Pendidikan merupakan hal terpenting bagi seseorang agar mereka dapat sukses dalam hidupnya. Sejak kecil, kita telah menerima pendidikan, dimulai dari keluarga, kemudian taman kanak-kanak (TK), sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), hingga kuliah dan mendapatkan pekerjaan. Namun, banyak orang yang belum tahu bahwa tingkat tertinggi pendidikan, terutama di Indonesia, adalah S3, yang memberikan gelar doktor atau profesor kepada lulusannya.
Doktor atau profesor sering disebut juga sebagai guru besar. Guru besar ini menjadi tonggak pendidikan di universitas-universitas, berpengaruh terhadap negara, dan memengaruhi seluruh sistem pendidikan. Mereka adalah pemegang gelar pendidikan tertinggi dan terlengkap di bidang-bidang tertentu. Mereka sering dianggap sebagai orang yang berpendidikan tinggi, memiliki pemikiran yang cerdas, serta sikap dan akhlak yang baik sebagai cerminan dari akal budi mereka yang sudah diasah dan berilmu. Namun, tidak semua doktor, profesor, dan guru besar menggunakan ilmu, kemampuan, serta tanggung jawabnya untuk melakukan hal-hal baik. Sering kali, mereka malah menyalahgunakan posisi dan kekuasaannya.
Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Jamal Wiwoho, yang dituding menutupi dugaan korupsi sebesar Rp 57 miliar di kampusnya. Hal ini menunjukkan betapa tidak jujurnya rektor UNS tersebut, yang seharusnya memberikan pendidikan dan mengatur UNS menjadi tempat pendidikan terdepan, justru malah terlibat dalam korupsi yang merugikan universitas.
Kasus penyimpangan yang melibatkan para doktor ini ternyata bukan hal baru, melainkan sudah banyak terjadi, baik berupa kecurangan maupun tindakan kriminal yang dilakukan oleh sebagian penerima gelar doktor. Kasus-kasus ini terbukti melalui berbagai sumber berita. Dalam berita yang dilansir Kompas.com, terdapat kasus korupsi yang melibatkan RektorTidak hanya kasus korupsi, terdapat juga kasus lain, seperti kasus pelecehan seksual. Dilansir dari Kompas.com, seorang profesor dari Universitas Halu Oleo bernama Prof. B diduga melakukan tindak pelecehan seksual terhadap seorang mahasiswi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, tidak semua profesor yang berpendidikan tinggi memiliki hati yang baik. Bahkan, mereka dengan berani melakukan tindakan pelecehan seksual. Perumpamaannya, seperti dokter yang seharusnya menyembuhkan, namun justru melukai pasiennya. Seorang profesor yang melakukan pelecehan seksual telah mengkhianati kepercayaan yang diberikan kepadanya. Keduanya berada dalam posisi otoritas dan pengaruh, yang seharusnya digunakan untuk membimbing dan mendidik, bukan untuk mengeksploitasi.
Tindakan pelecehan ini tidak hanya merusak kehidupan korban, tetapi juga mencoreng reputasi institusi dan profesi secara keseluruhan. Seperti pasien yang mungkin takut untuk mencari perawatan medis setelah mendengar kasus tersebut, mahasiswa pun bisa kehilangan kepercayaan pada sistem pendidikan dan figur otoritas akademik. Seharusnya, para petinggi pendidikan ini menggunakan ilmu dan kekuatannya untuk tujuan baik, bukan untuk keuntungan pribadi atau kejahatan, karena peran mereka sangat penting dalam pendidikan dan inovasi masa depan yang bisa didapatkan dari ilmu yang telah mereka peroleh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H