A-09pabila ini yang terjadi maka secara ekonomi hal tadi akan merugikan medianya. Bukan mungkin, media sanggup ditutup lantaran kehilangan dapat dipercaya. Apakah syarat tadi pernah terpikir para pengelola media? Apalagi ketika ini pola yang mencurigai kelangsungan hayati media massa (baik cetak, online juga elektronik) pada tengah peluang bahwa seluruh orang sanggup menghasilkan warta dan menyebarkannya secara cepat.
 Dampaknya telah mulai terasa. Saat ini, sebagian narasumber potensial mulai membatasi dirinya berdasarkan wawancara secara eksklusif menggunakan jurnalis.
 Para narasumber ini lebih senang  diwawancarai secara tertulis melalui WhatsApp ketimbang wawancara eksklusif. Alasannya, buat menghindari kekeliruan penulisan yang dilakukan jurnalis, yang akan menjadikan fatal bagi dirinya selaku narasumber. Padahal, berdasarkan sisi jurnalistik, wawancara eksklusif ini lebih hayati dan lebih bisa menggali warta yang diperlukan, ketimbang wawancara tertulis melalui media apapun.
 Tetapi, keengganan narasumber buat diwawancara eksklusif juga bisa dipahami. Bayangkan bila warta yang disampaikan menyangkut kepentingan orang poly dan terjadi keliru kutip.
 Yang lebih fatal lagi, kesalahan warta (informasi) yang telah disebarluaskan nir sanggup diralat begitu saja. Lantaran hal itu misalnya menabur serpihan kertas ke langit yang akan sulit buat dikumpulkan lagi. Apalagi pada zaman ini, ketika jempol kita sanggup menggunakan sekali tekan membuatkan warta apa pun ke semua dunia, seketika.
 Lantaran itulah, seharusnya rutinitas yang menciptakan para jurnalis "lengah" menggunakan akurasi dan ketepatan warta sanggup diantisipasi. Pelatihan buat menyegarkan balik  dasar-dasar jurnalistik, dasar penulisan informasi juga kemampuan wawancara sebagai hal yang seharusnya dilakukan secara berkala. Tak perlu bergantung dalam perusahaan media buat melakukannya. Banyak asosiasi jurnalis yang sanggup sebagai medium aktivitas ini.
 Tetapi selain itu, pencerahan berdasarkan para jurnalisnya sendiri bahwa pekerjaan mereka bukanlah pekerjaan yang berulang -misalnya pekerjaan administrasi- wajib  dimunculkan senantiasa. Jurnalis merupakan profesi yang jua dikawal menggunakan kode etik. Jurnalis bukan pekerjaan biasa. Lantaran itu, tuntutannya juga lebih tinggi, senada menggunakan tuntutan dalam profesi lain misalnya dokter atau pengacara.
 Persoalan akurasi merupakan hal mendasar. Termasuk mengenai keliru kutip pernyataan narasumber yang kerap dipercaya sepele. apabila media massa ingin permanen bertahan menjadi sentra warta utama, pemberi edukasi, hiburan dan pembentuk opini publik maka awak media (manajemen dan jurnalis) tidak boleh tinggal diam.
 Tantangan zaman ini wajib  ditanggapi menggunakan taktik yang jitu. Salah satunya senantiasa menaikkan dan mengasah kemampuan jurnalisnya. Bagaimanapun para jurnalis lapangan merupakan ujung tombak media dan mereka merupakan aset yang wajib  dijaga.
Penulls adalah guru Bahasa Indonesia  SMA Xin Zhong Surabaya dan pemerhati jurnalistik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H