Mohon tunggu...
Frael Sarantangan
Frael Sarantangan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Biarawan dan mahasiswa

Kebahagiaan akan terejawantahkan dengan sesama jika menerima diri dan dengan itu artinya memberikan diri kepada sesama. Dan karena cinta maka aku akan melakukan segala sesuatu dengan cinta.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lentera kan Bernyala

9 Oktober 2022   20:27 Diperbarui: 9 Oktober 2022   20:39 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi yang indah di lereng pegunungan, di gunung Pasi, udara segar, deru air yang tenang, terasa kebahagiaan surga hadir di tempat itu. Pondok yang tak begitu besar dengan ukuran kurang lebih empat kali lima meter, dengan dinding papan dan atap daun sagu. Matahari mulai mengintip di balik gunung itu, dirinya mulai memancarkan sinar yang kian terang. Lentera yang sedari tadi bernyala-nyala di tiap tempat kini mulai dipadamkan.

Seorang pemuda mulai membuka jendela kamarnya, merentangkan tangan dan merasakan kenikmatan alam yang masih segar di tempat itu. Suara-suara burung mengiringi pagi itu dengan memukau hati pemuda itu. Sambil bersiul-siul ia meniru suara burung yang sedari tadi berkicau merdu.

Dengan penuh kagum dan syukur pemuda itu terhadap alam yang ada di tempat itu, ia berseru: "sungguh indah ciptaanMu Tuhan, yang tak henti-hentinya kurasakan setiap hari. Burung-burung berkicau ria, deru riam yang tak kunjung henti menyegarkan jiwa." Seruannya itu sangat nyaring, bahkan bisa terdengar oleh penghuni-penghuni di tempat itu, walau hanya dia sendiri di tempat itu. Pemuda itu adalah Kapu, ia tinggal di lereng gunung Pasi, tidak jauh dari lereng itu ada sebuah danau yang juga memiliki alam yang masih asri, danau Sarantangan namanya.

Kapu yang sedari tadi menelusuri danau itu dengan sampan miliknya tak lupa ia membawa pukat dan jala ikan yang telah ia siapkan, untuk menangkap ikan. Setelah setengah hari ia mencari ikan kini waktunya ia pulang dengan membawa hasil tangkapannya ke pondoknya.

Di atas kursi panjang ia duduk ditemani segelas kopi yang masih hangat di yang tersimpan di atas meja. Dari jauh ia memandangi danau. entah apa yang sedang dipikirkannya, tiba-tiba keluar dari pikirannya: "Apakah dia cintaku?" Setelah enam bulan berlalu di pondok yang telah membawanya pada kenyamanan. Kini ia mulai merasakan jatuh cinta. Ya, tentu saja itu dalam khayalan hati semata. Dia meninggalkan pondok dan menghampiri sampan kemudian berlayar mencari cintanya dalam waktu empat jam, pria itu telah sampai di rumahnya yang membuatnya jatuh cinta. Tak disangka-sangka, rumah yang dimaksud bukanlah rumah wanita kekasihnya, atau keluarga yang memiliki anak gadis yang bisa dijadikan kekasihnya, melainkan rumah yang dituju adalah Gereja.

Dengan perasaan cinta yang mendalam di dalam Gereja itu ia mengungkapkan kerinduannya penuh dengan kerinduan, katanya:

"Aku hanya ingin menumpahkan rindu di dadaMu, aku tahu aku yang jatuh cinta dan diriMu juga begitu. Aku hanya ingin menumpang harap di pelukMu, aku hanya ingin melakukan sesuatu agar aku dilirik olehMu." Ungkapan itu tertuang begitu saja dalam diri pemuda lereng gunung itu.

Lama tak ada kabar dan keberadaannya pun tidak ada yang tahu di kampung itu. Ada yang mengatakan dia telah mati terbawa cintanya, ada yang mengatakan dia menenggelamkan diri karena cintanya, dan ada yang mengatakan dia telah bersama dengan cintanya. Sehingga membuat orang di kampung itu bingung siapa yang dicari dan dicintainya itu, gadis atau janda?

Setelah lama menghilang dari permukaan kampung, kini dirinya telah berbeda dengan membawa kisah baru dalam hidupnya. Dengan sepeda motor yang biasa digunakan oleh pastor paroki, ia menyapa orang-orang di kampung itu dengan mengendarai motor itu. Tak ada yang menyangka kini ia telah berada di Stasi dengan mengenakan jubah coklat dengan tali putih di pinggangnya.

dokpri
dokpri
Lonceng Gereja di Stasi berbunyi dengan nyaring, menyapa umat-umat untuk riang gembira. Suara yang kian terdengar semakin menyentuh hati dan telinga, mempersiapkan hati berjumpa bersama mendengarkan Sang Sabda. Dengan rasa gembira si coklat menyapa hatinya, ungkapan itu terucap dalam hati: "kini aku sungguh telah bersamaMu dan bersama mereka di rumahMu dan di rumah kita."

Tak lama kemudian para OMK pun menghampiri dan menyalami si Kapu dengan menanyakan keberadaannya selama ini yang tidak mereka ketahui. "Oya, Frater selama ini ke mana sih, kok ndak pernah ada kabar? sekali muncul eh sudah berjubah." Tanya seorang OMK yang juga menjadi ketua di Stasi itu. "selama ini aku tidak ke mana-mana kok, aku hanya di perantauan aja." Jawab si Kapu dengan candaan kepada mereka.

Hampir satu jam mereka berbicara dan bercanda di depan Gereja itu, kemudian salah satu dari mereka mengajak si Kapu dan teman-teman OMK berekreasi ke Danau Sarantangan. "Oya,..." kata si Tatal sambil memukul pundak salah satu OMK. "Frater ini kita ajak jalan-jalan yuk, ke Danau Sarantangan!" yang lain pun melihat si Tatal dan teman yang ajaknya itu dengan sedikit gurauan, ternyata mereka pun tahu kalau mereka itu juga teman sewaktu sekolah dulu dengan si Kapu itu. "oke, oke..." seruan itu telah cukup dimengerti oleh para OMK. Tanpa menunggu lama mereka pun pergi ke Danau tersebut.

Tak lama mereka dalam perjalanan, kini mereka telah sampai di Danau. Pandangan si Kapu langsung saja tertuju pada sampan berwarna coklat yang mirip dengan sampannya dulu. Ia pun bergegas menaiki sampan itu, sedangkan OMK lainnya menaiki sampan-sampan yang lain, tinggal tiga orang yang belum naik, mau tidak mau mereka naik bersama Frater Kapu di sampan yang sama. Mereka tidak lain dan tidak bukan adalah teman-teman sewaktu SMA. Hingga hampir sore mereka menelusuri danau itu dengan candaan dan sekaligus bernostalgia mengingat masa lalu mereka di tempat itu.

Kini mereka telah bersantai di sebuah pondok yang terlihat atap sudah semakin tak layak lagi. Tetapi mereka tetap saja merasa bahwa di tempat itu tetap nyaman. Apalagi mereka bertanya-tanya kepada mereka bertiga, kisah apa saja yang pernah mereka ramu di tempat itu. Ketiga teman itupun hanya senyum dan menjawab seadanya. Si Kapu yang baru keluar dari pondok itu mengeluarkan makanan ringan untuk mereka makan di sana. Tak lupa ia bercerita tentang dirinya selama di tempat itu hingga ia pergi meninggalkan pondok itu demi panggilan suci.

Memang telah banyak berubah di kampung itu, tetapi sebagai Si Kapu yang mencintai alam dan persaudaraan ia merasa tidak jauh berubah. Kendati demikian ia ingin memberikan yang terbaik untuk pelayanannya sebagai seorang biarawan, walaupun di kampung ia tidak berkhotbah-khotbah dengan suara yang berkobar-kobar, tetapi ia tetap berkhotbah dengan tindakannya dalam menjalani hidup.

Dua minggu akan dihabiskan waktunya bersama keluarga dan warga di kampung itu. Pondok yang telah lama ditinggalkan kini dikunjunginya kembali, tak banyak yang berubah, terkecuali atap yang sudah mulai rapuh. Setelah dua hari Kapu menganyam atap dari daun sagu, kini pondok itu telah siap dihuni kembali. Sebagai rasa syukur atas kepulangannya di tempat itu, ia mengundang keluarga dan warga kampung tidak lupa teman-temannya semasa SMA termasuk para OMK untuk hadir dalam perayaan ibadat syukur yang diadakan di pondok itu.

Senja telah tiba, tiba saatnya lentera yang telah lama tidak menerangi pondok itu, kini telah bernyala lagi, dengan nuansa yang telah berbeda dari sebelumnya. Lentera yang tidak hanya menerangi satu orang saja tetapi kini telah menyinari banyak orang yang bersama dengannya. Lentera kan bernyala, menyinari setiap hati ...

Kisah ini adalah kisah diri di dalam diri. Dari tokoh, tempat, suasana, dan waktu adalah satu peristiwa dalam diri si Kapu. Suasana yang nyaman dan tentram merupakan kisah masa lalu yang termasuk memiliki kebahagiaan secara duniawi. Di dalam suasana yang membahagiakan itu terdapat sukacita, lika-liku hidup, kegoncangan dan pertikaian gelombang kehidupan.

Pondok itu adalah dirinya sendiri yang terdalam, yakni hati. Hati yang ingin mencari suatu kebahagiaan yang mampu mengubah hidupnya dari peristiwa yang lampau pada kebahagiaan yang sejati, yakni memilih hidup sebagai biarawan.

Lentera memang sejak awal sudah menyala, namun sumbu dan minyak tak dapat bertahan lama dalam hembusan-hembusan angin yang mampu memadamkan bahkan menggelapkan ruang yang aman. Jika gelap ruang takkan aman, jika terang ruang akan indah dan akan lebih aman.

Lentera kan bernyala merupakan suatu ungkapan hati yang ingin menyalakan kembali semangat dengan semangat yang baru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun