Bunyi alarm pada hari itu memenuhi kamar saya selama satu menit penuh. Hal tersebut tidak membuat saya menggerutu sedikitpun. Seakan-akan saya bahkan menanti bunyinya alarm khusus untuk hari itu. Saat itu hanya ada kegelapan, tidak ada sinar dari celah-celah yang dapat membantu saya untuk melihat. Kaki saya perlahan-lahan berjalan menuju tembok untuk mencari bantuan. Hanya dengan sentuhan jari, seisi ruangan tersebut dapat terlihat. Tas putih dengan isi yang lengkap sudah berada di atas meja. Melihat hal tersebut, saya hanya tersenyum dan satu kalimat tidak sempurna terlintas dalam benak saya. Saatnya mendaki!
Puncak. Siapa yang belum pernah ke Puncak? Bahkan hampir semua orang tahu bahwa Puncak akan menjadi sumber kemacetan ketika liburan. Mendaki yang saya maksud bukanlah mendaki gunung dengan kaki, melainkan mendaki ke Puncak dengan mobil. Fakta mengenai macetnya Puncak menjadi pertimbangan saya dan empat teman SMA saya untuk pergi ke Puncak pada hari biasa. Rencana yang hampir selalu gagal ini, akhirnya tercapai sehingga mengundang perasaan gembira walau direncanakan cukup mendadak. Tidak hanya saya, tetapi Jose, Nadine, Fitri, dan Stephanie pun sangat menantikan hari itu.
      Waktu menunjukkan pukul 07.30 ketika saya sampai di depan gerbang sekolah SMA Don Bosco 2. Dengan otomatis saya mengeluarkan smartphone dari tas dan mencari kontak Jose. Saya langsung menelponnya sambil mencari mobil hitam miliknya. Ketika saya sudah yakin bahwa itu adalah mobil hitam yang saya cari, saya mengetuk lalu masuk ke dalam mobil dan melihat bahwa Jose, Nadine, dan Fitri sudah berada di dalamnya. Kami berempat menunggu anggota terakhir selama 15 menit. Jujur saja, saya sedikit kesal menunggu Stephanie karena sudah lewat dari waktu yang telah ditentukan sehari sebelumnya. Saat semuanya sudah berada di dalam mobil, kami pun langsung berangkat untuk mendaki.
      Langit biru dengan awan serta matahari yang tidak terlalu memancarkan sinarnya semakin meningkatkan perasaan saya. Apalagi ditambah dengan jalanan lurus sedikit naik yang tidak terlalu dipenuhi oleh mobil lainnya. Selama perjalanan, saya dan teman-teman saya bertukar banyak cerita menarik yang terjadi pada kehidupan kami masing-masing. Lamanya kami tidak saling bertemu juga menambah intensitas dan kualitas komunikasi kami. Lantunan lagu zaman sekarang yang terdengar mengajak saya untuk bernyanyi sambil menikmati lagu tersebut.
      Tidak terasa bahwa satu jam telah berlalu. Seperti sebuah kebiasaan saat sampai di Puncak, saya membuka jendela untuk merasakan terpaan angin yang menampar wajah saya. Pepohonan hijau di sepanjang jalan seakan-akan membuat saya lupa akan gedung-gedung yang biasa saya lihat di kota. Perasaan senang juga sangat terlihat pada keempat wajah teman saya. Jalanan yang terus mendaki dengan lika-liku yang khas menambah keseruan perjalanan itu. Banyaknya warung-warung kecil pada pinggiran jalan membuat Jose mendadak bertanya, "Sekarang kita harus kemana?"
      Pertanyaan tersebut mengundang tawa sebab bagi saya tujuan ke Puncak hanyalah satu, yaitu mencari susu. Dengan spontan, saya pun menjawab, "Cimory Riverside". Susu bukanlah hal yang sulit dicari di kota. Namun saya rela untuk mendaki perjalanan yang berliku berjarak hampir 70km dari rumah saya hanya untuk susu Cimory. Sesampainya di sana, kami berlima menuju restoran Cimory dan memesan 2 susu pisang, 2 susu stroberi, dan 1 susu coklat. Hanya dengan masing-masing satu gelas susu, kami duduk sambil menikmati pemandangan sungai selama tiga jam. Seperti biasa, kami bercerita mengenai kesulitan perkuliahan kami, kehidupan pribadi kami, dan bercanda tawa bersama.
Saya belanja cukup lama saat itu sebab saya kebingungan dalam memilih barang mana yang mau saya pilih sebab banyak sekali variasinya. Teman-teman saya sudah mengajak pulang agar menghindari kemacetan arus balik. Perjalanan pulang lebih tidak terasa, apalagi ketika hati saya masih ingin lebih lama berada di Puncak hanya untuk melihat pemandangan dan refreshing. Tetapi saya harus kembali pada realita dan kembali bekerja esok harinya.
      Travel singkat pada hari itu sangat menyenangkan sejak awal saya bangun dengan perasaan gembira. Perjalanan yang dinanti tersebut membuat saya sudah menyiapkan barang travel sehari sebelumnya. Perasaan tidak sabar pun mengikuti sejak tersetujuinya rencana tersebut. Walaupun jaraknya 70km dari rumah saya, perjalanan tersebut terasa sangat cepat. Perjalanan ini cukup bagi saya untuk melepas kepenatan dari kesibukan sehari-hari. Oleh karena itu, saya akan melakukan perjalanan lainnya yang sudah menunggu saya di waktu berikutnya.
Natassya Anjanette Kevin
Mahasiswi Universitas Bina Nusantara