Perkembangan peserta didik dapat dipengaruhi dari beberapa faktor seperti internal maupun eksternal. Faktor internal bisa berupa genetik dan faktor eksternal seperti lingkungan, sosial dan budaya. Hakikat perkembangan peserta didik dimulai sejak usia dini, sekolah dasar, menengah dan dewasa. Berdasarkan stimulasi usia anak sekitar usia 1-15 tahun masih membutuhkan pendampingan sedangkan anak usia 15-20 tahun keatas membutuhkan pembimbing dan kasih sayang untuk menghadapi dunia.
Perkembangan kognitif anak atau regenerasi sel-sel yang ada di otak anak jika dirangkai bisa menjadi kognitif ketika kognitif lepas, sakit, atau bermasalah maka berpengaruh pada sensitifitas motorik. Sehingga perkembangan kognitif dari usia balita ke usia anak-anak ke usia remaja dengan pendidikan dan pengajaran yang baik.
Perkembangan dapat meliputi beberapa aspek penting yaitu fisik, sosial, bahasa, kognitif dan moral. Serta dalam perkembangan dan pertumbuhan peserta didik membutuhkan peran aktif dari seorang guru dan orang sekitarnya. Terdapat 8 tahapan dalam proses perkembangan, terdapat konflik yang harus dihadapi dan diselesaikan. Berikut 8 tahapan perkembangan psikososial Erikson :
1. Tahap Trust vs Mistrust (0-18 bulan)
Anak akan mengalami Trust vs Mistrust dengan orang yang merawatnya. Anak membutuhkan pendampingan yang bisa konsisten merawatnya dan sepenuhnya bergantung pada orang yang merawatnya untuk memberikan Makan, Minum, Tempat Tinggal dan Kasih sayang. Jika kebutuhan tersebut tidak terpenuhi akan membuat anak tidak lagi percaya. Sifat ini akan berlanjutan hingga besar.
Tahap ini adalah fase kedekatan hubungan bayi dan orang tua dengan konsekuensi yang berkaitan dengan kemampuan dan kecerdasan bayi dalam kandungan. Kecerdasan anak yang diturunkan melalui gen pada tahap ini sang ibu dapat mengisi waktu untuk menjawab teka-teki. Aspek bahasa, janin mulai mendengar suara dan merasakan sentuhan secara pasif sehingga ibu bisa berkomunikasi dengan membaca buku dongeng. Aspek sosial emosi dipengaruhi oleh kondisi emosi ibu yang kurang stabil sehingga perlunya kehadiran sang ayah untuk mengajak bicara. Aspek moral, pentingnya lingkungan positif disekeliling anak dapat juga ibu mendengarkan lagu.
2. Autonomy vs Shame and Doubt (18 bulan - 3 Tahun)
Anak memiliki Otonomi dan Rasa malu atau ragu. Pada fase ini anak akan belajar pengendalian diri (motorik) dan belajar mandiri. Orang tua dapat berkomitmen untuk melindungi anak terhadap ketidaktahuan dan ketidakpastian. pada usia ini memiliki ciri yaitu lebih banyak aktif sehingga orang tua dapat memberikan pilihan pada anak untuk memilih makanan maupun pakaian.
Perkembangan fisik anak akan mengalami pertumbuhan dengan pesat, seperti peningkatan berat badan. Anak dapat diajak untuk bernyanyi biasanya aspek bahasa ini sebagian besar anak dapat mengatakan “ma-ma, Pa-pa”. Aspek sosial anak akan lebih dekat dengan orang tuanya dan takut dengan orang asing. Motorik pada anak usia ini dapat diajak untuk melakukan toilet training.
3. Initiative vs Guilt (3 - 5 Tahun)
Anak memiliki inisiatif dan rasa bersalah. Anak akan lebih aktif bertanya dan inisiatifnya lebih tinggi. Contohnya, inisiatif mengajak teman sebayanya untuk bermain, ketika orang tua sedang masak lalu si anak akan banyak inisiatif untuk membantu. Biasanya rasa bersalah akan muncul saat bersosialisasi, Jika pada fase ini anak dilarang akan berpengaruh ketika besar nanti karena anak akan tumbuh tanpa ambisi, tidak inisiatif dan cenderung bergantung dengan orang lain.
4. Industry vs Inferiority. (5-12 Tahun)
Kemampuan anak akan muncul pada fase ini seperti kemampuan matematika, sehingga perlunya dukungan dari orang sekitar supaya anak merasa dihargai, anak merasa bangga atas kesuksesannya. Jika kemampuan tersebut tidak mendapatkan dukungan akan membuat anak mudah insecure dan membandingkan dirinya dengan orang lain. Sehingga fase ini anak harus lebih banyak bersosialisasi untuk meningkatkan kemampuan akademiknya.
5. Identity vs Role Confusion. (12-18 Tahun)
Anak sedang berada ditahap identitas dan kebingungan pencarian jati dirinya. Usia ini adalah fase yang tepat untuk mencoba banyak hal. Terdapat perubahan secara fisik, kognitif maupun emosi. Kegiatan yang bisa dilakukan pada tahap ini yaitu menjawab Pertanyaan, Memahami kata atau kalimat suatu ucapan, Membicarakan keinginannya.
6. Intimacy vs Isolation(18-40 Tahun)
Tahap ini individu sudah mulai menemukan fokus untuk
menyeimbangkan hidup seperti mencoba untuk membangun hubungan intim untuk jangka panjang. Namun jika tidak berhasil akan membuat individu tersebut merasa kesepian dan depresi.
7. Generativity vs Stagnation (40-65 Tahun)
Individu akan lebih matang, dewasa dan punya prinsip. Tahap ini individu merasa bahagia atas pencapaiannya. Individu akan lebih cepat memutuskan sesuatu yakin dengan pilihan sesuai dengan prinsip nya. Setelah melewati tahap sebelumnya. Jika tidak terpenuhi pada tahap ini individu akan merasa gagal dengan masyarakat.
8. Ego Integrity vs Despair (Usia 65 Tahun ke Atas)
Individu akan flashback hingga kehidupannya saat ini. Bila mereka bahagia dengan semuanya akan membuatnya merasa puas namun begitupun sebaliknya jika tidak terpenuhi maka berujung pada penyesalan.
Fenomena permasalahan perkembangan peserta didik dalam pembelajaran bahasa membutuhkan peran penting seorang pendidik untuk memberikan strategi dan metode yang tepat dalam masalah yang dihadapi peserta didik.
Sebagai ilustrasi dapat menyaksikan film Taare Zaamen par (2007) yaitu bercerita tentang murid istimewa yang memiliki kelainan disleksia. Film ini sangat menginspirasi seperti namanya dalam bahasa Indonesia yaitu bintang-bintang di langit. Disleksia adalah kelainan pada gangguan otak yang menyebabkan kesulitan belajar.
Disleksia dialami oleh ishaan dalam membedakan huruf seperti “b” dengan “d” atau “p”. Kekurangan ishan pun dalam melihat tulisan dipapan tulis seperti menari-nari. Sedangkan orang tua dan orang terdekat tidak mengetahui masalah yang dihadapi oleh ishaan sehingga ishaan yang dulunya ceria menjadi pemurung.
Ishaan dipindahkan ke sekolah asrama dan saat pembelajaran berlangsung diisi oleh guru seni pada awalnya merasa binggung saat melihat ishaan hanya berdiam diri melihat lembar kosong. Kebingungan itu juga terjadi saat melihat ishaan berdiri diluar kelas. Inisiatif dari sang guru untuk bertanya pada teman sebangku ishaan membuahkan hasil.
Guru seni melihat buku catatan ishan penuh coretan merah dan rasa kecewa ketika menemui orang tua ishaan ternyata tidak memahami kondisi anak mereka.
Sang guru menemui kepala sekolah untuk berdiskusi, Kelebihan ishaan diketahui oleh guru seni hingga ishaan menjadi kembali ceria dan mengikuti pelajaran dengan cara dan kemampuannya hingga dapat membaca dan menulis dengan normal.
Saat diadakan kompetisi, kehadiran ishaan sangat ditunggu guru seni. Kebahagiaan terjadi saat ishaan menyelesaikan lukisannya yang begitu indah dan memenangkan kompetisi. Kebahagiaan itu ketika memahami orang terdekat dan membantu mereka perlahan untuk pulih kembali.
Pesan moral yang dapat dijadikan pembelajaran bahasa dari film Taare Zaamen par (2007) yaitu yakin terhadap keunikan setiap individu untuk bisa menjadi versi terbaik diperlukan dorongan dan dukungan dari orang sekitar. Penulisan artikel ini diharapkan dapat dijadikan pembelajaran dalam perkembangan peserta didik, dan penerapannya dalam pembelajaran.
Sumber referensi :
https://spada.kemdikbud.go.id/course/view.php?id=3326
https://www.youtube.com/watch?v=_whBL8dr0Ag
https://www.scirp.org/journal/PaperInformation.aspx?PaperID=85207&#abstract
Nama penulis : Natasya Meifani Sagala (2300003012)
Dosen Pengampu : Dr Riana Mashar, M.Si.,Psi
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI