Mohon tunggu...
Maman Natawijaya
Maman Natawijaya Mohon Tunggu... -

Saya ayah dari sepasang anak berusia 10 dan 5 tahun, sesekali menulis lepas di media lokal di Medan dengan tema-tema tentang perlindungan anak, sosial, budaya dan lingkungan. Senang fotografi dengan penguasaan teknik yang masih harus belajar terus. Membaca dan jalan-jalan ke tempat yang belum pernah dikunjungi adalah kesenangan yang lain.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Rindu Grace Pada Kuda dan Kabut Gunung

26 Juli 2011   11:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:22 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Bang, pulang sekolah besok siang aku singgah lagi ke sanggar. Aku mauke simpang dulu, pasti sudah mulai banyak nih mobil-mobil di lampu merah.Sudah sore, jam orang pulang ke rumah.”kata Grace, sembari merapikan krayon-krayon oil pastel yang berserakan di tikar plastik. Memasukkan satu persatu batang krayon yang sudah pendek-pendek, kedalam kotak kertas yang sudah robek pada ujung-ujungnya.

”Lukisanku sudah selesai dan ada sedikit penambahan warna seperti yang abang minta kemarin.”

”Di simpan dimana bang, lukisanku ini? Jangan diejek ya! Kalau mau lihat, tunggu aku keluar dulu.” ujarnya lagi dan kemudian berdiri menggapai tas kain berwarna hitam yangdigantungkannya di dinding. Tas itu berisikan harta-karunnya yakni perlatan kerja seperti kemucing, lap kering, dan semprotanair mini.

Karena tak ada sahutan apapun, gadis itu menoleh ke arah pintu depan,di sebuah kursi plastik merah yang berada tak jauh dari dirinya. Terlihat Ali sang pendamping anak-anak jalanan, bersandar dengan mata tertutup dan mulut terbuka menganga.

*

“Bang Ali ! Kalau tidur mulutnya mingkem, nanti masuk lalat baru tahu,” Tepukan tangan mungilyang mendarat dipundak Ali, langsung membunuh rasa kantuk yang menggelayuti mata dan membuatnya harus terloncat darikursi plastik merah kesayangannya. Kursi yang sering membantunyauntuk lari sejenak dari rutinitas kehidupan, melupakan pada wajah-wajah polos anak-anakyang seringmelakukan kegiatan di sanggar belajar lembaganya dan pada panasnya debu jalanan yang memberikan nafas kehidupan pada mahlukNya.

Melihat Ali seperti itu, gadis cilik itu jadi tertawa,“Grace mau dinas ini, doakan semoga hari ini banyak rezeki...hi..hi.” sambung gadis cilik yang memiliki rambut lurus sebahu dengan sepasang matanya yang bulatdan hitam .

“Biar bisa membantu bapak yang mau mengganti ban becaknya yang rusak karena masuk lubang dan mamak mau membawa adik bayike dokter.” Enteng saja kalimat itu meluncur dari bibirnya.

“Tau sendirikan abang, jalan di kota ini tak ada bagusnya lagi1!”

“Oh.. letakkan aja di atas tikar itu,biar abang saja nanti yang menyusunnya.” Jawab Ali tergagap, sambil melirik ke luar jendela, kemulut gang. Kearah jalanan,ke arah gadis cilik ini akan pergiatau tepatnya terjun ke dalam pusaran kehidupan yang belum menjadi kewajibannya. Seharusnya, di sore ini dia sedang bermain gambar, bermain tali, naik sepeda dan bercanda-ria dengan teman-teman sekampungnya.

Dari catatan Ali, Grace, tahun ini duduk di bangkukelas 8 SMP Negeri di kawasan Kampung Baru. Bapaknya seorang penarik beca dayung, yang biasa mangkal di depan sebuah mal di kawasan Jalan Sisingamangaraja. Adiknya ada lima orang, yang terkecil masih berusia sekitar tigabulan.

Keluarga mereka tinggal diKampung Aur-pinggiranSungaiDeli, mengontrak sebuah rumah petak, semi-permanen. Potret buram keluarga-keluarga yangterlempar dari desa,yangmencoba peruntungan di kota besar. Bermodalkan hasil penjualan tanah warisan, bekerja di pabrik dan kemudian terkena PHK. Nasib akhirnya berbicara lain.

Grace setiap hari harus membantu dengan 30 ribuan rupiah, agar nafaskeluarganya tetap berdenyut.

”Ah..Grace, kau terlalu muda untuk menanggung beban kehidupan ini.” batin Ali.

*

Masih setengah mengantuk, dipandangi ruangan yang seperti baru terlanda angin puting-beliung dan pemandangan ini suatu hal yang lazim bagi Ali.

Sebenarnya telah dibuatsebuah kesepakatandengan anak-anak, untuk merapikan kembali segala peralatan yang digunakan dan membersihkan ruangansetelah kegiatan dilakukan.

Si A melakukan apa, si B menyusun apaatau si C membersihkan mana. Tapi, namanyaperaturansepertinya memang untuk dilanggar-hukum itu memang diciptakan untuk dilanggar, begitu kira-kira orang dewasa sering menyebutkannya.

Seolah tahu apa yang ada dalam pikiran Ali, Grace kemudian langsung menyambung lagi: ”Bang, kawan-kawan itu tadi sudah kukasih tahu, supaya merapikan lagi tempat ini. Tapi merekamemang kurang tanggungjawabnya. Sibuk ngejar setoran aja.”sesalnya.

Ali diam saja, tak menanggapinya.

“Mana yang lain dik? Syamsul, Marten, Taufan, Jai, Manto, Pide, Faisal, Hamdan, Jimi, Nining.... ” tanyanya pada Grace yang sudah berdiri di depan pintu, bersiap-siap untukmelangkahkan kakinya ke jalanan.

Tak terlihat satupun anak-anak lain yang biasa bersamanya.

Spidol, kertas manila, potongan-potongan kertas, gunting, batangan krayon dan lembaran-lembaran kertas putih yang telah dipenuhi gambar-gambar lukisan berserakan di lantai. Hari ini memang jadwal menggambar bersama dengan anak-anak, menggambar apa saja yang mereka sukai dengan warna dan bentuk yang mereka pilih sendiri. Dengan menggambar, mereka dapatmengatakan apa saja tanpa terpenjara oleh kata-kata.

“Sudah pergi dari tadi bang, ini kan hari Jum’at. Orang-orang itu pasti sudah dapat duit banyak.” jawab Grace.

”Kenapa kalau hari Jumat?”

”Yah..abang ini, sore gini orang-orang mau ke Berastagi, besok kan Sabtu hari pére.”

”Jadi hari ini pastibanyak mobil-mobil bagusyang berhenti di lampu merah.”

” Kok tahu mereka mauke Berastagi? Terus, apa hubungannya dengan kalian?”

”Yaa tau lah bang, kadang ada anak-anak orang itusendiri yang ngasih tahu ke kami, ’woii..kami mau naik kuda diBerastagi’, sambil melemparkan uang seribuan, biar kami cepat pergi, takut cet mobilnya licet, sebelum kami membersihkan kaca mobilnya dengan kemucing dan semprotan air..”sedetikAli melihatada kabut di sepasang bola matanya yang bulat. Pada mata yangselalu memancarkan cahaya keriangan anak-anak, mata yang memberikan enerji kekuatan dan keberanianpadaku untuk menghadapi teka-teki kehidupanfana ini.

”Grace kok gak pergi sama mereka?”

”Grace, nyiapin lukisan yang abang sarankan kemarin.”

Abang aja yang tak pernah peré kutengok, sekali-kali ajak kami rekreasi ke Berastagi kenapa bang?” suaranya terdengar merajuk atau lebih tepatnya menuntutku. ”Biar aku bisa naik kuda juga bang”

”Ah..gampanglah itu, nanti kita rame-rame ke Kebun BinatangSimalingkar. Di sana ada kuda juga kok.” jawab Ali sekenanya.

”Masak disitu, panas kali tempatnya. Di Berastagi ajalah bang, biar aku bisa naik kuda sambil melihat pemandangan gunung, bunga-bunga yang indah, rerumputan hijau dan udara yang sejuk.”

”Nanti aku ngebut naik kudanya. Akan kubawa kudanya naik ke Gunung Sibayak.”

”Ha..Gunung Sibayak?Kok tahu kamu? ” terkejut Ali mendengar rencana Grace.

”Orang abang kan yang cerita sendiri. Itu ada foto-fotonya dalam album, beramai-ramai dengan abang-abang di sini waktu mendaki ke Gunung Sibayak itu?”

”Oh..ya..ya. Tak ingat abang.”

”Apa kamu bisa naik kuda?”

”Sebentar aja belajarnya itu bang, gampangnya itu.”

”Mana dikasih izin sama yang punya kuda nanti......”

Grace terdiam sejenak dan kemudian menatap wajah Ali.

”Abanglah yang menjaminkan, biar kudanya bisa kubawa mendaki.”

”Aku harus naik kuda bang, soalnya kalaumendakinya jalan kaki, aku tak kuat.”

”Kuda itu binatang yang kuat, pasti dia bisamembawaku sampai ke puncak.”

”Kalau sampai puncak, aku mau mengambil kabut putih yang ada di sana dan aku juga mau mandi air panas.”

”Buat apa kabut putihnya?” tanya Ali heran.

”Akan kuberikan pada adik terkecilku yang sering sakit-sakitan. Mungkin dengan kabut itu, dia bisa bermain-main lagi.”

”Bisa juga kukasih ke kawan-kawan, biar mereka nggak nge-lem lagi.”

”Kabut itu tak bisa ditangkap, Grace.” terang Ali, yang khawatir gadis ini tidak mengetahui seperti apa rupakabut sebenarnya .

”Aku tahu, seperti asap putih yang keluar dari kulkas itu kan bang?”

Gak apa-apa bang, nanti kabutnya kubungkus pakai plastik kresek danair panasnya kumasukkan dalam botol plastik aqua.”

”Yang penting adikku sehat dan mamakku tak sedih lagi.”

Ali terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Bingung bercampur heran atas idenya yang kreatif.

” Hmmm..ya..sudah, nanti abang undang kawan-kawan lain untuk mendiskusikan ini.”

Sinar mata Grace kemudian terlihat berbinar-binar, senyumnya mengembang lebar dan tiba-tibatangan Ali diraihnya dan punggung telapak tangannya dan dicium dengan penuh terimakasih dan pengharapan.

”Makasih bang Ali. Betul ya. Biar aku cari duit sebanyak-banyaknya.”

“Oh..ya bang, tolong jaga baik-baiklukisanku yaa!” ada nada girang dalam suaranya saat mengingatkanku akan lukisannya hari ini.

“Sip..dik, udah tugas abang menjaga karya kalian.”

“Aku pergi dululah ya, udah makin sore aja ini.”

“Oke.. dik..hati-hati ya.”

“Yoooii....daaaggh!” tanpa menoleh, Grace melambaikan tangannya dan dengan melompat-lompat kecil, segera menjauhi Ali yang masih berdiri termanggu-manggu depan pintu sanggar belajar sampai tubuh mungilnya menghilang dimulut gang pinggir jalan.

”Terserah dirimu Grace. Gunung itu juga boleh kau ambil. Agar bisa melindungimu dari segala kekerasan yang pernah kau alami di jalanan.”

”Kabut itu bisa kau ambil sebanyak yang kau mau, agar bisa menjadi tempatmu beristirahat sejenak dari beban kehidupan.”bisik Alidan menghela nafas dalam-dalam.

