Isu mengenai milenial ini sebenarnya sudah cukup lama diperbincangkan dan terlihat outdated jika ingin diangkat kembali. Namun, perdebatan di antara para peneliti dan pengamat masih tidak berhenti sampai saat ini.
Mau tidak mau, generasi milenial akan menjadi pioneer bagi bangsa dalam beberapa tahun yang akan datang. Sayangnya, generasi ini juga muncul di saat transisi teknologi berkembang dengan pesat. Beberapa hasil manusia generasi Y ini menimbulkan kebingungan yang cukup kompleks.
Beberapa berpendapat generasi milennial identik dengan egoisme, sampai dijuluki memiliki gangguan kepribadian narsistik. Pernyataan gamblang ini muncul pada Majalah Time pada tahun 2013 yang ditulis oleh Joel Stein, seorang jurnalis Amerika pada majalah Time waktu itu. Joel menyinggung generasi millennial dengan sebutan Me Generation. Pernyataan tersebut memukau kontroversi dan menarik perhatian platform media lain.Â
Akan tetapi, tidak sedikit juga yang berpendapat bahwa generasi milennial memberikan impresi baik pada sebagian orang. Beberapa diantaranya juga secara gamblang menentang pernyataan yang dicetus oleh kolumnis majalah Time tersebut.
Anda mungkin juga sering atau mempunyai pandangan tersendiri terhadap generasi yang katanya merupakan generasi emas ini. Saya rasa keadaan di lapangan (industri dan lainnya) cukup menggambarkan kondisi yang sekarang terjadi.
Jika ditanyakan kebenarannya, saya sebagai seorang milennial tidak dapat memberikan kepastian tentang stereotip tersebut benar atau tidak. Namun saya tidak bosan mengulang, merepetisi, mengingatkan Anda bahwa setiap permasalahan yang timbul itu dapat dibedah, ditelusuri dan diperintil secara detil sedemikian rupa sehingga timbul akar permasalahan serta solusi (jika ada) untuk merubah hal tersebut.
Mari kita telusuri beberapa penyebab yang perlu diketahui:
Pola asuh sejak dini mempengaruhi kebiasaanÂ
Pola asuh sebuah keluarga menjadi salah satu faktor terpenting dalam membentuk kepribadian seseorang, begitu juga karakteristik generasi milenial. Jikalau ada pola abuse secara verbal dan non-verbal, maka hasil tersebut akan membuahkan sebuah identitas yang semu-semu.Â
Alissa Hutbocks, seorang psikolog anak di University Hospitals in Cleveland, mengatakan:Â most damaging time" is during pregnancy and the first three years of life, when development "takes the biggest hit at the brain level."Â
Dengan kata lain, perlakuan anak di usia dini akan mempengaruhi perkembangan karakter sang anak pada jangka waktu yang cukup panjang. Jadi gambaran refleksi seseorang yang mungkin Anda temui pada diri Anda sekarang ataupun orang lain kecenderungannya terpancar dari pola asuh sang orang tua.Â
Saya tidak akan menggali terlalu dalam konteks ini karena ini merupakan bagian kecil dari permasalahan kompleks yang menciptakan dilema di generasi millenial. Namun saya ingin mengatakan bahwa pola asuh merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi adanya dilema generasi millenial sampai saat ini.
Bukan salah mereka (milenial) jika terpaksa dilahirkan dan dididik oleh orang-orang tidak bertanggung jawab, tidak mau tahu, tidak mengerti tentang pentingnya punya gaya mendidik dan mengasuh anak secara baik. Anda pasti pernah melihat seorang millenial yang disfungsional, lamban untuk mencoba, takut salah dan hal-hal tidak baik lainnya
Terlalu banyak Informasi yang masuk
Zaman dahulu, untuk mengetahui sesuatu informasi biasanya seseorang mendengar melalui koran, radio, atau hal-hal yang masih berbau konvensional. Sekarang, sungguh mudah untuk mendapatkan dan menemukan informasi yang dibutuhkan.Â
Semua menjadi serba instan. Gadget, media sosial, benar-benar telah mengubah pola perilaku manusia secara drastis. Generasi milennial hadir di saat transisi tersebut terlaksana. Â
Ditambah lagi, pengguna internet di Indonesia juga dilaporkan meningkat setiap tahunnya. Salah satu survey menyatakan millenials terlalu banyak menghabiskan waktu lewat smartphone mereka. Survey yang dilakukan YouGov tersebut menemukan bahwa hampir dari setengah generasi milenial mempunyai kebiasaan tersebut.
Jika ditanya kegiatannya, mungkin jawaban yang Anda dan saya temukan akan bervariasi seperti melihat feed atau story, sekedar mencari headline news. Tetapi satu hal yang pasti, Anda dan saya disodorkan informasi secara masif.Â
Dari yang penting sampai tidak penting. Di satu sisi, Anda dan saya menjadi informatif, namun di sisi lain, terlalu banyak informasi yang tersaring dalam pikiran.
Ekspetasi tidak realistisÂ
Berkaitan dengan poin sebelumnya, media sosial yang menjadi ladang informasi sangat memudahkan Anda dan saya untuk menciptakan proyeksi akan sesuatu. Kesuksesan, kemapanan, hubungan ideal, hal-hal yang berbau positif serta indah dapat secara mudah dipaparkan melalui layar gadget Anda dan saya.
Tidak perlu susah-susah menjadi artis, media sosial memudahkan Anda dan saya menjadi manusia inflasi yang tertarik dengan ajang mempromosikan dan mengindahkan diri sendiri. Istilah mudahnya, panjat sosial atau kebelet terkenal.
Tidak ada yang salah dengan hal tersebut, hanya terkadang pola kebiasaan itu saya akui sangat adiktif dan membuat Anda dan saya menjadi tidak realistis. Seperti kebiasaan seorang narsistik yang "terlalu" mementingkan kepuasan diri.
We are in love with an idealized, grandiose image of ourselves. Ucap para peneliti yang mempelajari kepribadian narsistik.
Bagaimana dengan generasi milenial di Indonesia?Â
Jujur saja, konteks pembahasannya cukup dalam dan luas karena negara Indonesia mempunyai keberagaman yang sangat banyak. Jika saya menggeneralisir, generasi milennial di Indonesia itu generasi kebingungan.
Kebingungan mencari identitas diri, kebingungan menentukan tujuan hidup, kebingungan ini dan itu. Generasi yang susah untuk menjadi dewasa. Terlalu banyaknya perbedaan jadi kebingungan sendiri dalam mengambil keputusan. Itulah Anda dan saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H