Matanya yang lembut bagai tatapan anak domba, berkali menyusup masuk ke dalam bola mataku, menyisakan debar dan getar yang mampu membuatku tak bisa tidur dengan wajahnya yang berkelebatan.
Jemarinya yang halus, selalu menggenggam jari ini erat-erat seakan tak ingin lepas.
"Aku mencintainya" ucapnya lagi.
Aku tersentak dari lamunan.
"Ini menyakitkan. Aku tahu. Maafkan aku Dyah".
Aku mengawasinya bangkit dari kursi di depanku.
Angin berhembus mengantarkan dingin yang lain. Payung-payung besar yang menaungi kursi-kursi di kedai ini, berkebat-kebit. Serupa ombak dialun badai. Namun perasaanku bagai sungai yang tenang. Sangat tenang. Tak buih, tak riak, bagai sungai yang mati.
"Aku mengerti, kalau kau tidak datang nanti".
Dia mengusap punggung tanganku sekilas, dan beranjak pergi.
Bayangnya hilang ditelan pintu mobilnya. Lalu sekejap berlalu dan mataku yang nanar tak lagi dapat mengejarnya.
Aku menengadah, mencoba menahan bulir demi bulir airmata. Namun undangan di tanganku, akhirnya basah berbareng dengan hatiku yang mengering, hampa seketika.