Mohon tunggu...
Natasha Nugroho
Natasha Nugroho Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Politik

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Pengesahan RUU PPRT sebagai Pengakuan Hak Perempuan: Dinamika Negara dan Moralitas Agama

17 Oktober 2024   22:55 Diperbarui: 17 Oktober 2024   23:00 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Saat ini, Indonesia masih menghadapi kebuntuan dalam pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT), meskipun RUU ini telah diusulkan sejak tahun 2004. Inisiatif ini pertama kali diprakarsai oleh Jaringan Advokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) dan pernah dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) untuk periode 2005-2009. Sayangnya, pembahasan RUU tersebut terhenti, dan hingga kini belum juga disahkan. Meskipun sempat terjadi kemajuan kecil pada tahun 2023, yaitu dengan pengesahan RUU PPRT sebagai usul inisiatif DPR dalam Rapat Paripurna ke-19 masa sidang IV, perjuangan untuk melindungi hak-hak pekerja rumah tangga belum dapat dianggap selesai sampai RUU ini benar-benar disahkan.

Mandeknya pengesahan RUU PPRT di DPR disebabkan oleh rendahnya kemauan politik (political will) di kalangan anggota dewan. Banyak dari mereka yang juga menjadi pemberi kerja PRT, sehingga muncul bias terhadap perlindungan hak pekerja rumah tangga dan praktik yang tidak baik. Mengingat RUU ini sangat berkaitan dengan isu gender, khususnya pekerja perempuan, minimnya perspektif gender di lembaga legislatif menjadi faktor lain yang memperlambat pembahasan. Hal ini tercermin terwujud dalam pengesahan undang-undang lain, seperti UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), yang juga berhubungan erat dengan isu gender.

RUU PPRT menyajikan sejumlah poin krusial yang secara jelas menegaskan urgensinya. Pertama, undang-undang ini memberikan kepastian hukum bagi pekerja rumah tangga (PRT) yang secara terperinci menjelaskan hak dan kewajiban mereka. Dengan adanya pengaturan yang jelas, RUU ini tidak hanya menjadi acuan hukum saat terjadi sengketa, tetapi juga mengukuhkan pengakuan dan perlindungan yang sangat dibutuhkan bagi PRT. Langkah ini sangat penting dalam menciptakan kondisi kerja yang lebih adil dan manusiawi bagi mereka yang berkontribusi besar dalam sektor domestik.

Selain itu, RUU ini juga menitikberatkan perlindungan dari eksploitasi yang sering kali dialami PRT. Pasal 11 secara tegas mengatur hak-hak PRT, termasuk hak beribadah, jam kerja manusiawi, cuti, upah yang layak, serta akses terhadap jaminan sosial. PRT juga diberi kebebasan untuk mengakhiri hubungan kerja jika terjadi pelanggaran oleh pemberi kerja, sehingga memastikan adanya mekanisme perlindungan yang memadai. Dengan begitu, hal ini dapat menciptakan hubungan kerja yang lebih setara, sehingga PRT tidak lagi dipandang sebagai tenaga kerja informal tanpa perlindungan.

Lebih jauh lagi, RUU PPRT mengatur aspek-aspek krusial yang sangat penting dalam struktur kerja PRT. Di dalamnya, terdapat pengaturan mengenai penggolongan PRT berdasarkan jenis pekerjaan, yang akan membantu dalam memahami kebutuhan dan tantangan masing-masing kelompok. RUU ini juga menjamin hak PRT untuk mengakses pendidikan dan pelatihan gratis melalui Balai Latihan Kerja, membuka peluang bagi mereka untuk mengembangkan keterampilan dan meningkatkan kesejahteraan. Selain itu, penjelasan mengenai mekanisme mediasi sebagai penyelesaian perselisihan menciptakan jalur yang adil dan profesional dalam menyelesaikan konflik.

Poin-poin dalam RUU PPRT tidak muncul tanpa alasan, tetapi muncul sebagai respons terhadap realitas yang sering dialami oleh PRT, terutama perempuan, yang sangat rentan terhadap kekerasan dan eksploitasi. Data dari JALA PRT mencatat 3.308 kasus kekerasan terhadap PRT antara 2021 hingga Februari 2024. Masalah ini bukanlah fenomena baru, melainkan persoalan yang sudah berlangsung lama. Dari 2012 hingga 2022, kasus kekerasan terhadap PRT terus meningkat, termasuk kekerasan fisik, psikis, hingga perdagangan manusia. Selain itu, mayoritas PRT hanya menerima upah 20%-30% dari UMR, tanpa akses jaminan kesehatan atau ketenagakerjaan.

Baru-baru ini, insiden pemanjatan pagar oleh lima PRT di Jatinegara pada Februari 2024 menjadi bukti nyata dari perlakuan buruk yang mereka alami. Menurut Lita Anggraeni, Koordinator JALA PRT, kejadian ini mencerminkan bentuk perbudakan modern yang masih dialami PRT di Indonesia. Saat ini, terdapat sekitar 5 juta PRT di Indonesia, jumlah yang signifikan dan mencerminkan banyaknya nyawa yang terancam oleh perlakuan buruk. Dengan jumlah sebesar itu, setiap penundaan dalam pengesahan RUU ini berpotensi memperpanjang risiko kekerasan dan eksploitasi terhadap jutaan orang. Selama RUU PPRT belum disahkan, kondisi ini akan terus berulang, dan lambatnya pembahasan RUU tersebut hanya memperpanjang penderitaan mereka.

