Selain menjalin persahabatan dengan wartawan, dalam menjalin hubungan dengan media diperlukan suatu pemahaman media (media understanding). Media understanding adalah bagaimana seorang PR memahami suatu media yang akan digunakan untuk “menjual” atau membuat image positif dari suatu perusahaan atau organisasi kepada publik. Misalnya, seorang PR Hotel harus mampu mengetahui segmen mana yang ingin dijadikan sasaran serta mengenal karakter setiap media, apakah para pembaca koran politik atau para pembaca life style. Ketika PR Hotel yang menjual “life style” namun malah membidik media ekonomi dan politik, bisa jadi berita dari Hotel di mana PR tersebut bekerja tidak akan dimuat. Hal lain yang biasanya terjadi dan jarang mendapat perhatian dari seorang PR adalah ketika perusahaan atau organisasi tempat PR tersebut bekerja sedang dirundung masalah. Saat ditanya wartawan tentang kasus yang terjadi, bukannya memberi penjelasan dengan cerdas, PR tersebut malah lebih suka mengatakan: “No comment!”. Hal inilah yang membuat wartawan mencari informasi dari sumber lain dan terkadang informasi tersebut tidak terkontrol kebenarannya. Di sini juga menunjukkan bahwa PR terkesan menutup-nutupi informasi yang ada, tidak kooperatif dan terpotong-potong dalam menyampaikan informasi.
Wartawan sebagai pencari informasi yang harus bekerja berdasarkan prinsip-prinsip jurnalistik juga akan mencari informasi yang mungkin saja tidak menguntungkan organisasi. Sifat pekerjaan wartawan menuntut adanya kerja sama yang baik antara PR dan wartawan. Sedangkan PR mempunyai tugas utama yaitu membangun citra yang baik menyangkut institusi atau perusahaan tempat dia bekerja. Salah satu caranya yaitu dengan mendapatkan publisitas dalam media massa. Menyadari hal ini maka selayaknya seorang PR harus mampu membangun relasi yang baik dengan wartawan. Untuk itu ia harus memahami bagaimana wartawan bekerja, bagaimana mekanisme kerja di ruang redaksi, siapa yang paling berwenang untuk memutuskan suatu berita dipublikasikan, dan sebagainya. Dengan adanya relasi yang baik, ketika suatu saat organisasi tempat PR bekerja mengalami hal-hal negatif, wartawan mungkin akan mencari dan memberi informasi penyeimbang sehingga liputan tentang organisasi tersebut bisa lebih netral. Dalam hal ini hubungan baik dengan wartawan bukan saja bermanfaat untuk memperoleh liputan yang memadai sehingga citra organisasi tetap terjaga, namun agar relasi antar PR dengan wartawan tidak hanya sebatas hubungan kerja. Dengan demikian keterbukaan kepada para wartawan menjadi penting untuk menumbuhkan saling percaya antara PR dan wartawan. Hubungan pertemanan yang baik biasanya akan melahirkan kerja yang efektif bagi wartawan maupun bagi PR.
Media relations tidak hanya terkait dengan kepentingan sepihak, organisasi saja ataupun media massa saja, melainkan kedua pihak memiliki kepentingan yang sama. Dengan demikian, akan membuat kerjasama menjadi win-win solutions. Dalam hal ini, perusahaan atau praktisi PR harus benar-benar memahami kepentingan-kepentingan perusahaan media,wartawan serta insan-insan media lain yang terlibat di dalam aktivitas industri media itu sendiri. PR dan mitranya wartawan atau pers, tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Keduanya saling membutuhkan, membentuk kinerja yang positif. PR menjadi sumber berita bagi media, sedang media menjadi sarana publisitas bagi PR perusahaan agar lebih dikenal oleh publik atau masyarakat. Kedua belah pihak, PR dan media harus saling memiliki kepercayaan bahwasanya PR bukan “bulan bulanan” media dan media tidak boleh diperalat oleh PR, sehingga memuat pemberitaan yang mencerminkan kebohongan kepada publik.
Di sini, penulis tidak setuju dengan adanya relasi “Love-Hate Relationship”, karena sebenarnya pekerjaan wartawan dan PR tidak saling bertentangan. Seringkali antara keduanya bersinggungan dan karenanya perlu saling mendukung. Yang menjadi masalah adalah antara kedua pihak tidak tahu bahkan tidak mau tahu karakter dan tujuan dari pekerjaan satu sama lain. Bila PR sering dituduh menutup-nutupi informasi, menurut penulis pernyataan tersebut tidak tepat. Karena secanggih apapun rekayasa yang akan ditampilkan oleh PR, hal itu tidak boleh berdasarkan pada informasi palsu. Sebuah kebohongan akan terbuka pada waktunya, dan resiko terhadap kebohongan tersebut akan berdampak besar. Langkah yang perlu ditempuh seorang PR adalah memelihara transparansi informasi, dalam hal ini bukan berarti menyampaikan seluruhnya terhadap wartawan, namun tetap menyaring informasi yang akan diberikan. “Love-Hate Relationship” memang merupakan persoalan klasik. Ada dua kepentingan yang terkadang tidak hanya berbeda, bahkan berbenturan. Namun, dua kepentingan yang kadang bertolak belakang itu (Jurnalis VS Praktisi PR), dengan masing-masing pemahamannya yang harus terus menerus dijembatani. Aktivitas media relations seharusnya dapat dimanfaatkan sebagai sarana komunikasi yang baik antara perusahaan dengan publiknya, yakni wartawan dan instansi media masa. Dengan komunikasi yang baik, diharapkan tujuan kedua belah pihak juga dapat tercapai. Relasi tersebut tentunya disertai harapan agar berbagai kegiatan yang dijalankan organisasi diliput media secara jujur, akurat, dan berimbang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H