Di Indonesia, revisi UU MK telah menjadi topik hangat dan kontroversial. Banyak pertanyaan terkait perubahan ini: apakah itu benar-benar bertujuan untuk meningkatkan sistem hukum kita atau apakah itu benar-benar mengancam independensi lembaga peradilan tertinggi kita?. Mahkamah Konstitusi melakukan banyak hal untuk melindungi konstitusi dan menegakkan keadilan di Indonesia. Namun, proses revisi UU MK yang dilakukan pemerintah dan DPR dianggap tidak transparan dan tidak melibatkan banyak partisipasi publik. Masa jabatan hakim, syarat usia, dan prosedur pengangkatan hakim yang lebih politis adalah beberapa perubahan yang diusulkan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa pengambilan keputusan di Mahkamah Konstitusi dapat dipolitisasi.Â
Meningkatkan kemandirian dan integritas lembaga ini adalah tujuan utama dari revisi UU MK. Dalam beberapa tahun terakhir, terdapat kekhawatiran bahwa intervensi politik dapat memengaruhi keputusan Mahkamah Konstitusi. Namun, dengan revisi yang tepat, kita dapat memastikan bahwa Mahkamah Konstitusi beroperasi tanpa tekanan dari pihak mana pun, sehingga keputusan yang dibuat olehnya dapat dipertanggungjawabkan dan dapat dipercaya oleh masyarakat. Selain itu, revisi UU MK dapat membantu memperkuat perlindungan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia.Â
Dengan meningkatkan ketentuan mengenai hak-hak konstitusional warga negara, kita dapat memastikan bahwa semua orang mendapatkan perlindungan yang layak dari sewenang-wenang pemerintah atau pihak lain. Hal ini sangat penting di era globalisasi saat orang dapat bergantung pada dan berinteraksi dengan banyak lembaga internasional. Dunia berkembang dengan cepat, terutama dalam hal sosial dan teknologi. Revisi UU MK harus dapat menangani masalah baru yang muncul sebagai akibat dari perubahan ini. Misalnya, kerangka hukum yang baru harus memperhatikan privasi data dan kebebasan berekspresi di internet. Dengan demikian, kita dapat menjamin perlindungan yang memadai atas hak digital warga negara.Â
Proses revisi ini menimbulkan banyak tanda tanya karena dilakukan di luar masa sidang DPR dan tanpa partisipasi publik yang cukup. Dalam sistem demokrasi yang sehat, pembuatan undang-undang harus melibatkan konsultasi dengan berbagai pihak dan dilakukan secara transparan. Ketika proses ini dilakukan secara tertutup, ada risiko bahwa undang-undang tersebut tidak mencerminkan kehendak rakyat dan lebih menguntungkan pihak-pihak tertentu saja. Revisi ini dapat mengancam independensi hakim, menurut Mahfud MD, mantan Ketua MK. Hakim MK mungkin tidak lagi membuat keputusan berdasarkan hukum dan keadilan jika mereka merasa terancam atau dipaksa untuk mengikuti aturan politik tertentu. Ini dapat menyebabkan ketidakpuasan publik yang lebih besar dan merusak kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.Â
Orang-orang yang mendukung revisi UU MK mengatakan bahwa perubahan ini bertujuan untuk meningkatkan independensi Mahkamah Konstitusi dan meningkatkan kualitas putusan yang dibuat. Mereka percaya bahwa keputusan yang dibuat akan lebih baik jika mereka mengurangi ketergantungan pada lembaga lain dan memperketat seleksi hakim. Selain itu, diharapkan bahwa wewenang Mahkamah Konstitusi akan diperluas untuk melakukan pengawasan atas tindakan legislatif dan eksekutif. Ini akan memungkinkan sistem pengaturan dan keseimbangan yang lebih baik. Namun, banyak pihak yang menentang revisi ini dengan alasan kuat. Pertama, dianggap bahwa perubahan pada proses pengangkatan hakim dapat mengurangi autonomi mereka. Hakim dapat tertekan untuk membuat keputusan yang menguntungkan beberapa pihak jika lembaga pengusul dapat meminta mereka untuk ditarik kembali. Hal ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan membahayakan kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan.Â
Kedua, ada kekhawatiran tentang sentralisasi kekuasaan. Ketidakseimbangan kekuasaan dalam pemerintahan dapat terganggu jika Mahkamah Konstitusi diberi wewenang yang terlalu besar untuk menyelesaikan sengketa antara lembaga negara. Sangat penting dalam demokrasi untuk memastikan bahwa tidak ada lembaga yang memiliki kekuasaan absolut. Ketiga, evaluasi menunjukkan bahwa proses pembahasan RUU ini dilakukan secara tertutup dan terburu-buru. Banyak ahli hukum berpendapat bahwa prosedur yang tidak jelas ini dapat menyebabkan keputusan yang tidak adil dan merugikan masyarakat. Sejarah menunjukkan bahwa revisi UU MK sebelumnya sering kali dilakukan tanpa melibatkan masyarakat secara signifikan, yang mengakibatkan kebijakan yang tidak menguntungkan rakyat.Â
Dalam revisi UU MK, beberapa pasal dapat menghambat kebebasan hakim konstitusi untuk membuat keputusan. Misalnya, mekanisme perpanjangan masa jabatan hakim yang bergantung pada penilaian lembaga lain dapat membuat hakim tertekan dan tidak berani membuat keputusan yang tidak populer. Jika proses pemilihan dan pengawasan hakim konstitusi terlalu melibatkan elemen politik, revisi UU MK dapat memungkinkan intervensi politik dalam proses pengambilan keputusan di MK.Â
Revisi UU MK harus dilakukan untuk meningkatkan lembaga ini dan meningkatkan kinerjanya. Namun, revisi harus dilakukan dengan hati-hati dan mempertimbangkan semua aspek, terutama mengenai dampak revisi terhadap independensi hakim konstitusi. Saya percaya bahwa kekhawatiran tentang pelemahan independensi MK adalah wajar. Sejarah telah menunjukkan bahwa pengaruh politik terhadap lembaga peradilan dapat membahayakan sistem demokrasi. Oleh karena itu, prinsip-prinsip dasar seperti kemerdekaan peradilan, akuntabilitas, dan transparansi harus diprioritaskan saat melakukan revisi UU MK.Â
Untuk memastikan bahwa MK tetap independen sebagai lembaga yang menegakkan konstitusi dan keadilan, revisi UU harus dilakukan dengan hati-hati, transparan, dan dengan melibatkan berbagai pihak untuk memastikan bahwa perubahan tersebut tidak akan berdampak negatif pada prinsip-prinsip dasar keadilan dan hukum.Â
Sebagai masyarakat, kita harus tetap kritis dan terlibat aktif dalam proses legislasi. Untuk menjaga Mahkamah Konstitusi tetap independen dan mampu menjalankan tugasnya dengan adil, partisipasi yang luas dan pengawasan publik yang ketat diperlukan. Setiap perubahan yang diusulkan harus didasarkan pada prinsip netralitas dan independensi. Akibatnya, kami dapat mempertahankan kredibilitas dan kepercayaan terhadap sistem hukum dan demokrasi Indonesia.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H