyai kebebasan untuk dapat bertanggung jawab dan bersikap dewasa atas diri sendiri.

[REFERENSI]

  1. Is Toxic Masculinity a Real Thing?
  2. What We Mean When We Say, "Toxic Masculinity"
  3. What Is Toxic Masculinity?
  4. How Gender Equality Can Protect Men's Health
  5. Wanita vs Pria

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun