Berdasarkan pandangan social exchange theory, para psikolog sosial mengemukakan bahwa orang-orang terlibat dalam prosocial behavior karena memberikan bantuan kepada orang lain dapat memberikan keuntungan dalam berbagai hal (Aronson, Wilson, & Sommers, 2021). Pertama, membantu orang lain dapat dijadikan sebagai investasi untuk masa depan, dengan harapan bahwa suatu hari nanti seseorang akan memberikan pertolongan saat kita membutuhkannya. Lalu, membantu orang lain juga mampu meredakan rasa cemas dan ketidaknyamanan yang bystander rasakan saat menyaksikan orang lain yang sedang berada dalam kesulitan. Selain itu, dengan membantu, kita juga bisa mendapatkan imbalan berupa social approval dan peningkatan self-worth.
Twitter menjadi sosial media yang pertama kali mencetuskan berbagai gerakan bantuan, seperti gerakan "Twitter, Please do Your Magic". Gerakan ini pertama kali dicetuskan pada tahun 2018 melalui akun Twitter milik Anang Yogi Pratama (@heppiheppiaja) yang berupaya melakukan penggalangan dana untuk membantu korban bencana gempa bumi dan tsunami di Palu dan Donggala. Unggahan Anang mendapat sambutan luar biasa dari para pengguna Twitter, dengan 17.000 retweet, 32 reply, dan 5.209 likes. Dalam unggahan tersebut, Anang menambahkan kalimat "Twitter, Please do Your Magic". Keberhasilan unggahan Anang yang menjadi viral kemudian menginspirasi pengguna lain untuk menggunakan kalimat serupa dalam unggahan mereka.
Para pengguna Twitter meyakini bahwa menyebarkan berita atau informasi permohonan bantuan melalui media sosial terbukti sangat efektif. Fenomena gerakan "Twitter, Please do Your Magic" membuktikan bahwa interaksi sosial di media sosial Twitter memancarkan dampak yang positif. Melimpahnya tanggapan positif dan dukungan yang diterima menjadi saksi akan dampak positif yang dihasilkan. Gerakan ini memfasilitasi penyebaran informasi yang menarik simpati masyarakat.Â
Namun, popularitasnya juga membawa risiko penyalahgunaan, sehingga pengguna diharapkan untuk bijak dalam menilai keaslian informasi dan memastikan tingkat kepercayaan dari unggahan-unggahan yang dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau bahkan penipuan. Dalam hal ini, literasi yang baik dalam ber-media sosial menjadi perisai penting untuk membedakan antara realitas dan harapan. Seperti halnya pisau bermata dua, media sosial dapat menjadi alat yang membangun atau menghancurkan, tergantung pada bagaimana kita menggunakannya.
Referensi:
Aronson, E., Wilson, T. D., & Sommers, S. R. (2021). Social psychology. Pearson Education.
Haryati, T. D. (2013). Kematangan emosi, religiusitas dan perilaku prososial perawat di rumah sakit. Persona: Jurnal Psikologi Indonesia, 2(2), 162-167.
Nasrullah, R. (2015). Media Sosial : Perspektif Komunikasi, Budaya dan Sosioteknologi. Simbiosa Rekatama Media.
Renata, S., & Parmitasari, L. N. (2016). Perilaku prososial pada mahasiswa ditinjau dari jenis kelamin dan tipe kepribadian. PSIKODIMENSIA, 15(1), 24-39.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H