*

Ditatapnya langit, bayangan matahari terlihat mulai condong ke barat, sinarnya yang berwarna kuning pucatmenyapu permukaan mobil-mobil dan segala jenis kenderaan yang merayap mendekati perempatanSimpang Pos-Padang Bulan.

Debu dan asap hitam kenalpot menyeruak ke angkasa, samar membentuk gumpalan-gumpalan kabut kelabu dan ditingkahi dengan bebunyian klakson yang saling sahut menyahut, simbol peradaban manusia moderen dalam mengkomunikasikansiapa jati dirinya di jalanan.

*

Tanpa terasa, sinar matahari perlahan mulai meredup. Digantikan temaramnya lampu-lampu mercury jalanan. Terdengar kumandang azan magrib bertalu-talu, memanggil umatNya untuk meninggalkan rutinitas duniawi. Kehidupan malam perlahan tapi pasti mulai merangkak menggantikan siang yang akan keperaduan

Dinyalakannya lampu teras dan lampu ruangan tamu, dimana anak-anak berkegiatan. Dikumpulkannyakertas-kertasdan sekilas dipandangi sejumlah karya-karya lukis mereka. Ada lukisan rumah, mobil, gedung-gedung mal,ronaldowati, gedung sekolah, orang-orangyang sedang berjalan, power-ranger dan pepohonan, dengan warna-warni yang tak beraturan.

Di antara tumpukan kertas , terlihat lukisan Grace;kuda, bunga-bunga dan jalan menunju puncak gunung. Gunung yang berselimutkan awan putih.

Lukisan itu dihasilkan dari tangan-tangan mungil Anak-Anak Jalanan.

Anak Jalanan, anak manusia yang dipaksabersetubuh dengan kerasnya kehidupan, akibat ketidakberdayaan manusia yang disebut dengan orangtua dan negara. Ratusan anak-anak seperti Gracesaat ini sedang berada di jalan-jalan, siapa perduli mereka?

”Negara ? KPAID ? Ah..terlalu jauh...” batin Ali.

Ali tak bisa berlama-lama merenungi makna lukisan-lukisan itu dan segera dimasukkan dalam kotak kardus, begitu dia ingat belum menunaikan kewajiban shalat magrib. Hanya ini yang bisadia lakukan, menyampaikan segala masalah yang menghimpit batin, kepada yang menciptakan malam dan menjaga mahlukNya hingga matahari terbit di esok hari.

Segera Ali mengambil air wudhu dan menggelar kain sajadah, ke arah kiblat. Ke arah rumah Allah dengan segala kepasrahan dan kerendahhatiannya .

Disudut sana Ali ingat, Afif anaknyayang mulai belajar melangkahkan kaki-kaki mungilnya sedang menunggu di rumah bersama neneknya.Menanti dirinya, untuk bermain dan membimbingnya belajar berjalan.

Dalam hening, Ali berdoa:

Ah..anakku.

Aku tak akan pernahbisa menjadi kuda yang membawamu berlarikemana saja.

Aku tak bisa menjadi kabut yang memberimukesejukan dan peraduan.

Aku hanya ingin menjadi gunung yang bisa menjadi tempatmu mengasah kejujuran dan keberanian.

Aku hanya bisa menyiapkan kaki yang kuat dan sayap yang lebar sebagai bekalmu mendaki gunung.

Aku hanya ingin menjadi orangtua yang bisa dibanggakan, sebagai pengayom, pelindung dan sekaligus sebagai sahabat dalam nenapaki kehidupan.

Seperti rindu Grace pada kuda dan kabut gunung.

Medan, 23 Juli 2009

Catatan:

kemucing = bulu ayam pembersih debu

mingkem =mulut tertutup

peré = istilah Medan dari kata free- libur

KPAID = Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah

Nge-lem = menghirup uap lem cap kambing yang memberikan dampak ilusi dan kecanduan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun