Istilah yang satu ini sekiranya masih sangat asing di Negara +62 ini, namun sadar atau tidak sadar masyarkat Indonesia sangat banyak dan gemar untuk menunjukkan Achievement,"Siapa dirinya, Apa yang dia punya, Apa pekerjaanya, Dimana kerjanya, Berapa harta kekayaannya", dan berbagai hal lainnya yang dianggap menjadi sebuah diskursus penting untuk mempertontonkan sebuah Kekayaan dalam Social Media, istilah ini disebut Spectacle (tontonan).Â
Sementara itu, belakangan jagat social media dan media berita baik online atau offline juga ramai membicarakan Flexing (pamer), yang dimana flexing ini secara subtansinya bagaimana kita menilai perilaku baik individual atau kelompok tertentu yang secara sengaja dan sadar memamerkan atau mempertontonkan dirinya demi sebuah regkonisi (pengakuan).Â
Berangkat dari hal inilah, jauh sebelum istilah Flexing cukup ramai dibicarakan di Indonesia, di Negara-negara barat sudah ada sebuah kajian sosial terhadap Spectacle, dimana kajian ini menyoroti sekelompok masyarakat yang menunjukkan kelas sosialnya demi mendapatkan sebuah reputasi dan nilai lebih dalam pandangan masyarakat lain, dan mayoritas akan menggunakan sebuah kekuasaan dan kekayaannya dalam menunjukkan eksistensi dengan mempetontonkan sisi "Apperance" (penampilan) yang sekiranya akan menjadi cerminan bagaimana mereka memang layak untuk ditonton.
Hal ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh salah satu Sosiolog dan Filsuf Perancis, Guy Debord. Pembahasan tersebut mengarah pada bagaimana sejarah sebuah "Tontonan" (Spectacle) bukanlah hanya sebatas kumpulan gambar namun itu adalah bentuk sosial yang dimana hubungan antara orang-orang yang dimediasi oleh gambar untuk membentuk sebuah citra (Debord, 2005:7).Â
Menindaklanjuti pengertian tersebut, artinya gambar-gambar yang sengaja diciptakan tmemang akan secara implisit mengarahkan individu untuk menjadi gambar yang layak ditonton oleh orang lain, dengan begitu hubungan sosial yang dimediasi oleh gambar tersebut dapat dipahami sebagai teknologi yang secara nyata dapat menjadi manipulatif pada visual belaka yang merubah pandangan-pandangan objektif dari sebuah gambar yang dipertontonkan menjadi sebuah gambar yang penuh dengan kepalsuan semu. Dengan kata lain, bisa juga hal tersebut adalah hal yang tidak nyata.
Spectacle (tontonan) secara kontekstualnya mampu menundukkan manusia pada dirinya sendiri, tatkala keadaan ekonomi yang menjadi indikasi paling besar untuk manusia tunduk terhadapnya.Â
Dalam konteks spectacle disini, selayaknya ketika seseorang mengalami keadaan ekonomi yang berkembang atau menanjak dikehidupannya, saat itu lah mereka wajib untuk melawan dirinya sendiri dengan ekonomi yang sudah mapan itu yang harus mereka bisa kontrol agar mereka tidak memamerkan secara fulgar dengan tujuan mempengaruhi atau bahkan melegitimasi kelompok tertentu.Â
Sebuah tontonan yang dibangun berdasarkan dari dialektika yang terjadi pada era serba teknologi yang mendominasi kehidupan jutaan manusia ini memang sangat kental dengan dialog yang berfungsi untuk menyelediki sebuah masalah yang notabanenya muncul berawal dari kemampuan manusia yang mulai merasa mampu dari sector ekonomi sehingga muncul rasa untuk mempertontonkan dirinya pada khalayak public yang mengintegrasi pada sebuah konsep tontonan itu sendiri.Â
Menurut Guy Deboard, spectacle mampu menundukkan manusia pada dirinya sendirinya karena ekonomi telah benar-benar mendukungnya untuk diasosiasikan kepada sebuah wadah yang tepat sebagai jembatan untuk menjadi sebuah tontonan (spectacle). Mengutip dari kumparan.com, artikel karya Maychaella Novita menjelaskan bahwa Teori Guy Debord pada dasarnya berangkat dari pola nilai Marxisme, yaitu pergeseran nilai being (ada) menjadi having (memiliki), yang dimana pola nilai tersebut secara berkelanjutan bergeser lebih jauh menuju eksploitasi nilai appearing (tampak).
Lebih lanjut, sangat masifnya masyarakat di Indonesia untuk aware (dekat) dengan media sosial terutama saat Internet menjadi salah satu kebutuhan yang sengaja diciptakan untuk dikonsumsi secara masal dengan intensitas tinggi ini terjadi sekitar awal tahun 2010 yang dimana dulu kita mengenal beberapa platform media sosial seperti; Friendster, Facebook, Twitter, Path, hingga sekarang yang sangat banyak diikuti yaitu Instagram.Â
Popularitas Instagram ini memang sangat menunjang beberapa individua tau kelompok tertentu dalam meningkatkan eksistensi dan juga dalam mempertontonkan sebuah pencapaian dan kegemerlapan tersebut ke dalam sebuah gap atau kesenjangan sosial yang akan melegitimasi dan mendeskreditkan orang lain yang tidak mampu untuk mempertontonkan hal yang sama.Â
Dengan demikian, aktor yang akan menguasai jalannya media sosial didominasi oleh para Society of Spectacle atau sangat akrab disebut Masyarakat pamer yang mengaktualisasikan sebagaian hidupnya untuk di setting terlihat layak ditonton dan mengundang beragam pujian yang semakin membuat masyarakat tersebut lupa bahwa semua otang yang mempertontonkan kehidupannya di social media adalah Risk Society yang artinya Masyarakat Beresiko dan rentan terutama saat hal tersebut berkaitan dengan kehidupan pribadi (privacy) yang dengan sengaja dipertontonkan menjadi konsumsi publik dan sangat rentan terhadap bully dan penyalagunaan wewenang dalam bentuk foto, video dan lainnya.Â
Oleh karenanya, kita wajib bijaksana, mampu me-manage, dan menyadari bahwa ada dampak yang sangat nyata bagi psikologis dan kehidupan sosial kita jikalau terlalu banyak mengonsumsi social media, dan itu semua akan berpotensi membuat lupa diri, insecure & overthinking yang akan mendekatkan kita kepada label Society of Spectacle.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H