Mohon tunggu...
Natasya Bestari
Natasya Bestari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Airlangga

Natasya Bestari adalah mahasiswa Bahasa dan Sastra Inggris dari Universitas Airlangga. Natasya memiliki ketertarikan pada dunia sastra, film, sejarah dan karya - karya fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menilik Budaya Konsumerisme di Starcourt Mall pada Serial Stranger Things Musim ke Tiga

29 Mei 2024   11:02 Diperbarui: 29 Mei 2024   13:43 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(doc. IMDb/Netflix)

Serial populer Stranger Things telah memikat hati penonton di seluruh dunia sejak pertama kali debutnya di Netflix pada 2016 silam. Diceritakan di sebuah kota kecil fiksi bernama Hawkins, Indiana pada era 1980-an, serial garapan Duffer Brothers ini menggabungkan unsur horor supranatural dengan drama remaja yang diselimuti nuansa budaya populer masa itu. 

Salah satu dari sekian banyak hal menarik dalam Stranger Things yaitu kemampuan menyisipkan kritik sosial yang mendalam di balik premis cerita fiksi ilmiah. Pada musim ketiganya yang dirilis pada tahun 2019, menampilkan eksplorasi serial ini terhadap budaya konsumerisme melalui kemunculan sebuah pusat perbelanjaan modern bernama Starcourt Mall

Kehadiran Starcourt Mall adalah sebagai perwujudan kemapanan dan gaya hidup konsumtif di tengah lingkungan Hawkins yang awalnya sederhana. Mal berlantai dua ini menghadirkan pengalaman berbelanja yang belum pernah dialami warga Hawkins sebelumnya. Dengan deretan toko - toko besar, restoran cepat saji, wahana permainan, hingga ruang terbuka lebar untuk nongkrong, Starcourt Mall mengubah aktivitas dan perilaku konsumsi masyarakat Hawkins.

Interior mal yang dipenuhi oleh logo, merek ternama, dan iklan menggambarkan bagaimana konsumerisme berupaya membentuk sebuah tren dan mendikte perilaku konsumen. Pengunjung, terutama remaja, seolah terpengaruh untuk menginginkan dan mengonsumsi lebih banyak barang serta jasa yang ditawarkan mal. Konsumsi tidak lagi untuk pemenuhan kebutuhan, melainkan hasrat keinginan yang diciptakan sistem kapitalisme.

Starcourt Mall mengubah lanskap sosial budaya di lingkungan Hawkins. Dari sebuah kota industri sederhana, mal megah ini menjadi pusat kehidupan baru yang menggantikan fungsi ruang-ruang komunal sebelumnya. Anak-anak dan remaja lebih banyak menghabiskan waktu di mal dibanding bersama keluarga atau berkumpul di rumah. Fenomena seperti inilah yang menandai pergeseran budaya ke arah yang lebih individualistis dan konsumtif.

Reaksi beragam ditunjukkan para tokoh terhadap gaya hidup konsumerisme yang dibawa mal. Karakter Jim Hopper, misalnya. Kepala Polisi Hawkins ini sangat mengritik perkembangan ini yang dianggap merusak nilai kemanusiaan dan hubungan personal. Di sisi lain, Joyce Byers sebagai single parent kerap kewalahan menghadapi permintaan materialistis putranya. Sementara itu, para remaja seperti Dustin Henderson dan teman-temannya justru antusias memeluk kehidupan modern di mal.

Serial ini juga mengeksplorasi berbagai dampak negatif dari budaya konsumerisme yang terwakili Starcourt Mall. Contoh eksplisitnya adalah eksploitasi pekerja rendahan. Terdapat karakter bernama Steve Harrington dan Robin Buckley yang bekerja di kedai es krim Scoops Ahoy di dalam Starcourt Mall yang memiliki jam kerja panjang. Mereka harus bekerja dalam shift panjang, bahkan terkadang lembur sampai larut malam demi memenuhi permintaan pelanggan mal yang ramai. Adapun contoh implisitnya seperti urbanisasi berkelebihan, serta ketimpangan kelas sosial  dan ekonomi.

Melalui representasi Starcourt Mall dalam Stranger Things musim 3, penonton diajak merenungkan dualitas yang terjadi akibat konsumerisme di masyarakat modern. Di satu sisi, kemudahan dan fasilitas yang ditawarkan pusat perbelanjaan semacam itu memenuhi hasrat dan gaya hidup konsumtif. Namun di sisi lain, budaya seperti ini berpotensi menghilangkan nilai-nilai penting seperti kebersamaan, kesederhanaan, dan hubungan interpersonal yang lebih bermakna.

Stranger Things tidak semata menghibur para penggemarnya, tetapi juga mengajak penonton untuk merenungkan kondisi sosial budaya yang melingkupi. Melalui Starcourt Mall, serial ini menyajikan refleksi kritis tentang kapitalisme dan konsumerisme yang kian mengakar di masyarakat, serta menyadarkan pentingnya menyeimbangkan antara pemenuhan kebutuhan material dan menjaga nilai-nilai kemanusiaan.

Oleh karena itu, sebagai penonton yang kritis, mari kita renungkan kembali dampak negatif dari budaya konsumerisme berlebihan seperti yang digambarkan dalam Stranger Things. Pertanyakan kebutuhan kita yang sesungguhnya dan sadari ketika gaya hidup konsumtif mulai menguasai kehidupan kita. Jangan membiarkan diri kita terperangkap dalam lingkup konsumerisme yang seakan tak pernah puas dan nantinya menjauhkan kita dari hal-hal yang benar-benar bermakna.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun