musim berlalu, berganti musim, mentari terbit dan tenggelam.. dan aku di sini, memandang pada potretmu.. "Pa!" Lelaki tua yang aku sebut papa, menengok. Langkahnya tertatih menghampiriku. Aku mengulurkan tangan, meraih dan menuntunnya berjalan ke ruang makan. "Sarapan dulu". Aku menyodorkan piring yang sudah berisi nasi. Aku mendekatkan piring berisi tempe goreng dan semangkuk sayur bakut sawi asin. Dokter sebenarnya melarang Papa untuk makan aneka jenis daging. Namun kami tak tega. CUma sayur bakut sawi asin itu yang mampu membuatnya makan dengan lahap. Meski terkadang, dia hanya mengambil kuahnya tanpa menyentuh isinya. "Nanti Parjo saja yang antar Papa ke Kelenteng. Saya masih harus membuat bakcang. Sumi belum bisa membuat kerucut daun bambu dan membungkusnya". Aku menuang air, lalu meletakkan gelas di dekatnya. "Cuma buatan Mama-mu yang paling enak" gumamnya di antara kunyahan. Aku menghela nafas. Padahal aku membuat sayur itu sesuai dengan yang Mama ajarkan. Persis sama. Namun di mata Papa, itu tetap tidak cukup enak. "Buatan Mama, kemiri dan ketumbarnya terasa. Gurihnya pas. Makanya Papa suka tempe goreng, tapi ini tak enak" Papa menyingkirkan tempe goreng yang sudah digigitnya ke pinggir piring. Aku hanya diam. Tanganku mulai sibuk menyusun jeruk-jeruk mandarin ke dalam keranjang kecil. Beberapa batang hio, juga uang-uang kertas, aku tata, lalu aku jadikan satu. "Ini biar Parjo saja yang bawa" ucapku. "Kamu pikir Papa sudah pikun? sampai lupa bekal untuk Mama-mu? hentaknya. "Bukan begitu Pa.. maksud Mei, biar Pap.." "Sudah. Panggil Parjo" titahnya setelah menyela ucapanku. Lantas dia bergegas hendak melangkah, membuatku panik antara hendak memanggil Parjo, supir kami atau menuntunnya. "Jo!!!... Parjooooo!!!" aku separuh berlari dan berteriak memanggil,setelah Papa menepis tanganku. Parjo tergopoh menyambut kami, membiarkan Papa masuk ke dalam mobil yang pintunya telah dibuka olehnya. Aku menyodorkan barang sesembahan ke pangkuan Papa. Papa tak pernah membolehkan bila aku letakkan di belakang, selalu sesembahan itu dipangkunya. Mobil bergerak mundur, berbelok dan berlalu, lantas menghilang di ujung jalan. Aku masuk ke dalam rumah. Melintasi ruang demi ruang hendak ke dapur, hingga langkahku terhenti ke dalam ruangan dimana Papa sebelumnya berada. Ruangan itu kecil saja. Di dalamnya terdapat sebuah meja. Di atas meja terdapat patung Dewi Kwan Im dan sebuah guci. Guci itu berisi abu jasad Mama. Mama meninggal sejak aku baru saja lulus SMP. Papa tak mau lagi menikah. Dia memilih mengurus kami, anak-anaknya, sendirian. Tentu dibantu dan ditemani beberapa asisten rumah tangga. Aku ingat, aku tak melihat Papa menangis waktu Mama pergi. Papa bilang, kematian bukan hal yang patut ditangisi, tapi dirayakan. Sampai kini pun aku tetap belum mengerti, mengapa ketika kehilangan seseorang yang kita cintai, kita tak boleh menangis berlarut-larut. Mungkin bukan kehilangan yang Papa takutkan, tapi perjuangannya membesarkan kami tanpa mama, membuatnya merasa sepi dan sendiri. Di antara patung Dewi Kwan Im dan guci abu, terdapat sebuah foto hitam putih. Foto mama. Di tempat inilah, Papa sering duduk berlama-lama. Memandang foto Mama yang tak lagi bisa, menemaninya. Air mataku, jatuh menitik di sudut tiba-tiba.
*********
Judul terinspirasi lagu "Potret" oleh Franky & Jane
Ilustrasi foto "Black White Photography" oleh Inge
Yang tercetak biru, penggalan lirik lagu "Potret" oleh Franky & Jane
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H