Tahun 2020 telah tiba menyambut, di mana Anda dan saya memulai lembar baru dalam buku kehidupan. Sebagian dari kita mungkin siap menghadapinya.Â
Namun, saya turut mengerti dan memahami bahwa sebagian dari Anda juga mungkin merasa depresi, resah, kusut, dan tidak berpengharapan menghadapi tahun baru. Gejala yang terjadi pada pergantian tahun ini sudah tidak asing lagi dan dialami banyak orang.Â
Penelitian mengungkapkan bahwa gejala musiman ini merupakan sebuah pola yang ternyata merupakan salah satu gejala gangguan mental, biasa lebih dikenal dengan sebutan New Year's blues dan SAD (Seasonal Affective Disorder). Â
Dr. Rosenthal, seorang psikiatris dan penemu istilah Seasonal Affective Disorder, mengungkapkan bahwa gangguan awal musiman ini dapat menurunkan produktivitas dan hubungan interpersonal seseorang.Â
Tidak hanya itu, perkembangan teknologi yang memudahkan Anda dan saya untuk melihat kehidupan orang lain melalui social media dapat memperparah gejala ini beberapa kali lipat gandanya. Tidak heran jika gejala galau ini dapat menuju terhadap gangguan mental yang lebih serius seperti depresi berat, bipolar disorder, dan gangguan jiwa lainnya.
Lalu, apa solusinya? Itu mungkin yang menjadi pertanyaan sejuta umat yang mengkumandangkan solusi sebagai jawaban dari permasalahan mereka. Kebanyakan dari kita secara sadar dan tidak sadar ingin langsung membereskan masalah-masalah yang ada dengan mencari sebuah solusi. Mau cepat beres, mau instan, dan tidak mau ribet. Padahal, sebuah permasalahan terjadi karena faktor-faktor yang perlu Anda dan saya ketahui.Â
Jadi jika sebagian dari Anda merasa seperti itu, tunggu dulu.. mari kita lanjutkan dan resap permasalahan ini secara menyeluruh dan lebih dalam. Melalui penelitian dan perkembangan gaya hidup dengan teknologi media sosial pada zaman modern ini, setidaknya ada beberapa akibat yang bisa Anda dan saya telusuri lebih lanjut.
Sudah tidak asing lagi jika pada masa liburan dan pergantian tahun ini story facebook atau instagram berbanjiran dengan pameran kebahagiaan orang lain.Â
Kita merasa malu dan kecewa terhadap kegagalan-kegagalan yang kita dapatkan.
Semakin kita menghabiskan waktu berkutat dan memantau social media, semakin kita membandingkan pencapaian hidup kita dengan orang lain.Â
Padahal, perbandingan hidup kita dengan orang lain bukanlah sebuah parameter yang cukup tepat untuk melihat keberhasilan apa yang sudah kita capai. Ada banyak faktor dan kondisi yang sangat mempengaruhi pencapaian hidup tersebut.Â
Jika bisa dijabarkan, salah satunya adalah lingkungan serta support system yang kita miliki. Namun, terlalu dalam dan panjang jika kita ingin menelusuri faktor-faktornya.
Merasa Kalah
Di saat banyak orang berlomba memperlihatkan kehidupannya yang (terlihat) menggembirakan, kita mungkin dapat merasa terpukau dan kagum. Namun di sisi lain, kita juga jadi mempertanyakan keberhargaan diri kita.Â
Sebagian dari kita mungkin merasa iri, dengki, dan bahkan sampai berkompetisi untuk ikut memamerkan kebahagiaan semu yang kita miliki, hanya untuk menghibur diri secara sesaat. Kita merasa tersaingi karena sebenarnya jauh di dalam lubuk hati, kita merasa tidak sebahagia itu.
Resolusi TerbengkalaiÂ
Mirip dengan beberapa poin di atas, sebagian dari Anda mungkin langsung mengambil kesimpulan untuk mencari solusi dan membuat resolusi baru. Mungkin kita sangat menggebu-gebu, semangat, dan mempunyai daya juang baru ketika membuat resolusi-resolusi tersebut.Â
Namun, apakah kita mampu untuk melakukan hal-hal tersebut secara konsisten dengan keadaan dan kondisi yang melemah? Saya rasa tidak.Â
Melalui beberapa faktor di atas, kita jadi dapat mengerti dan memahami sedikit dari permasalahan yang terjadi secara musiman ini. Tetapi, saya juga perlu mengingatkan bahwa ada banyak faktor lain yang dapat membuat rasa jenuh ini timbul dalam kehidupan Anda.Â
Jadi, saya tidak akan menawarkan Anda solusi brilian untuk permasalahan kompleks ini. Setidaknya, belum se-ekstrim itu. Selagi masih awal tahun baru, ada satu hal ringan yang saya anjurkan untuk Anda coba lakukan: Social Media Detox.
Sudah saatnya Anda berhenti membandingkan kehidupan Anda dengan orang lain. Cobalah untuk meng-uninstall semua aplikasi media sosial yang dirasa mengganggu produktivitas dan kehidupan Anda.Â
Berikan target dan berapa lama Anda ingin beristirahat dari kehidupan digital tersebut dan tentu saja rayakan keberhasilannya jika Anda mampu melakukannya. Apresiasi tersebut bisa berupa belanja pakaian baru, makan di restoran favorit Anda, atau mungkin travelling ke tempat yang Anda ingin kunjungi sejak lama.Â
Jika Anda berpikir dan takut mengalami FOMO (Fear of Missing Out), jangan mengeluh dan panik. Dicoba dulu saja, nanti juga ketahuan hasilnya seperti apa. Anda akan melihat perbedaan yang kecil namun signifikan jika kegiatan ini tekun dilakukan.Â
Pada dasarnya, Anda dan saya merupakan makhluk yang membutuhkan sosialisasi. Manusia adalah makhluk sosial. Jadi seharusnya, pengaruh media sosial tidak akan merusak identitas Anda sebagai manusia seutuhnya. Seusai membaca artikel ini, harapan saya adalah kondisi kusut Anda dapat berubah menjadi lebih cerah. Ketahuilah bahwa Anda tidak sendirian menghadapi rasa jenuh ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H