Situasi ini menunjukkan bahwa negara belum sepenuhnya memiliki perspektif yang komprehensif dalam memperhatikan isu hak pekerja dan perempuan. Padahal, secara formal, Indonesia telah mengakui pentingnya kedua isu tersebut. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), hak-hak pekerja dijamin melalui Pasal 28D ayat (2), yang memastikan hak atas pekerjaan dan perlakuan yang adil. Selain itu, Indonesia telah berkomitmen pada prinsip-prinsip Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang disusun Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), khususnya target 5.2 untuk mengakhiri kekerasan dan eksploitasi terhadap perempuan dan anak perempuan.

Ketidaksesuaian antara komitmen formal dan realitas yang dihadapi mencerminkan kegagalan negara dalam melindungi hak-hak pekerja dan merespon isu-isu perempuan secara memadai. RUU PPRT seharusnya menjadi jawaban atas persoalan ini, terutama karena mayoritas pekerja rumah tangga adalah perempuan. Sayangnya, hingga kini, PRT masih belum diakui sebagai pekerja formal yang layak mendapatkan perlindungan hukum yang memadai.

RUU PPRT yang hingga kini belum disahkan juga mencerminkan eksploitasi yang erat kaitannya dengan paham neoliberalisme, yaitu ketika kepentingan modal dan pertumbuhan ekonomi ditempatkan di atas perlindungan hak asasi manusia, khususnya hak pekerja. Ketidakmauan sebagian besar anggota legislatif untuk segera mengesahkan RUU ini menunjukkan adanya penundaan yang disengaja demi mempertahankan relasi kuasa yang menguntungkan kelompok elit. Ironisnya, banyak dari anggota legislatif tersebut merupakan kaum intelektual yang, idealnya, seharusnya mengedepankan prinsip-prinsip hak asasi manusia sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. Namun, kenyataannya, mereka justru mendukung paham developmentalism yang lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi, meskipun harus mengorbankan perlindungan bagi kelompok rentan seperti pekerja rumah tangga.

Isu perlindungan hak pekerja rumah tangga (PRT) memiliki relevansi yang kuat jika dikaitkan dengan agama-agama yang diakui di Indonesia, seperti Islam. Dalam Al-Qur'an, ayat-ayat yang diturunkan di Madinah secara sistematis dan radikal berupaya menghapus sistem perbudakan yang sebelumnya belum diselesaikan di Mekkah. Contoh penting adalah Surat Al-Baqarah, salah satu surat pertama yang diturunkan di Madinah, di mana Allah menekankan betapa mulianya tindakan memerdekakan budak. Hal ini sangat relevan dengan kondisi saat ini, di mana banyak PRT yang masih mengalami bentuk perbudakan modern.

Pengesahan RUU Perlindungan PRT dapat menjadi tonggak sejarah dalam menghapus praktik perbudakan modern serta mengurangi kekerasan dan diskriminasi terhadap PRT di Indonesia. Kondisi semakin memprihatinkan dengan fakta bahwa 14 persen dari PRT adalah pekerja di bawah umur. Oleh karena itu, jika ada kelompok yang mengatasnamakan Islam tetapi menentang RUU ini, tindakan tersebut tidak selaras dengan semangat Islam yang mengedepankan prinsip rahmatan lil alamin. Sebagai makhluk yang hidup di bumi, PRT juga memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dan manfaat yang layak.

Pada tahun 2017, relevansi perspektif dari agama lain mengenai isu ini juga terwujud melalui deklarasi anti perbudakan modern oleh para pemuka agama. Deklarasi tersebut ditandatangani oleh tokoh-tokoh lintas agama, termasuk Ketua Majelis Ulama Indonesia KH Muhyidin Junaidi, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Marsudi Syuhud, serta perwakilan dari Muhammadiyah dan Parisada Hindu Dharma Indonesia. Tokoh agama lain seperti Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia Henriette Hutabarat Lebang, Uskup Agung Jakarta Mgr Ignatius Suharyo, perwakilan Wali Buddha Indonesia Banthe Victor Jaya Kusuma, dan Ketua Umum Majelis Tinggi Agama Konghucu Uung Sendana Unggaraja juga ikut mendukung deklarasi tersebut.

Sehingga, meskipun juga sudah mendapatkan dukungan dari berbagai pemuka agama dengan landasan kemanusiaan dan moralitas, isu hak pekerja rumah tangga (PRT) masih menjadi pekerjaan rumah yang mendesak untuk diselesaikan. Perlindungan terhadap PRT bukan hanya masalah sosial, tetapi juga menyentuh aspek moral dan spiritual yang sudah diakui oleh berbagai agama di Indonesia. Sayangnya, meski seruan untuk keadilan telah lama digaungkan, pengesahan RUU Perlindungan PRT terus terhambat. Hal ini menunjukkan bahwa perjuangan untuk memberikan perlindungan yang layak bagi PRT—sebagai pekerja formal yang berhak atas perlakuan manusiawi—masih sangat relevan dan perlu menjadi prioritas utama dalam kebijakan hukum nasional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun