Mohon tunggu...
Natasha Adhys
Natasha Adhys Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi Ilmu Politik Universitas Indonesia

Senang menulis, jika ada waktu senggang.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kualitas Karakter dan Pendidikan Bangsa dalam Bingkai Ketimpangan Ekonomi

30 November 2018   03:45 Diperbarui: 26 Juni 2023   03:36 493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

'Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.' Begitulah bunyi sila kelima dalam Pancasila. Pertanyaannya, apakah keadilan sosial itu sudah ada bagi seluruh rakyat Indonesia? Menurut Badan Pusat Statistik pada bulan Maret 2018, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 25,95 juta orang (9,82%). Jumlah ini telah berkurang sejak September 2017 dimana di pedesaan berkurang sebanyak 505 ribu jiwa dan di perkotaan sebanyak 128,2 ribu jiwa.  

Dari jumlah tersebut, sebanyak 2,5 juta anak Indonesia putus sekolah. Berdasarkan survey dari Hasil Bantuan Siswa Miskin Endline, 47,35% responden putus sekolah karena tidak memiliki biaya, 31% ingin membantu orang tua bekerja dan sisanya ingin melanjutkan pendidikan nonformal.

Berdasarkan data di atas maka dapat diketahui dengan jelas jika sebagian besar anak putus sekolah karena kurangnya biaya. Kehidupan yang dibawah garis kemiskinan membuat mereka harus melepaskan jenjang pendidikan, belum lagi jumlah 31% responden yang beralasan ingin membantu orang tua. 

Sebagaian besar responden dengan alasan membantu ini juga dapat dipastikan berasal dari masalah yang sama dengan alasan kekurangan biaya, keadaan ekonomi keluarga yang berada di bawah garis kemiskinan. Dari data jumlah dan alasan anak putus sekolah ini pula dapat disimpulkan bahwa selama ini, di Indonesia, kemiskinan menjadi problematika besar di balik pendidikan bagi generasi muda. 

Secara ekonomi, Indonesia memang mengalami tingkat penurunan masyarakat miskin, namun jumlah anak putus sekolah tetap bertambah tiap tahunnya seakan-akan penurunan rakyat miskin di Indonesia tidak membawa dampak besar dalam penurunan jumlah anak putus sekolah.

Seperti yang kita ketahui, dibalik sebuah kesengsaraan, ada pula sebuah kemakmuran. Dibawah angka kemiskinan, banyak anak-anak putus sekolah yang terpaksa mengubur cita-citanya sedalam mungkin. Sedangkan mereka yang menjadi kalangan menengah dan menengah atas dalam ekonomi negara dapat mengenyam pendidikan yang baik, bahkan jauh lebih baik dari mereka yang miskin. 

Ketimpangan ekonomi yang ada saat ini membuat jurang antar golongan masyarakat semakin lebar, tidak hanya dalam status sosial-ekonomi, tetapi juga dalam pendidikan. Dengan biaya pendidikan yang tidak bisa dikatakan murah pada masa kini, rakyat kurang mampu akan terus terpuruk dalam lingkaran kemiskinan yang tak berujung karena tak ada generasi mereka yang mampu keluar dan mengenyam pendidikan demi mendapat 'modal' untuk memiliki hidup yang lebih baik nantinya. Sedangkan kaum beruang dapat terus membangun generasi mereka dan mengambangkan hidup mereka supaya mereka dapat merasakan kehidupan yang lebih nyaman lagi.

Kiranya program 12 tahun wajib belajar dari pemerintah masih kurang efektif dan kurang berhasil, buktinya, masih banyak anak putus sekolah. Selain itu, diketahui pula dengan tingkat pendidikan pejabat daerah yang tinggi, ternyata banyak pula provinsi-provinsi yang belum menjadikan Program 12 tahun Wajib Belajar sebagai prioritas utamanya, padahal dapat diyakini pula, pastilah masyarakat umum terutama mereka yang menduduki jabatan pemerintahan memiliki kesadaran bahwa masa depan negeri ini ada di dalam genggaman generasi muda. 

Sangat disayangkan bagaimana pentingnya pendidikan selalu dikoarkan dalam media massa namun realitanya berbanding terbalik, bahkan pendidikan menjadi prioritas nomor kesekian di beberapa provinsi di Indonesia.

Selain dari sisi ekonomi, nampaknya pendidikan juga berkaitan kuat dengan nilai moral yang membentuk karakter masa depan bangsa. Sekolah (terutama Sekolah Dasar), menjadi titik tanam nilai-nilai moral bagi generasi muda untuk berkembang secara positif, sehingga nantinya dapat memiliki karakter yang kuat dan positif. Namun, dengan banyaknya angka anak putus sekolah, maka semakin banyak pula karakter bangsa yang hilang.

 Semakin sedikit generasi muda berkarakter, padahal dapat dikatakan hanya mereka yang berkarakter yang mampu bertahan dalam era globalisasi seperti sekarang ini. Kalaupun rakyat menengah ke bawah bersekolah, sekolah yang ditawarkan oleh pemerintah pun dinilai kurang membangun karakter positif pada anak dan kegiatan pembangunan karakternya juga masih minim.

Pendidikan karakter selama ini terdapat pada sekolah-sekolah unggulan dan favorit. Namun, seiring dengan tingginya nilai keunggulan sekolah, maka semakin besar pula biaya yang harus dikeluarkan untuk bersekolah. Dapat dipikirkan, sebenarnya banyak orang tua yang ingin melihat anaknya menjadi anak berkarakter kuat, namun dengan keterbatasan ekonomi, mereka hanya menyekolahkan anak mereka pada sekolah dengan taraf keunggulan yang rendah. 

Kembali lagi, pendidikan yang bagus hanya dapat dienyam oleh mereka yang mampu. Namun sekarang beberapa sekolah telah mengeluarkan beasiswa bagi mereka yang berprestasi dan kurang mampu, hal ini cukup membantu menghemat pengeluaran biaya pendidikan.

Dengan hal ini, pemerintah diharapkan segera mencari solusi, karena jika pendidikan Indonesia terus bergantung pada ekonomi, maka akan ada sangat banyak potensi yang terbuang sia-sia, tidak ada cukup karakter untuk membangun Indonesia yang lebih baik. 

Mungkin sekarang pemerintah dapat melakukan pembenahan program sekolah gratis dan perbaikan sistem pembangunan peserta didik. Selama ini nilai pembangunan karakter siswa telah berada pada standar yang sama, namun penerapannya dirasa belum cukup, dan antara satu sekolah dengan yang lain sangatlah berbeda. Misalnya, ada sekolah yang sangat terbiasa mencontek, ada yang tidak sama sekali, padahal standar nilai kejujuran yang diberikan pemerintah sama. 

Maka, diharapkan pemerintah lebih sering pula melakukan pengamatan langsung ke sekolah-sekolah dan menanggapi hal berkaitan dengan pendidikan karakter ini dengan lebih serius. Jangan sampai hanya mereka yang mampu yang memiliki karakter dan mereka yang tidak mampu terus berada dibawah. Roda kehidupan generasi muda Indonesia harus tetap berjalan, jangan sampai terbentuk jurang pendidikan yang lebih lebar lagi hanya karena ketidakmampuan ekonomi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun