dokumenter "My Daughter The Terrorist" (2007) karya sutradara Beate Arnestad dan Morten Daae mengenai keterlibatan perempuan dalam unit Black Tiger LTTE yang dipadukan dengan beberapa hasil riset dengan pembahasan serupa. Sebagai catatan, konflik Sri Lanka dengan LTTE telah menemukan rekonsiliasi pada tahun 2009.
Tulisan ini adalah sebuah esai singkat yang berangkat dari film
Liberation Tigers of Tamil Elam (LTTE) adalah organisasi militan etnis Tamil di Sri Lanka yang didirikan dengan tujuan untuk mendirikan negara Tamil Eelam yang merdeka dan berdaulat dari Sri Lanka. Berdirinya berbagai organisasi militan berbasis etnis Tamil di Sri Lanka dilatarbelakangi oleh faktor historis masyarakat lokal Sri Lanka yang pada masa imperialisme Inggris diperlakukan secara tidak adil dan ditempatkan pada kelas kedua di bawah etnis Tamil yang pada saat itu menjadi pegawai pemerintahan imperial. Pascakemerdekaan, etnis Sri Lanka mulai 'membalaskan dendam' mereka kepada masyarakat Tamil yang berujung pada konflik berkepanjangan antara Sri Lanka dan Tamil yang tidak terhindar dari kekerasan.Â
Pada awal konflik, sebenarnya ada banyak organisasi militan Tamil lain yang berkembang di Sri Lanka, tetapi LTTE tumbuh menjadi organisasi paling dominan dan dianggap sebagai avatar dari nasionalisme etnis Tamil. Dalam tubuh organisasinya sendiri, LTTE terdiri atas berbagai unit cabang dan sayap yang beberapa di antaranya juga dibagi berdasarkan gender. Namun, unit Black Tigers bukanlah unit khusus perempuan. Unit ini adalah unit yang didesain khusus untuk melakukan misi bunuh diri yang mengintegralkan pengorbanan nyawa sebagai bagian dari misi mereka.
Dalam My Daughter The Terrorist, Arnestad dan Daae mengambil kisah dua perempuan muda anggota Black Tigers LTTE, Darshika dan Puhalchudar, yang secara sukarela mendedikasikan diri mereka kepada LTTE, khususnya Black Tigers. Dokumenter ini menyajikan secara apik dinamika hidup perempuan anggota Black Tiger, terutama dalam keterkaitannya dengan hubungan dengan keluarga yang harus mereka tinggalkan demi berjuang di medan perang. Penonton bisa melihat bagaimana kehidupan anak-anak, khususnya perempuan Tamil hidup di dalam ancaman militer Sri Lanka yang menuntut mereka untuk hidup berpindah-pindah, terpisah dari keluarga, dan melihat keluarga mereka terbunuh.Â
Darshika kemudian menjadi gambaran dari banyak perempuan di Black Tigers LTTE, yaitu perempuan yang bergabung karena telah menanggung banyak beban dan trauma akibat perang, serta kekerasan yang dilakukan oleh militer Sri Lanka. Lebih dari itu, My Daughter The Terrorist juga mendorong penonton untuk tenggelam dalam ironi situasi perang antara Tamil dan Sri Lanka yang telah mengubur banyak harapan orang tua Tamil bagi anak mereka. Tidak ada lagi cita-cita tinggi, yang ada hanyalah harapan bahwa anak-anak mereka dapat bertahan hidup. Ironisnya, kehidupan ini telah mendorong mereka untuk menjadi bagian dari LTTE yang sekilas mempromosikan persatuan masyarakat Tamil, tetapi di sisi lain mengorbankan banyak persahabatan di antara para perempuan sesama anggota yang harus rela mengorbankan persahabatan mereka demi kepentingan LTTE --Darshika dan Puhalchudar sepakat bahwa mereka rela membunuh satu sama lain apabila pimpinan LTTE memberikan perintah demikian.
Kesukarelaan perempuan anggota Black Tigers LTTE nampak seperti keputusan yang rasional, mengingat latar belakang trauma dan penindasan yang mereka lalui. Namun, keputusan mereka untuk bergabung pada unit bunuh diri ini sebenarnya tidak terlepas dari faktor sosial, ekonomi, dan faktor eksternal lainnya. Ada banyak tekanan lingkungan yang menghadirkan stigma sosial bagi mereka yang menolak untuk menjadi relawan LTTE karena kondisi sosial masyarakat sendiri telah dikondisikan sedemikian rupa oleh LTTE. Dengan begitu, maka pengorbanan anggota Black Tiger dalam misi bunuh diri seakan lebih menjadi seperti norma yang secara tidak sadar wajib dilakukan oleh masyarakat Tamil. Sederhananya, mengorbankan diri dalam peperangan bukan lagi dilihat sebagai tindakan luar biasa yang menggambarkan komitmen terhadap pimpinan dan organisasi LTTE.Â
Lantas, pertanyaannya kemudian adalah: Apabila kesukarelaan itu sendiri bukanlah suatu hal yang murni, apakah keterlibatan perempuan dalam unit Black Tigers TLLE dapat dilihat sebagai suatu bentuk emansipasi perempuan dalam konflik fisik? Atau hanya sebuah bentuk viktimisasi perempuan korban konflik untuk alasan pragmatis kebutuhan perang?
Secara tradisional, bangsa Tamil sendiri melihat perempuan sebagai yang pemalu, kurang percaya diri, dan tersubordinasi oleh masyarakat patriarki. Namun, persepsi ini mulai berubah ketika LTTE melibatkan perempuan dalam medan pertempuran. Secara fisik, LTTE sendiri menerapkan sistem pelatihan yang sama terhadap kader laki-laki dan perempuan, sedangkan secara psikis mereka juga diberikan ekspektasi yang sama atas performa mereka dalam organisasi. Sistem ini kemudian memberikan kesempatan bagi perempuan Black Tigers untuk membuktikan bahwa mereka setara dengan laki-laki dalam misi bom bunuh diri tanpa membutuhkan 'ukuran' performa yang berbeda dengan laki-laki. Dengan begitu, maka keterlibatan perempuan dalam misi LTTE, termasuk dalam misi bunuh diri Black Tigers telah mentransformasi gambaran ideal perempuan Tamil dari perempuan yang diekspektasikan mudah dimonitor dan dikontrol oleh laki-laki menjadi perempuan yang berkapabilitas secara militer, independen, dan berdaya.
Di sisi lain, dampak positif keterlibatan perempuan dalam misi bunuh diri LTTE yang telah mentransformasi gambaran ideal perempuan Tamil tidak serta-merta menyatakan bahwa keterlibatan perempuan dalam LTTE lebih condong memberikan emansipasi terhadap perempuan. Kenyataannya, rekrutmen perempuan oleh LTTE tidak terlepas dari alasan pragmatis. Menurut data, setidaknya terdapat 24% dari total 316 kader Black Tigers yang tewas dalam misi bunuh diri adalah perempuan, jumlah ini tidak termasuk mereka yang tertangkap dan memilih bunuh diri dengan sianida, serta mereka yang tewas dalam latihan. Jumlah ini dapat mengindikasikan perspektif LTTE terhadap anggota perempuan yang pada akhirnya hanyalah sekadar angka. Perspektif pragmatis LTTE ini kemudian diperkuat dengan pengakuan Darshika dan Puhalchudar --dua gadis relawan LTTE dalam dokumenter, yang siap untuk tewas bunuh diri dan membunuh satu sama lain jika mereka mendapatkan perintah demikian dari pimpinan LTTE. Penerapan komitmen yang tinggi terhadap pimpinan dan organisasi yang melebihi hubungan emosional ini memperkuat bukti bahwa pada dasarnya struktur serta sistem LTTE hanya melihat anggota mereka sebagai sukarelawan yang dapat dengan mudah digantikan oleh anggota atau kader lain.
Viktimisasi perempuan Tamil sebagai bentuk pragmatisasi keterlibatan mereka di LTTE juga dapat dilihat dari latar belakang rekrutmen oleh LTTE dan ketertarikan personal perempuan Tamil untuk menjadi anggota yang tidak jauh dari alasan trauma masa lalu. Sebagaimana Darshika yang harus hidup dalam kesedihan mendalam setelah mengetahui ayahnya tewas akibat serangan bom militer Sri Lanka, perempuan Tamil lain juga telah hidup dalam penderitaan, pemerkosaan, dan kekerasan yang dilakukan oleh militer Sri Lanka.Â