Mohon tunggu...
Annisa Nisa
Annisa Nisa Mohon Tunggu... -

mulai suka menulis semenjak kelas 2 smp, waktu itu dalam status sebagai siswi di sekolah sekaligus sebagai santri di pesantren PIQ Sukorejo. menjadi penulis besar adalah my dream!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sehari Mengubah Segalanya

9 Mei 2012   16:16 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:30 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam begitu dingin untuk ku rasakan, aku merasa semakin bingung dengan drama yang terjadi dirumah ku malam ini. Mama menangis karena ulah papa yang dengan seribu alasan telah menampar mama sehingga sedikit bagian dari wajahnya terlihat memar. Ku lihat adikku, dia tertidur lelap dalam kepolosannya yang masih kecil dan tak berdosa. Hati ini miris melihat keadaan rumah yang sudah tak lagi bahagia dan sempurna seperti saat aku masih dalam gendongan mereka dulu, kali ini aku sudah berusia 17th dan entah mengapa usia itu membuat aku menyesal karena kedewasaan telah menyadarkan ku bahwa kebahagiaan tak lagi bersandar di keluarga kecilku.

“Tommy, cepat masuk kamar dan tidur!!.”

Setiap malam papa selalu mengatakan hal itu kepadaku dengan membentak tanpa menyadari bahwa aku anaknya sangat rindu akan kelembutannya yang sudah tak pernah lagi kurasakan. Saat pengambilan rapot hasil belajar disekolah semester I, entah mengapa hatiku terasa begitu sakit dan dadaku terasa begitu sesak ketika aku melihat teman-teman seperjuanganku disekolah, mereka saling berangkulan dengan mama dan papa mereka masing-masing. Papa dan mama mereka saling mengucapkan selamat kepada anak-anak mereka. Mereka semua terlihat bahagia meskipun tidak semua dari teman-tamanku mendapat nilai yang bagus.

“Tom, kamu sendirian aja. Papa mama kamu mana?” Tanya Rony teman baik ku.

“Mereka gak akan punya banyak waktu untuk aku.” Jawabku singkat.

“Kamu ini lucu ya. Ini kan hari pengambilan rapot dari hasil belajar kamu, masak papa atau mama kamu gak ingin tau sih??”

“Kenyataannya memang kayak gitu. Kalau orang tua kamu dateng?”

“Oh so pasti. Sesibuk apapun orang tuaku jika untuk anaknya mereka akan selalu ada!” Jawab Rony dengan bangganya.

“Keluarga kamu bahagia ya. Gak seperti aku, papa dan mama sepertinya sudah tak lagi sayang sama anak-anaknya.” Jawabku dengan wajah lesu.

“Kok kamu ngomongnya gitu sih Tom? Kalau papa dan mama kamu gak sayang samakamu mereka gak akan nyekolahin kamu sampai SMA!”

“Ron, seandainya mereka tau kalau aku lebih butuh kebahagiaan daripada sekolah. Aku tidak pernah ingin orang tuaku menyekolahkan ku, aku juga tidak pernah minta agar mama dan papaku memberikan segala fasilitas untuk ku. Aku Cuma ingin bahagia. Aku ingin hidup dalam keluarga yang damai dan penuh kebahagiaan, itu aja Ron!” Jelasku pada Rony tanpa ragu sedikitpun.

“Iya Tom aku bisa mengerti itu. Tapi aku yakin papa dan mama kamu sebenarnya masih sayang sama kamu, Cuma mereka belum bisa mengungkapkannya dengan tulus ke kamu Tom.” Kata Rony berusaha menenangkanku.

“Kamu pernah lihat papa dan mamaku datang ke sekolah ini selama tiga tahun aku SMA disini. Pernah kamu lihat mereka?? Paling yang datang Cuma supir atau orang suruhan mama.” Kataku kecewa dan sedikit emosi.

“Mungkin mama dan papa kamu terlalu sibuk Tom sampai mereka gak pernah bisa datang disetiap event yang ngundang wali murid disekolah kita?”

“Yang lebih tau tentang mereka tuh aku atau kamu sih?” Jawabku kesal.

“Ya.. maksud aku bukan gitu Tom. I am sorry!”

“It’s oke. Yang kamu bilang barusan tuh gak masuk akal tau gak. Kalau memang papa dan mama sayang sama aku gak mungkin dalam waktu sepuluh ribu delapan ratus hari (3TH) mereka gak ada waktu sehariii aja untuk aku. Yang mereka lakukan tuh udah keterlaluan buat aku Ron!?”

“Em kamu tenang ya Tom. Anggap aja ini semua adalah tantangan buat kamu dan jangan sedih. You are not alone, I am here with you! Oke?” kata Rony sambil menepuk pundak ku, membuatku sedikit tenang.

“Rony, aku bisa minta bantuan kamu gak?” Ucapku agak sedikit canggung pada Rony.

“Boleh. Selama aku bisa membantu aku pasti akan bantu kok.”

Aku diam sejenak, ku usap muka ku dengan kedua talapak tanganku dan ku hembuskan nafas besar. Sedikit aku memaksa diri ini tuk membulatkan tekat dan meyakinkan hati bahwa keputusan yang akan ku ambil adalah yang terbaik.

“Hei Tom, kenapa kamu diam aja?” Tanya Rony dengan penasaran yang dalam padaku.

“Aku sudah memutuskan bahwa aku akan pergi dari rumah dan apakah untuk sementara waktu kamu bisa menolong aku Ron?”

“Hah? Kamu udah gila ya Tom! Ngapain sih pake pergi dari rumah segala??”

“Ya udah kalau kamu gak bisa bantu gak apa-apa kok. Aku pulang dulu!!” Kataku sambil beranjak pergi meninggalkan Rony.

“Hei Tom kamu mau kemana? Oke oke, aku bisa bantu kamu. Aku kan udah bilang bahwa aku akan membantu kamu selama aku bisa. Tom tommy!?” Rony terus mengoceh sambil ia mengejarku yang tak berhenti melangkah meski aku mendengar apa yang Rony katakan.

Kaki pun berhenti kulangkahkan, ku balikkan badanku dan dengan sedikit kening berkerut ku tanya pada Rony “Kamu serius bisa bantu aku?”. Dan Rony tersenyum kecil seraya bibirnya manjawab “Iya, karena kita adalah teman. Apapun yang terjadi kita akan jalani bersama Tom, seberat apapun masalah itu we are together, you and me!”

Aku tersenyum mendengar ucapan Rony, dia telah menguatkan benteng persahabatan dihatiku dan telah menyiratkan sebersit kebahagiaan dihati yang hampa ini. Aku datang pada Rony, ku hampiri dia dan ku jabat tangannya lalu dia pun memelukku.

Ku ajak Rony ke rumahku, aku tak pernah malu ataupun ragu padanya. Rony adalah my best friend hanya dia yang selama ini mampu membuatku tersenyum dan merasakan kebahagiaan kembali dalam hidup ini. Hidupku berwarna bersamanya karena dalam susah dan senang kita jalani dan rasakan itu bersama. We are best friend forever!

Saat tiba dirumah mataku terbelalak hebat melihat se-isi rumah berantakan tak karuan, pecahan gelas dimana-mana, buku-buku kantor ayah berserakan dilantai dan yang lebih menyedihkan adalah ibu-ku tercinta menangis tak berdaya sambil menggendong adikku, ibuku tak berdaya berguyuran air mata. Hanya tinggal teve yang menempel didinding yang terlihat masih tetap utuh. Segera kuhampiri ibuku dan kupeluknya, tangis ibu semakin meledak dalam dekapanku, tangan kanan ibuku meremas lengan tangan kananku dengan sangat kuat. Aku tahu dia sangat emosi tapi tak ada kesempatan untuknya melampiaskan emosinya itu.

“Tommy, kamu sudah keterlaluan. Kamu habiskan uang 5 juta yang baru papa transfer kemarin ke rekening kamu. Baru sehari papa transfer sekarang sudah habis apa itu namanya Tom!!” Papa begitu emosi padaku, dia membentak hebat padaku.

“Pa, aku minta maaf. Tapi papa harus tau uang itu aku gunakan untuk membantu orang bukan Tommy pakai untuk foya-foya.” Sedikit kataku menjelaskan.

Papa tidak merespond penjelasanku dia malah memukuliku, dia benar-benar keterlaluan. Rony berusaha menghentikan papa tapi Rony malah mendapat ancaman dari papa jika dia terus mencoba menghentikan aksi papa memukuliku.

“Baiklah pa, jika memang dengan ini papa puas bunuh sekalian aku pa! jika aku hanya beban untuk kalian, jika aku tak pantas mendapatkan kasih sayang seperti dulu lagi dari papa dan mama, jika aku sudah tak berhak lagi untuk kalian perhatikan dan jika aku.. jika aku sudah tak berharga untuk kalian. Bunuh aku pa tak ada lagi gunanya aku hidup!!” Kataku sambil menahan pukulan papa dengan sapu yang sudah sering kurasakan.

“Papa, sudah pa kasihan Tommy!!” Kata mama berusaha menghentikan papa. Tapi papa malah memukul muka mama sehingga mama jatuh tersungkur kelantai. Adikku menangis, kusuruh Rony mengambil adikku yang masih bayi dari gendongan mama.

“Cukup pa. aku sudah 17th aku sudah dewasa pa!” Papa berhenti memukuliku, dia membiarkan aku bicara.

“Pa, kalau memang dengan seperti ini aku bisa bicara dengan papa aku ikhlas pa. Pa, tolong dengarkan aku, aku rindu akan kasih sayang papa dan mama yang seperti dulu. Uang itu adalah untuk membayar semesterku tahun ini dan sebagiannya ku berikan kepada anak yatim. Kulakukan semua itu karena aku ingin bahagia dan entah mengapa aku merasa sama dengan anak yatim itu meskipun aku punya papa dan mama.”

“Aku anak papa dan mama kan? Semenjak dewasa aku sudah tak pernah lagi merasakan kasih sayang kalian. Sebenarnya aku ini siapa pa, aku ini siapa ma? Kalian punya segalanya tapi aku tak punya apa-apa. Jangan siksa mama karena aku pa, aku akan merasa berdosa!”

“Baiklah. Aku akan pergi dari sini, aku akan pergi dari kehidupan kalian. Aku tidak ingin menjadi masalah untuk kalian, tolong jangan pukuli mama lagi pa, jika mama mati maka papa baru akan merasa bahwa mama sangatlah penting untuk papa. Maafkan aku pa, selama bertahun-tahun aku memimpikan kebahagiaan dalam keluarga ini tapi sampai detik ini semua itu hanyalah bayang semu. Aku puas dengan semua fasilitas yang sudah papa berikan padaku, terimakasih pa! rubahlah sikap papa untuk adikku agar kelak dia bahagia dan saat dewasa dia bisa merasakan makna sebuah keluarga!”

Segera kuambil tas dan melangkah pergi. Ku usap air mata yang membasahi mukaku, aku tak ingin menjadi orang yang lemah tapi aku seorang anak memang akan lemah dihadapan keluargaku apalagi dimata mereka aku tak pernah benar.

Rony berjalan bersamaku sambil merangkul pundakku dari samping, hanya dia yang membuatku merasa berharga untuk hidup.

“Tommy, papa minta maaf nak. Papa tahu papa salah, semua yang papa lakukan selama ini salah, jangan pergi Tom papa minta maaf!”

Kata-kata itu menghentikan langkah Rony, dia berbalik melihat papa tapi aku tetap melangkah tanpa rasa ragu sedikitpun.

“Papa dan mama sayang sama kamu Tom, kami hanya tidak tahu cara mengungkapkannya dan kami memang egois Tom. Papa memang egois Tom maaf kan papa nak!!”

Kudengar papa yang terus bicara tapi tak ada sebersit niat pun dariku untuk kembali kepada mereka. Pikiran dan hatiku sudah capek, meski air mataku terus meleleh aku terus mengayuh langkahku dan aku berusaha menghilangkan rasa berat dan rindu yang tertancap kuat dihati iniuntuk meninggalkan keluarga yang sudah membesarkanku. Karena Aku ingin melihat kebahagiaan.

Benar-benar tak kusangka, papa terjatuh saat berlari mengejarku. Kerikil-kerikil menggelincir kakinya sehingga ia terjatuh tersungkur ketanah dan keningnya berdarah akibat terbentur batu.

Kakiku tiba-tiba lagi tak bisa kulangkahkan, ku dengar Rony menolong papa dan papa meminta maaf lagi padaku. Kudengar suara mama juga meminta maaf padaku meski mama sesungguhnya tak punya salah padaku, aku tahu yang diinginkan mama adalah aku kembali.

“Tom, kamu bisa hidup tanpa sekolah, kamu bisa hidup tanpa dunia dan kamu bisa bahagia tanpa keluarga kamu. Tapi ingatlah sampai kapanpun seorang anak tidak akan pernah bisa hidup tanpa orang tuanya! Apapun masalahnya suatu saat nanti anak pasti akan kembali pada bapak dan ibunya Tom. Ini bukan lagi drama tapi ini adalah ikatan darah yang tidak siapapun bisa memisahkannya!”

Kata-kata yang diucapkan Rony membuatku tak berdaya, kucoba tutup telinga tapi aku tak bisa, kucoba untuk kembali berdiri melangkahkan kaki tapi aku tak sanggup. Ku kira aku bukan darah daging mereka tapi tak kesanggupanku membuatku bertanya inikah namanya ikatan batin??

Aku rapuh dan aku telah kalah dalam keyakinanku bahwa untuk mendapatkan kebahagiaan aku harus meninggalkan keluarga kecilku. Papa memelukku dari belakang, aku benar-benar terharu ternyata orang tuaku masih menyayangiku, benarkah mereka hanya tidak tahu cara mengungkapkan kasih sayangnya padaku??

Tamat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun