Film menjadi salah satu media dalam komunikasi massa pada ilmu komunikasi. Film dapat menyampaikan pesan kepada penontonnya. Film merupakan hasil dari pemikiran beberapa orang yang dirangkai hingga menjadi suatu produk budaya (Dwita & Sommaliagustina, 2018: 2).Â
Bagi orang-orang Kristiani pasti sudah tidak asing lagi dengan Film The Passion of the Christ (2004). Film The Passion of the Christ menjadi salah satu film tentang Yesus yang kontroversial karena memunculkan berbagai tanggapan dari para kritikus film.Â
Sebelum mengulas lebih lanjut mengapa film ini kontroversial, kita akan membahas dulu terkait dengan filmnya.
Sinopsi Film The Passion of the ChristÂ
Film The Passion of the Christ disutradarai oleh Mel Gibson yang berdurasi 2 jam 7 menit. Film ini mengisahkan tentang 12 jam penderitaan yang diterima Yesus sebelum kematiannya di kayu salib. Kisah penderitaan Yesus selama 12 jam tersebut dikemas secara singkat menjadi film yang berdurasi 2 jam.
Penderitaan ini dimulai dari kisah Taman Getsemani pada saat Yesus sedang berdoa untuk memohon kekuatan atas apa yang akan Ia jalani.Â
Kemudian Yesus diadili dan dihakimi oleh Pontius Pilatus, Raja Herodes, serta masyarakat. Mereka menghukum Yesus untuk disiksa dan disalibkan di Golgotha.
Sebelum disalibkan di kayu salib, Yesus dicambuki dan dilemahkan kemudian harus memikul kayu salibnya sendiri dalam jalanan Yerusalem sampai ke Golgotha.Â
Mengapa The Passion of the Christ menjadi Film Kontroversial?
Film The Passion of the Christ menjadi salah satu film kontroversial karena dinilai terlalu sadis. Salah satu jurnalis sekaligus kritikus film, Roger Ebert berpendapat bahwa film ini salah satu film terkejam yang pernah dilihatnya.Â
Penonton akan melihat adegan penderitaan Yesus yang dicambuk, dikuliti, dipukul, di remukkan tulang, jeritan kesakitan, kekejaman perwira sadis, dan juga aliran darah yang merambah setiap inci tubuh Yesus.
Dalam proses pembuatan film pasti akan melibatkan beribu-ribu keputusan, Gibson hampir selalu memutuskan proses kejadian tersebut dalam tingkat yang mengerikan. Terlihat dengan jelas luka-luka fisik yang sangat detail. Penyiksaan yang digambarkan ini terjadi terus menerus membuat penonton ikut merasakan kesakitan yang tak kunjung usai.Â
Film ini menjadi salah satu cara Gibson untuk mengkomunikasikan gagasannya. Gibson ingin orang memahami kedalaman apa yang dilakukan Yesus. Tetapi, hal ini justru memunculkan kritik-kritik yang menilai film ini merupakan anti-Yahudi.Â
Sebelum film ini resmi ditayangkan, beberapa kelompok Yahudi dan cendekiawan mencela film tersebut dan menyebutnya sebagai film anti-semit (Brown, dkk, 2007: 93).Â
Seorang direktur nasional Liga Anti-Pencemaran Nama Baik Yahudi, Abraham H. Foxman menyatakan bahwa mereka sangat prihatin dengan film tersebut, karena akan menyulut kebencian, kefanatikan, dan anti-semitisme.Â
Bagaimana Khalayak Memaknai Pesan yang Ingin disampaikan?
Narasumber pertama yaitu MC (20) yang merupakan mahasiswa jurusan hubungan internasional. MC berpendapat bahwa sebenarnya terkait dengan sadistic yang digambarkan pada film ini merupakan upaya sutradara untuk menunjukkan bagaimana sengsaranya Yesus untuk menebus dosa manusia. Selain itu juga menunjukkan sifat egoisnya Herodes yang menghalalkan segala cara untuk mempertahankan kedudukannya.Â
Banyak orang yang menilai film ini terlalu dilebih-lebihkan, tetapi menurut MC itu karena kita sebagai manusia tidak punya saksi hidup atau documentary yang bisa menjelaskan dengan detail kejadian tersebut. Jadi, film ini sebenarnya hanya ingin menunjukkan bagaimana kisah sengsara Yesus menjelang wafatnya di kayu salib.
Narasumber kedua yaitu FC (24) yang merupakan videografer. FC berpendapat bahwa film ini menarik baginya terutama karena dirinya sebagai umat nasrani, FC merasa bisa jauh lebih mengerti kisah perjalanan sejarah bukan hanya tokoh Yesus tetapi juga sejarah bangsa Romawi.Â
Hal ini juga dapat menambah pemahamannya tentang kotornya politik saat itu, kotornya hukum yang ada di sana, dan pola pikir masyarakat yang benar-benar egois. Menurutnya, film ini tidak hanya menjadi ajang entertainment semata saja tetapi menjadi sarana refleksi bagi iman-iman masyarakat nasrani karena berhasil menggetarkan hati penontonnya.Â
Narasumber ketiga yaitu RE (25) yang merupakan seorang wirausahawan. RE berpendapat bahwa film ini sangat powerful lewat penggambaran emosi yang baik berkat akting para aktornya. Walaupun banyak scene yang terkesan dilebih-lebihkan dan terasa sadis, namun pesan yang ingin disampaikan dapat dengan baik diterima oleh penonton.Â
Menurutnya, sutradara film ini ingin menunjukkan sekaligus menyadarkan manusia akan penderitaan Yesus demi menebus dosa umatnya. Jadi, dengan adanya film ini bisa menjadi refleksi akan besarnya pengorbanan Yesus demi umatnya.
Daftar Pustaka
Brown, dkk. (2007). Audience Responses to The Passion of the Christ. Journal of Media and Religion, 6(2), 87-107.
Dwita, D. & Sommaliagustina, D. (2018). Interpretasi Feminisme: Analisis Resepsi Khalayak Pekanbaru tentang Film 'Kartini'. Jurnal Perspektif Komunikasi, 2(2).
KapanLagi.com. (2004). 'THE PASSION OF THE CHRIST': 12 Jam Saat Terakhir Yesus yang Penuh Darah. Diakses melalui https://www.kapanlagi.com/film/internasional/the-passion-of-the-christ-12-jam-saat-terakhir-yesus-yang-penuh-darah.htmlÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H