Mohon tunggu...
Natalia Ratna
Natalia Ratna Mohon Tunggu... -

a blessed girl

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Potret Kesederhanaan Kehidupan

14 Juni 2015   22:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:03 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Sepasang suami istri yang memasuki usia senja terlihat asik bercengkerama di depan sebuah rumah sederhana. Beberapa saat kemudian, datang beberapa orang berkunjung ke rumah sederhana itu membawa buah tangan ala kadarnya. Sambil menikmati teh buatan Sang Suami, Mbah Sumbuk-panggilan keduanya, menyambut tamunya dengan sumringah. Mbah Sumbuk kakung dan putri, begitu mereka dipanggil, adalah sosok pasangan bersahaja yang dikenal warga desa sebagai buruh tani sewaan untuk menggarap ladang. Mereka hanya tinggal berdua di sepetak tanah yang terletak di lereng Merapi, tepatnya Dusun Tanen, Desa Hargobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta. Mereka dikaruniai satu orang anak yang kini telah berkeluarga dan menetap di Jakarta. Lebaran adalah saat yang paling dinanti sepasang Simbah ini karna saat itulah anak semata wayangnya pulang ke rumah, meski seringkali Mbah Sumbuk harus menerima kenyataan kalau anaknya tak dapat selalu pulang.

Mbah Sumbuk putri memiliki keterbelakangan mental sejak jatuh di sawah 10 tahun yang lalu. Seringkali, tanpa sebab yang pasti, Mbah Sumbuk putri bisa tiba-tiba tertawa atau menangis dengan sedemikian keras. Ketika sakit kepala menyerangnya, Ia hanya dapat terbaring lemas di dipan sambil ditemani ayam-ayamnya. Keadaan yang demikian tentu tak terlalu membantu Mbah Sumbuk kakung dalam menjalani rutinitas hariannya. Betapa tidak, hari-hari yang harus diisi dengan kegiatan yang bisa menyambung hidup sudahlah sulit, namun Mbah Sumbuk kakung tetap harus memberikan perhatian bagi Mbah Sumbuk putri. Kendati demikian, berkat ketelatenan dan kesetiaan Mbah Sumbuk kakung, kondisi Mbah Sumbuk putri kini sudah semakin membaik. Mungkin tak disadarinya, tapi bagaimana Mbah Sumbuk kakung merawat Mbah Sumbuk putri menggambarkan cinta yang sungguh besar.

Seperti yang diungkapkan oleh Mas Bagus, tetangga Mbah Sumbuk saat bercerita mengenai kehidupan Mbah Sumbuk, “Mbah Sumbuk itu bersahaja, sederhana. Mungkin menurut orang hidupnya itu kekurangan, tapi bagi Mbah Sumbuk itu kecukupan. Saya sering minta tolong Mbah Sumbuk untuk ngerjain sawah saya dan dia selalu kelihatan bersemangat saat mengerjakan, dan terlihat bersukacita berapapun upah yang saya kasih”.

Keteladanan hidup dapat diambil dari kisah Mbah Sumbuk ini. Meski memiliki banyak keterbatasan, namun tak membuatnya putus harapan dan menyerah begitu saja. Hamparan sawah hijau menjadi ladang rejeki bagi Mbah Sumbuk. Meskipun bukan sawah miliknya, namun Ia tetap senang menggarap sawah orang lain demi menghidupi dirinya dan keluarganya. Dengan upah yang tak seberapa, semua ia lakukan agar tetap dapat bertahan hidup bersama dengan Istrinya. Berbekal semangat dan rasa sayang kepada Sang Istri, Ia terus berjuang di sisa tenaganya yang semakin renta. Pantang baginya untuk hidup dari belas kasihan orang lain.

Orang kaya dan orang miskin berbagi udara yang sama di bawah langit Jogja. Namun kebahagiaan sejati akan tetap miskin bagi orang kaya yang tak pernah merasa cukup. Tak dapat dipungkiri, kita seringkali mengeluh karna di dalam rumah terasa panas sedangkan kipas angin sedang rusak atau tidak ada AC di rumah. Apapun kondisinya, sudah seharusnya kita bersyukur dan menikmatinya. Masih banyak orang-orang di luar sana yang tinggal di tempat kumuh dan jauh dari kata sehat, Mbah Sumbuk misalnya. Mereka tidak tahu atau bahkan melihat tentang transformasi Jogja. Pembicaraan orang tentang kemacetan lalu lintas, pro kontra hotel dan gedung bertingkat yang sedang ramai dibangun juga tak diketahuinya. Yang mereka tahu, mereka bahagia menjalani hidupnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun