Sudah empat hari berlalu sejak terakhir kali kita bertemu. Sejujurnya, setiap kali aku melihat ponselku, aku berharap ada namamu yang tertulis di sana, namun ternyata aku tidak mendapatkan apapun. Lucu rasanya, bagaimana seluruh situasi ini bisa berubah hanya dalam waktu satu hari.Â
Aku masih mengingat hari dimana kita pertama kali bertemu. Dirimu yang mengenakan polo berwarna biru navy dan celana jeans panjang, dan dengan sebuah pertanyaan untuk meyakinkan dirimu bahwa akulah gadis yang kau cari, kau tersenyum menyapa diriku. Itulah kali pertama aku melihat senyummu, senyum yang akhirnya sampai sekarang pun masih sangat aku sukai. Kau mengajakku ke mobilmu, dan kita setuju untuk mencari sebuah coffee shop yang nyaman untuk berbicara, mengenal satu sama lain lebih dalam. Selama kita berada di mobilmu, aku menceritakan bagaimana keseharianku, dan aku mengingat bagaimana tatapanmu kepadaku selama aku berbicara. Kita berbagi dan menertawakan banyak hal, dan kamu berjanji akan datang kembali di esok hari hanya agar kita bisa bertemu kembali untuk kedua kalinya.Â
Aku masih mengingat hari ketika kau memintaku menjadi kekasihmu. 8 bulan setelah pertemuan pertama kita, di hari kemerdekaan negara kita, kau dan aku mencari tempat yang tenang untuk berbicara. Saat kau pada akhirnya menanyakan pertanyaan itu, tanpa berpikir panjang aku langsung mengatakan ya. Hujan badai dan angin kencang yang sedang beradu di luar menusuk kulitku dan membuatku menggigil, namun jauh di dalam lubuk hatiku, aku merasakan kehangatan. Kehangatan yang meyakinkanku bahwa kau mencintaiku, dan aku juga mencintaimu. Kehangatan ini jugalah yang akhirnya membuatku selalu bertahan di tengah situasi kondisi apapun yang sedang kita hadapi.
Hubungan yang kita jalin tidaklah mudah. Perbedaan yang kita miliki cukup banyak, namun aku tau itu bukanlah suatu hal yang seharusnya menjadi masalah. Yang penting, aku sayang kau dan kau sayang aku, setidaknya itu yang kupikirkan
Benar bukan?
Namun tampaknya aku salah.
Hubungan yang selama ini kita jalin selama lima tahun, hubungan yang kukira akan berakhir di altar gereja, ternyata pupus di tengah jalan. Aku mengingat pertengkaran kita di mobil, bagaimana pada akhirnya kata putus lah yang bisa menjadi jawaban atas permasalahan yang kita hadapi. Canda tawa yang sebelumnya kita miliki di mobil itu, digantikan oleh amarah, tangisan, dan pertengkaran. Lagi lagi, hanya langit lah yang menjadi saksi dari pertengkaran tersebut yang berujung memisahkan hubungan yang sudah kita pupuk selama lima tahun. Langit yang sama yang menjadi saksi atas menyatunya kita, akhirnya kembali menjadi saksi atas berpisahnya kita.Â
Berat memang. Lima tahun ini aku sudah terbiasa akan dirimu, aku sudah terbiasa dengan sosokmu. Aku terbiasa dengan semua hal mengenai dirimu, dengan senyummu, suaramu, tawamu, caramu menatap diriku, semua hal tentang dirimu masih kuingat dengan sangat jelas. Aku menyukai senyummu. Berkali kali sering kukatakan itu, dan mungkin itulah alasanku atas permintaanku yang terakhir sebelum akhirnya kita benar benar berpisah.Â
"Aku ingin melihat senyummu untuk yang terakhir kalinya"Â
Senyum yang pada akhirnya bukan lagi menjadi milikku seorang.Â
11 September 2024
Natasha
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H