Relasi antara PR dan wartawan sering disebut sebagai relasi “Love-Hate Relationship” atau dengan kata lain “cinta tapi benci”. Hal ini dapat terjadi sebab pada dasarnya antara PR dan wartawan saling membutuhkan satu sama lain, namun pada prakteknya mereka saling “membenci” lantaran tuduhan menutup-nutupi atau menyampaikan berita yang tidak benar. Berdasarkan uraian tersebut, penulis tidak setuju dengan praktek-praktek PR dan wartawan yang demikian. Pendekatan yang baik untuk sebuah organisasi dan praktisi PR semestinya adalah menganggap hubungan media sebagai sebuah investasi. Berhubungan dengan media merupakan strategi penting dan tentu saja sebagai sarana yang digunakan PR untuk mengkomunikasikan dan mengembangkan hubungan dengan masyarakat. Ini berarti, seharusnya PR dan jurnalis bekerja dalam hubungan yang saling tergantung dan saling membantu. Para wartawan memerlukan PR, sama seperti PR memerlukan wartawan. Namun terkadang konflik kepentingan dan misi membuat PR dan wartawan menjadi bermusuhan. Praktisi PR yang berpihak penuh pada organisasinya akan berselisih dengan wartawan yang ingin menggali berita melalui inisiatif jurnalistik agar tercipta laporan yang baik.
Dalam praktek di lapangan seringkali terdengar bahwa bagi wartawan, PR adalah orang yang selalu punya kecenderungan memanfaatkan media massa dengan segala cara untuk memperoleh peliputan terhadap lembaga tempat PR itu bekerja, sehingga mengganggu mekanisme sistem kerja pers yang normal. PR dianggap tidak becus melayani wartawan, selalu berusaha menutupi apa yang terjadi dalam perusahaannya, menghalangi wartawan untuk memperoleh fakta yang layak ditulis. Mereka menganggap informasi dari PR tidak layak dijadikan berita karena sudah dikemas sedemikian rupa sehingga tidak mencerminkan
fakta sebenarnya. Sebaliknya bagi PR, wartawan dianggap sebagai pihak yang mencari-cari kesalahan atau sisi negatif sebuah organisasi. Wartawan juga dianggap sebagai pencari sensasi untuk penglaris surat kabarnya, salah konteks, dan lain sebagainya. Hal tersebut dapat menciptakan hubungan yang buruk antara media dengan perusahaan atau organisasi bila pada kenyataanya relasi yang terjadi antara PR dan wartawan adalah saling “membenci”.
Jika faktanya demikian, maka sebuah perusahaan yang sangat mementingkan reputasinya, memerlukan “penjinak” jembatan antara perusahaan dengan publiknya. Penjinak media ini termasuk ke dalam salah satu fungsi yang dilakukan oleh PR, yaitu media relations. Definisi Media Relations menurut PRSSA (Baran, 2004: 361) adalah: “…the public relations professional maintain good relations with professionals in the media, understand their deadlines and other restraints, and earn their trust (PR profesional menjaga hubungan baik dengan para profesional di media, mereka memahami deadline dan hambatan lain, dan mendapatkan kepercayaan mereka)”. Hubungan media relations yang efektif adalah hubungan yang memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak. Di satu sisi media mendapat informasi yang menarik, di sisi lain perusahaan akan tercapai tujuannya dalam menyebarkan informasi berharga kepada publik yang luas melalui media massa. Aktifitas komunikasi Public Relations atau Humas untuk menjalin pengertian dan hubungan baik dengan media massa dalam rangka pencapaian publikasi organisasi yang maksimal serta berimbang (balance). Beberapa prinsip untuk membina hubungan pers yang baik menurut Jeffkins dalam Soemirat dan Ardianto (2010: 124-125), antara lain :
1. By servicing the media, yaitu memberikan pelayanan kepada media. Dalam hal ini contohnya PR harus mampu menciptakan kerjasama dengan media dan juga menciptakan suatu hubungan timbal balik.
2. By establishing a reputations for reliability, yaitu menegakkan suatu reputasi agar dapat dipercaya. Misalnya selalu menyiapkan bahan-bahan informasi akurat di mana dan kapan saja diminta. Wartawan selalu ingin tahu sumber berita paling baik untuk mendapatkan informasi yang akurat dan hubungan timbal balik terjalin semakin erat.
3. By suppliying good copy, yaitu memasok memberikan naskah yang baik, menarik perhatian, penggandaan gambar/foto, pembuatan teks gambar/foto dengan baik. Juga pengiriman news release yang baik sehingga hanya sedikit memerlukan penulisan ulang atau menyuntingnya.
4. By cooperations in providing material, yaitu melakukan kerjasama yang baik dalam menyediakan bahan informasi, seperti merancang wawancara pers dengan seseorang yang dibutuhkan pers ketika itu.
5. By providing verification facilities, yaitu penyediaan fasilitas yang memadai, seperti memberikan fasilitas yang dibutuhkan wartawan sewaktu menggali berita.
6. By building personal relationship with the media, yaitu membangun hubungan secara personal dengan media. Hal ini yang mendasari keterbukaan dan saling menghormati profesi masing-masing.
Berdasarkan konsep media relations yang telah dijabarkan, dapat dilihat bahwa sebenarnya “Love-Hate Relationship” dapat diatasi apabila PR dan wartawan mampu bekerjasama dan menghargai tujuan bersama. Dengan menjalin relasi yang baik antar kedua belah pihak, akan tercipta hubungan yang harmonis dan tentunya saling menguntungkan. Karena itu, PR sebaiknya menjalin persahabatan yang elegan, saling menghormati dan mengapresiasi para wartawan. Dalam hal ini konteks bersahabat dengan wartawan bukanlah konteks yang sering dikonotasikan dengan angpau, sebagai seorang PR seharusnya menghindari sikap “menyuap” tersebut. Begitu pun sebaliknya, seorang wartawan yang benar dan profesional sebaiknya tidak bekerja dan menjalin relasi atas dasar uang semata. Jika hubungan yang terjalin hanya berdasar untung rugi alias ujung-ujungnya duit, maka seringkali yang terjadi bukanlah persahabatan yang “elegan”. Manfaatkan berbagai kesempatan dalam menjalin hubungan dengan orang-orang media. Misalnya, jangan melulu hanya mengandalkan kegiatan formal seperti konferensi pers. Banyak kesempatan atau kegiatan lain (informal) yang juga dapat merekatkan hubungan dengan para wartawan, seperti: bermain sepakbola, pengajian, buka puasa bersama, saling mengucapkan di hari spesial masing-masing dan sebagainya.
Selain menjalin persahabatan dengan wartawan, dalam menjalin hubungan dengan media diperlukan suatu pemahaman media (media understanding). Media understanding adalah bagaimana seorang PR memahami suatu media yang akan digunakan untuk “menjual” atau membuat image positif dari suatu perusahaan atau organisasi kepada publik. Misalnya, seorang PR Hotel harus mampu mengetahui segmen mana yang ingin dijadikan sasaran serta mengenal karakter setiap media, apakah para pembaca koran politik atau para pembaca life style. Ketika PR Hotel yang menjual “life style” namun malah membidik media ekonomi dan politik, bisa jadi berita dari Hotel di mana PR tersebut bekerja tidak akan dimuat. Hal lain yang biasanya terjadi dan jarang mendapat perhatian dari seorang PR adalah ketika perusahaan atau organisasi tempat PR tersebut bekerja sedang dirundung masalah. Saat ditanya wartawan tentang kasus yang terjadi, bukannya memberi penjelasan dengan cerdas, PR tersebut malah lebih suka mengatakan: “No comment!”. Hal inilah yang membuat wartawan mencari informasi dari sumber lain dan terkadang informasi tersebut tidak terkontrol kebenarannya. Di sini juga menunjukkan bahwa PR terkesan menutup-nutupi informasi yang ada, tidak kooperatif dan terpotong-potong dalam menyampaikan informasi.
Wartawan sebagai pencari informasi yang harus bekerja berdasarkan prinsip-prinsip jurnalistik juga akan mencari informasi yang mungkin saja tidak menguntungkan organisasi. Sifat pekerjaan wartawan menuntut adanya kerja sama yang baik antara PR dan wartawan. Sedangkan PR mempunyai tugas utama yaitu membangun citra yang baik menyangkut institusi atau perusahaan tempat dia bekerja. Salah satu caranya yaitu dengan mendapatkan publisitas dalam media massa. Menyadari hal ini maka selayaknya seorang PR harus mampu membangun relasi yang baik dengan wartawan. Untuk itu ia harus memahami bagaimana wartawan bekerja, bagaimana mekanisme kerja di ruang redaksi, siapa yang paling berwenang untuk memutuskan suatu berita dipublikasikan, dan sebagainya. Dengan adanya relasi yang baik, ketika suatu saat organisasi tempat PR bekerja mengalami hal-hal negatif, wartawan mungkin akan mencari dan memberi informasi penyeimbang sehingga liputan tentang organisasi tersebut bisa lebih netral. Dalam hal ini hubungan baik dengan wartawan bukan saja bermanfaat untuk memperoleh liputan yang memadai sehingga citra organisasi tetap terjaga, namun agar relasi antar PR dengan wartawan tidak hanya sebatas hubungan kerja. Dengan demikian keterbukaan kepada para wartawan menjadi penting untuk menumbuhkan saling percaya antara PR dan wartawan. Hubungan pertemanan yang baik biasanya akan melahirkan kerja yang efektif bagi wartawan maupun bagi PR.
Media relations tidak hanya terkait dengan kepentingan sepihak, organisasi saja ataupun media massa saja, melainkan kedua pihak memiliki kepentingan yang sama. Dengan demikian, akan membuat kerjasama menjadi win-win solutions. Dalam hal ini, perusahaan atau praktisi PR harus benar-benar memahami kepentingan-kepentingan perusahaan media,wartawan serta insan-insan media lain yang terlibat di dalam aktivitas industri media itu sendiri. PR dan mitranya wartawan atau pers, tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Keduanya saling membutuhkan, membentuk kinerja yang positif. PR menjadi sumber berita bagi media, sedang media menjadi sarana publisitas bagi PR perusahaan agar lebih dikenal oleh publik atau masyarakat. Kedua belah pihak, PR dan media harus saling memiliki kepercayaan bahwasanya PR bukan “bulan bulanan” media dan media tidak boleh diperalat oleh PR, sehingga memuat pemberitaan yang mencerminkan kebohongan kepada publik.
Di sini, penulis tidak setuju dengan adanya relasi “Love-Hate Relationship”, karena sebenarnya pekerjaan wartawan dan PR tidak saling bertentangan. Seringkali antara keduanya bersinggungan dan karenanya perlu saling mendukung. Yang menjadi masalah adalah antara kedua pihak tidak tahu bahkan tidak mau tahu karakter dan tujuan dari pekerjaan satu sama lain. Bila PR sering dituduh menutup-nutupi informasi, menurut penulis pernyataan tersebut tidak tepat. Karena secanggih apapun rekayasa yang akan ditampilkan oleh PR, hal itu tidak boleh berdasarkan pada informasi palsu. Sebuah kebohongan akan terbuka pada waktunya, dan resiko terhadap kebohongan tersebut akan berdampak besar. Langkah yang perlu ditempuh seorang PR adalah memelihara transparansi informasi, dalam hal ini bukan berarti menyampaikan seluruhnya terhadap wartawan, namun tetap menyaring informasi yang akan diberikan. “Love-Hate Relationship” memang merupakan persoalan klasik. Ada dua kepentingan yang terkadang tidak hanya berbeda, bahkan berbenturan. Namun, dua kepentingan yang kadang bertolak belakang itu (Jurnalis VS Praktisi PR), dengan masing-masing pemahamannya yang harus terus menerus dijembatani. Aktivitas media relations seharusnya dapat dimanfaatkan sebagai sarana komunikasi yang baik antara perusahaan dengan publiknya, yakni wartawan dan instansi media masa. Dengan komunikasi yang baik, diharapkan tujuan kedua belah pihak juga dapat tercapai. Relasi tersebut tentunya disertai harapan agar berbagai kegiatan yang dijalankan organisasi diliput media secara jujur, akurat, dan berimbang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H