Mohon tunggu...
Natasya Risma
Natasya Risma Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa DKV ISI Yogyakarta tahun 2021

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Analisis Semiotika Roland Barthes Terhadap Kijing Makam Ki Hajar Dewantara

10 Desember 2024   23:02 Diperbarui: 10 Desember 2024   23:07 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tabel 5. Analisis Semiotika Roland Barthes pada Makam Ki Hajar Dewantara

PENDAHULUAN 

Perjuangan Indonesia di masa lampau, khususnya dalam pendidikan merupakan salah satu elemen penting dari sejarah bangsa guna mencapai kemerdekaan dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan yang diberikan oleh pemerintah kolonial pada masa penjajahan sangatlah terbatas dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia, oleh karena itu muncul tokoh-tokoh penting yang memajukan pendidikan Indonesia, salah satunya adalah Ki Hajar Dewantara. Beliau terkenal dengan semboyannya yang berbunyi “Tut Wuri Handayani” yang dapat diartikan sebagai “mengikuti di belakang sambil memberi pengaruh” (Suratmin et al., 1981:83).

Ki Hajar Dewantara meninggal pada tanggal 26 April 1959 dan disemayamkan pada pemakaman keluarga Tamansiswa Wijaya Brata di Yogyakarta. Dalam buku Mengenal Taman Wijaya Brata Makam Pahlawan Pejuang Bangsa (Nayono, et al., 1996:27) menjelaskan nama Taman Wijaya Brata sendiri memiliki makna sebagai tempat “pasarean langgeng” atau persemayaman abadi bagi para pejuang yang telah mencapai “wijaya”, kejayaan setelah melewati masa penderitaan dan keprihatinan. Melalui “tapa brata”, pengorbanan dan perjuangan menghadapi penjajahan bangsa asing hingga berhasil mewujudkan Indonesia merdeka. 

Apabila dilihat dari bentuk fisiknya, struktur  utama makam terdiri dari jirat, nisan dan gunungan (Montana,  1990). Pemakaman dalam bentuk batu nisan dapat menggambarkan status sosial suatu komunitas (Marampa,  1997). Nisan juga, adalah salah satu contoh situs prasasti yang kini masih ada dan mudah ditemukan (Christin M., Barlian A., Obadyah, Salmiyah D., Ali F., 2021:18). Oleh  karena itu  makam  memiliki  makna  yang  cukup  penting  bagi  perkembangan  kebudayaan  suatu masyarakat. 

 Di dalam makam terdapat kijing yang berfungsi tidak hanya sebagai penanda tempat peristirahatan, namun juga simbol yang mengandung makna, budaya, dan juga identitas. Melalui kijing, masyarakat dapat mengingat kembali orang-orang yang telah tiada khususnya para pahlawan Indonesia (Ivaluddin, 2022).  

Sebagai warisan budaya, kijing makam seringkali dipandang sebelah mata. Tidak dipahami secara mendalam dari segi estetika dan simbolik. Kijing makam Ki Hajar Dewantara tidak hanya dimaknai sebagai bentuk penghormatan, namun juga menyiratkan pemikiran dan perjuangan beliau yang sarat akan pesan moral dan nilai-nilai pendidikan. Setiap elemen pada kijing makam Ki Hajar Dewantara, akan dideskripsikan dalam penelitian ini. Keunikan tanda atau simbol yang ada pada kijing makam Ki Hajar Dewantara perlu dipahami lebih mendalam agar masyarakat dapat memahami pesan-pesan serta jasa beliau. 

Penelitian ini secara spesifik bertujuan untuk mengkaji nilai-nilai estetika dan simbolik yang ada di desain kijing makam Ki Hajar Dewantara sebagai pelopor pendidikan di Indonesia. Kijing makam ini menarik untuk dikaji lebih lanjut karena kental akan nilai historis dan budaya, serta memiliki desain yang unik. Adapun teori yang digunakan untuk menunjang penelitian ini adalah teori semiotika Roland Barthes. Dalam mengkaji menggunakan teori tersebut, Barthes menggunakan dua aspek, yaitu secara denotasi, konotasi. Dalam konteks DKV, teori ini digunakan guna menganalisis dan memahami tanda-tanda atau simbol dalam budaya dan komunikasi visual yang ada pada desain kijing makam Ki Hajar Dewantara. 

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif untuk menyusun data-data dikumpulkan melalui observasi langsung, menganalisa dokumen-dokumen terkait, serta wawancara pada beberapa narasumber. Penelitian sebelumnya yang diteliti oleh Ipmawati dan Hodijah (2024) telah mengkaji beberapa makna pada arsitektur bangunan seperti masjid menggunakan teori Roland Barthes. Akan tetapi, belum ada penelitian yang membahas makna makam Ki Hajar Dewantara sehingga menjadi novelty atau sebuah kebaruan.

Penelitian ini juga mengkaji nilai-nilai estetika melalui 5 sila estetika desain. penelitian ini diharapkan dapat memberi pemahaman lebih dalam mengenai makna yang terkandung pada desain kijing makam Ki Hajar Dewantara, serta berkontribusi terhadap pelestarian nilai budaya dan pendidikan dengan menginterpretasikan elemen-elemen desain dan nilai-nilainya. penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi referensi untuk penelitian-penelitian selanjutnya terutama di bidang Desain Komunikasi Visual selaku produsen tanda.

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif, dengan melakukan beberapa teknik pengumpulan data seperti, observasi, wawancara dan studi pustaka yang dijabarkan secara deskriptif. 

Tahap pengumpulan data diawali dengan observasi, dengan mengunjungi Taman Wijaya Brata yang berlokasi di Umbulharjo dan Museum Dewantara Kirti Griya secara langsung. Tahap selanjutnya, studi pustaka berupa arsip buku dari perpustakaan di sebelah museum berjudul “Mengenal Taman Wijaya Brata Makam Pahlawan Pejuang Bangsa”. Buku ini digunakan untuk menggali informasi mengenai sejarah pembangunan makam Ki Hajar Dewantara. Sedangkan, pada tahap wawancara peneliti membuat pertanyaan dan menanyakannya kepada juru kunci makam, Bapak Sumanto. Tujuannya untuk mengetahui sejarah lengkap kijing makam Ki Hajar Dewantara, memahami lebih mengenai simbol yang terdapat di kijing makam, serta bertanya lebih dalam mengenai informasi yang sudah tertera pada buku.

Penelitian ini juga menggunakan pendekatan semiotika Roland Barthes. Menurut Roland Barthes, kajian semiotik dijabarkan sebagai denotasi, konotasi. Denotasi merupakan makna sesungguhnya yang dapat terlihat dengan panca indera. Konotasi merupakan makna yang terkait dengan konteks sosial dan budaya dalam sebuah tanda (Prasetya, 2019:14).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Detail pada kijing makam. (sumber: arsip pribadi)
Detail pada kijing makam. (sumber: arsip pribadi)

Makam Taman Wijaya Brata adalah makam untuk keluarga Tamansiswa yang berlokasi di Celeban, kelurahan Tahunan, Umbulharjo, Yogyakarta (Nayono, et al., 1996:13).  Di tempat ini terdapat makam tokoh pendidikan Indonesia sebagai pendiri perguruan Tamansiswa, yaitu Ki Hajar Dewantara, serta para pendiri lainnya yang dikebumikan. Ide untuk mendirikan makam keluarga Tamansiswa pertama kali disampaikan oleh Ki Soedarminta, Ketua Umum Majelis Luhur Tamansiswa, pada Kongres Tamansiswa tahun 1952. 

Ki Hajar Dewantara wafat pada 26 April 1959, dalam usia sekitar 70 tahun. Pemakamannya dilaksanakan dengan upacara kenegaraan yang dipimpin oleh Kolonel Suharto (Wiryopranoto S., Herlina N., M. S, Marihandono D., Tangkilisan Y. B., 2017). Majelis Luhur membentuk Panitia Pembangunan Makam yang terdiri dari Ki Hertog, Ki Sindusisworo, Ki Suratman, dan Ki Suprapta, yang berfungsi sebagai pemikir dan pelaksana. Pembangunan makam dimulai pada tahun 1959 (tahap I) dengan rencana pembuatan candi dan nisan untuk Ki dan Nyi Hajar Dewantara, serta pembangunan pagar keliling dari tembok. 

Proses pembangunan dan pembuatan batu nisan Ki dan Nyi Hajar Dewantara telah melibatkan banyak campur tangan dari berbagai kalangan masyarakat. Disini terjadi sebuah praktik adat gotong royong yang merupakan nilai dari sila estetika keempat, tata nilai dan tata kelola peradaban. Tim yang bertanggung jawab atas pembuatan batu nisan Ki dan Nyi Hajar Dewantara menggunakan batu dari bukit di desa Brejo, Godean. Batu ini berwarna hijau muda dan memiliki kepadatan yang baik untuk dipahat. Setelah hampir 1 tahun pengerjaan di kediaman Ki Sindusisworo, batu tersebut berhasil diubah menjadi nisan yang artistik oleh para seniman dan tukang kijing profesional. Batu dari Brejo, Godean Sleman merupakan jenis andesit, dengan karakteristik yang telah diuji di laboratorium Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada. Batuan andesit adalah nama salah satu jenis batuan beku luar (ekstrusif) yang tersusun atas butiran mineral yang halus (fine-grained). Selain teksturnya yang halus, ciri ciri batuan andesit yang lainnya adalah ringan dan berwarna abu-abu, putih, hingga agak gelap (Gheos, 2016). Pemilihan material dalam pembuatan batu nisan Ki dan Nyi Hajar Dewantara, memperhitungkan ketahanan di masa depan. Pemanfaatan bahan dari batu yang tidak mudah gempil membuat nisan tidak lekang dimakan zaman. Maka hal ini sesuai dengan sila estetika  kedua, tentang masa depan dan kebaruan.

Pada 30 Januari 1962, bertepatan dengan 1000 hari wafat Ki Hajar Dewantara, diadakan upacara peletakan batu nisan di makamnya.  Upacara tersebut dihadiri oleh anggota Majelis Luhur, warga Tamansiswa, serta keluarga besar Tamansiswa di Yogyakarta, termasuk Sri Paku Alam VIII dan pejabat pemerintah. 

Makam Ki Hajar Dewantara memiliki bentuk segi delapan dengan ukuran 10 x 8 meter. Tinggi latar makam mencapai 0,80 meter, sementara nisan berdiri setinggi 1,30 meter, menjadikan keseluruhan tinggi makam 2,10 meter. Struktur ini dirancang untuk merepresentasikan penghormatan terhadap Ki Hajar Dewantara, sebagai tokoh pendidikan nasional. Di atas nisan, terdapat maejan atau kepala batu nisan yang menampilkan lambang Tamansiswa, yaitu Cakra Garuda di sebelah utara dan Cakra Kembang di sebelah selatan. 

Analisis Semiotika Roland Barthes pada Kijing Ki Hajar Dewantara

Berdasarkan data dari hasil survey lapangan yang dilakukan pada kijing Ki Hajar Dewantara, terdapat sejumlah komponen semiotika yang ditemukan. Berikut ini merupakan analisis semiotika berdasarkan teori semiotika Roland Barthes yang dilakukan dengan pemaknaan aspek denotasi dan konotasi.

Tabel 1. Analisis Semiotika Roland Barthes pada Makam Ki Hajar Dewantara.
Tabel 1. Analisis Semiotika Roland Barthes pada Makam Ki Hajar Dewantara.

Suwardi Suryaningrat memilih menggunakan nama Ki Hajar Dewantara di saat umurnya yang ke-40 tahun. Pergantian nama ini merupakan bentuk Ki Hajar Dewantara untuk lebih dekat dengan masyarakat. Gelar “Ki” pada nama tersebut merupakan gelar untuk guru laki-laki (yang menjadi panutan) pada Lembaga Tamansiswa. Di dalam Lembaga Tamansiswa “Ki” dan “Nyi” merupakan gelar untuk guru yang menjadi panutan (BPCB Prov. D.I. Yogyakarta, 2020). Penulisan gelar “Ki” pada ukiran nama tersebut menjadi simbol maskulinitas untuk kijing tersebut. Hal ini menunjukkan penerapan pada nilai sila estetika kelima, tentang maskulinitas dan feminitas. Ukiran merupakan karya seni kriya yang lebih mengutamakan keindahan. Motif ukiran sendiri biasanya terinspirasi dari beberapa faktor, diantaranya  lingkungan hidup, flora, dan fauna yang memiliki daya tarik tersendiri (Kasanah U. Naam F.M.,2024). 

Tabel 2. Analisis Semiotika Roland Barthes pada Makam Ki Hajar Dewantara.
Tabel 2. Analisis Semiotika Roland Barthes pada Makam Ki Hajar Dewantara.

 

Tabel 3. Analisis Semiotika Roland Barthes pada Makam Ki Hajar Dewantara
Tabel 3. Analisis Semiotika Roland Barthes pada Makam Ki Hajar Dewantara

Ki Hajar Dewantara merupakan salah satu pendiri Lembaga Tamansiswa. Pemberian lambang pada batu nisan makam Ki Hajar Dewantara merupakan bentuk penghormatan untuk Ki Hajar Dewantara dari Lembaga Tamansiswa. Secara keseluruhan lambang Cakra Garuda memiliki makna “perjuangan Lembaga Tamansiswa dalam mendidik anak didik dan masyarakat secara dinamis dalam mewujudkan masyarakat yang tertib, damai dan salam bahagia” (Sunardi, 2020). Cakra sendiri dalam filosofi masyarakat Jawa memiliki arti hidup adalah roda berputar (Pratiwi D., 2016). Sedangkan garuda dalam cerita Garudeya adalah sosok pemberantas keburukan ( Widayat,  2004:17).

Tabel 4. Analisis Semiotika Roland Barthes pada Makam Ki Hajar Dewantara
Tabel 4. Analisis Semiotika Roland Barthes pada Makam Ki Hajar Dewantara

 

Tabel 5. Analisis Semiotika Roland Barthes pada Makam Ki Hajar Dewantara
Tabel 5. Analisis Semiotika Roland Barthes pada Makam Ki Hajar Dewantara

 

Tabel 6. Analisis Semiotika Roland Barthes pada Makam Ki Hajar Dewantara 
Tabel 6. Analisis Semiotika Roland Barthes pada Makam Ki Hajar Dewantara 

Ketiga tanda di atas termasuk dalam cakra kembang. Dalam cerita pewayangan cakra kembang sendiri adalah senjata milik batara kresna yang berguna untuk mencari kesaktian (Randiyo, 2023). Menurut Lembaga Tamansiswa, cakra kembang diasosiasikan sebagai pendidikan. Pendidikan diibaratkan sebagai senjata pamungkas untuk melenyapkan segala penghambat perjuangan (Sunardi, 2020). Cakra kembang dilengkapi delapan trisula yang melambangkan delapan mata angin yang berarti hidup kemanusiaan (universal). Bunga wijaya kusuma yang terdapat di tengah delapan trisula, juga melambangkan kemenangan anak didik dalam mencapai cita-cita (Trisharsiwi, et al., 2020). 

Perjuangan Ki Hajar Dewantara dalam mendirikan Lembaga Tamansiswa sebagai sebuah lembaga pendidikan, menjadikan beliau sebagai tokoh nasional paling berpengaruh di Indonesia. Bentuk penghormatan dari Lembaga Tamansiswa pada Ki Hajar Dewantara berupa pemberian lambang Lembaga Tamansiswa, yaitu Cakra Garuda dan cakra kembang pada bagian nisan ini menunjukkan penggunaan sila estetika ketiga, yaitu tentang simbol. Hal ini menunjukkan desain kijing makam beliau erat kaitannya dengan simbolisme perjuangan beliau semasa hidupnya.

Analisis 3 Fungsi DKV pada Kijing Ki Hajar Dewantara

Berdasarkan analisis semiotika Roland Barthes pada Kijing Ki Hajar Dewantara, ditemukan 3 fungsi DKV sebagai berikut.

  1. Fungsi Informasi

Pada kedua batu nisan kijing Ki Hajar Dewantara terdapat fungsi informasi. Di bagian atas terdapat pahatan lambang Lembaga Tamansiswa. Di bagian bawah terdapat pahatan cakra kembang. Lambang Lembaga Tamansiswa berfungsi sebagai informasi bahwa Ki Hajar Dewantara termasuk dalam Lembaga Tamansiswa. Sedangkan, Cakra kembang berfungsi sebagai informasi bahwa Ki Hajar Dewantara merupakan tokoh berpengaruh dalam dunia pendidikan di Indonesia.

  1. Fungsi Identitas

Terdapat fungsi identitas pada kijing Ki Hajar Dewantara. Tertulis “Ki Hajar Dewantara Suwardi Suryaningrat” di bagian bawah kijing sebagai informasi nama dan gelar. Tertuliskan juga “2 Mei 1889” sebagai informasi tanggal lahir dan “26 April 1959” sebagai informasi tanggal wafat. Letaknya yang berada pada bagian bawah kijing dapat memudahkan pengunjung makam untuk membaca informasi.

  1. Fungsi Promosi

Lambang Lembaga Tamansiswa pada nisan Ki Hajar Dewantara menjadi fungsi promosi. Adanya lambang tersebut sebagai bentuk promosi Lembaga Tamansiswa. Hal ini dapat menarik minat pengunjung makam untuk berkunjung ke Pusat Tamansiswa Yogyakarta di Jalan Taman Siswa No. 109, Wirogunan, Kecamatan Mergangsan, Kota Yogyakarta, DI Yogyakarta. Terdapat Museum dan Perpustakaan Ki Hajar Dewantara di Pusat Tamansiswa Yogyakarta yang turut dipromosikan juga.

KESIMPULAN

Desain kijing makam Ki Hajar Dewantara di Taman Wijaya Brata, Yogyakarta, mencerminkan penghormatan yang mendalam terhadap tokoh pendidikan Indonesia dengan memadukan nilai estetika, simbolik, dan historis. Setiap elemen pada makam, seperti ukiran nama, tanggal lahir dan wafat, lambang Tamansiswa, serta simbol Cakra Kembang dan Cakra Garuda, memiliki makna yang memperkaya pesan tentang perjuangan dan dedikasi Ki Hajar Dewantara dalam mencerdaskan bangsa. 

Melalui pendekatan semiotika Roland Barthes, elemen-elemen tersebut mengandung makna denotatif dan konotatif yang merepresentasikan identitas Ki Hajar Dewantara sebagai pelopor pendidikan, serta nilai-nilai yang ia perjuangkan. Penggunaan batu andesit yang tahan lama pada desain ini juga menunjukkan inovasi dan pembaharuan pada zamannya. Simbol-simbol yang tertera pada makam mengandung pesan moral tentang pentingnya pendidikan dan nilai kebudayaan yang diwariskan Ki Hajar Dewantara. Manfaat penelitian ini juga memberikan kontribusi dalam pembelajaran ilmu desain komunikasi visual, khususnya dalam menggali potensi simbolik dan estetika pada karya desain yang berakar pada sejarah dan budaya Indonesia.

Daftar Pustaka

Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi D.I. Yogyakarta. (2020, 30 Mei). Makna Nama “Ki Hajar Dewantara” dan Semboyan “Tut Wuri Handayani”. Diakses pada 16 November 2024, dari https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbyogyakarta/makna-nama-ki-hajar-dewantara-dan-semboyan-tut-wuri-handayani/

Chaysalina, I & Nadya (2022, Maret). ANALISIS POSTER FILM “THE BOYS IN THE STRIPED PAJAMAS (2008)” MENGGUNAKAN PENDEKATAN SEMIOTIKA ROLAND BARTHES

Christin M., Barlian A., Obadyah, Salmiyah D., Ali F., (2021:18) dalam buku Transmedia Storytelling

Geost (2016). Dalam Identifikasi Batuan Andesit Menggunakan Metode Geolistrik 2D di Daerah Pengaron, Kalimantan Selatan 

Ivaluddin T. (2022). Analisis Sebaran Batu Nisan Aceh di Gampong Deah Glumpang Kecamatan Meuraxa Kota Banda Aceh

Indonesia. (1959). Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959 tentang Hari-Hari Nasional jang Bukan Hari Libur. Keputusan Presiden Nomor 316 tahun 1959\

Ipmawati dan Hodijah. (2024). ANALISIS SEMIOTIKA ROLAND BARTHES PADA ARSITEKTUR MASJID RAYA SHEIKH

Kasanah U. Naam F.M.(2024).IKAN ARWANA SEBAGAI SUMBER IDE PENCIPTAAN KRIYA

Marampa T, Upa Labuari. (2017). Budaya Toraja. Tana Toraja. Yayasan Maraya.

Montana, S. (1990). Analisis Hasil Penelitian Arkeologi I: Religi Dalam Kaitannya  Dengan Kematian  Jilid  II. Jakarta: Departemen  Pendidikan  dan Kebudayaan

Nayono, K. (1996). Mengenal Taman Wijaya Brata Makam Pahlawan Pejuang Bangsa. Diterbitkan oleh Majelis Luhur Tamansiswa bersama dengan PT BP Kedaulatan Rakyat dan ahli waris

Laksani, H & Brilindra Pandanwangi. (2023, 2 Mei). ANALISIS SEMIOTIKA PADA IKLAN DAN IMPLIKASINYA DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS PRODI DESAIN KOMUNIKASI VISUAL

Pratiwi D. (2016). CAKRA MANGGILINGAN HUMANISME DALAM KARYA SENI PATUNG ABSTRAK SIMBOLIK

Prasetya, Arif Budi. (2019). Analisis Semiotika Film dan Komunikasi. Malang: Intrans Publishing.

Randiyo. (2023). Makna Simbolis Lakon Kangsa Adu Jago Dalam Pertunjukan Wayang Kulit Purwa

Sunardi, H. S. (2020, 30 Oktober). Atribut Persatuan Tamansiswa. Diakses pada 16 November 2024, dari https://tamansiswapusat.com/blog/blog10.html

Sunarya dan Anisah. (2018). DESAIN KOMUNIKASI VISUAL SEBAGAI MEDIA INFORMASI PADA DITJEN APTIKA KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA JAKARTA

Tinarbuko, S. (2024, 9 September). Materi Perkuliahan Desain Komunikasi Visual: Estetika Desain

Trisharsiwi, Prihatni, Y., Karyaningsih, E. W. et al. (2020). Ketamansiswaan. Yogyakarta: Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa 

Wiryopranoto S., Herlina N., M. S, Marihandono D., Tangkilisan Y. B., (2017). Dalam Buku KI HAJAR DEWANTARA ”Pemikiran dan Perjuangannya’’

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun