Natalia Serani
TAHU kan kelompok lawak Srimulat? Kelompok itu pernah bermarkas di Senayan, Jakarta persis sebelah gedung DPR. Namun tidak berapa lama Srimulat gulung tikar dari Senayan. Apa pasal? Anekdot menyebutkan karena Srimulat kalah lucu dibandingkan dengan tetangganya, DPR, yang kian hari bertambah lucu.
Beberapa tahun lalu di depan pintu gerbang utama DPR, sekelompok pedagang menjual cermin besar. Namun kemudian para pedagang itu digusur. Anekdot menyebutkan para pedagang itu diusir karena DPR tersinggung, seolah-olah penjual cermin itu ‘ngenyek’ meminta anggota dewan ‘ngaca’, bertanya kepada diri sendiri apakah sudah patut mewakili rakyat ataukah masih mewakili diri sendiri.
Pada sekitar lima tahun silam, DPR juga ingin membangun gedung baru dengan anggaran Rp1,8 triliun. Alasan perlunya gedung baru karena gedung lama DPR sudah miring 7-8 derajat. Harian Media Indonesia pada edisi Mei 2010 menurunkan editorial yang sangat sarkastis berjudul: Penghuni Miring di Gedung Tegak. Akhirnya gedung baru itu tidak dibangun walau anggarannya sudah berkurang lebih 100% hingga hanya Rp800 miliar.
Setelah Srimulat sudah tidak ada di Senayan, DPR sepertinya tak punya saingan lagi. DPR Kian lucu. Sering menggunakan logika-logika jungkir balik seperti yang dipertontonkan para pengibur. Makanya dulu Presiden Abdurrahman Wahid bilang DPR seperti Taman Kanan-Kanak.
Lelucon paling anyar yang dipertunjukkan DPR adalah soal dana aspirasi sebesar Rp20 miliar untuk tiap anggota DPR per tahun. Jadi totalnya Rp11,2 triliun. Coba cermati alasan DPR meminta dana aspirasi seperti yang dikemukakan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah ini. DPR meminta lagi dana aspirasi padahal sudah pernah mencuat dan dibahas pada DPR periode lalu, namun batal direalisasikan karena banyaknya penolakan dari masyarakat.
"Dulu salah paham uangnya untuk DPR, ini uang untuk publik, untuk rakyat. Uang untuk rakyat ini selama ini susah ngambilnya karena melalui jalur birokrasi panjang," kata Fahri Hamzah di gedung DPR, Jakarta, Junat (11/6/2015) (Detik.com).
Jalur birokrasi dimaksud kata Fahri, yaitu mekanisme pengusulan pembangunan daerah melalui Musrenbang, mulai dari tingkat Kecamatan, Kabupaten/Kota, Provinsi hingga pengusulan dan pembahasan di tingkat pusat. Barulah program itu direalisasikan pemerintah.
"Sekarang birokrasinya diperpendek. Kalau ada jembatan rusak, kasih lihat anggota DPR, datang, difoto, disetujui Pemda setempat, dan jadi bahan di DPR untuk disegerakan. Sehingga rakyat kalau ada masalah cepat, jangan tunggu seperti sekarang. Jalan lubang saja sudah mati berapa orang," papar politisi PKS itu.
Terkesan bahwa dulu rakyat yang salah paham, DPR tidak salah paham. Sekarang DPR sangat clear bahwa duit untuk rakyat. Hanya penyalurannya lewat lewat ‘jatah” anggota DPR. Tapi pertanyaannya, mengapa Rp20 miliar? Apa basis hitungannya? Mengapa tidak Rp200 miliar? Rp500 miliar? Mengapa pula tidak Rp1 miliar atau Rp2 miliar? Apa patokannya sehingga menetapkan Rp20 miliar?
Kesan kedua, rupanya DPR tidak suka dengan birokrasi yang tertib dan disiplin tentang keuangan. DPR ingin potong jalur birokrasi dan main ambil saja uang. DPR lupa di warung kaki lima modern sekarang ini adan tertib keuangan. DPR memandang prosedur mencair keuangan saat ini terlalu birokratis dan berbelit. Anehnya, jika eksekutif mengalihkan dana yang sudah dialokasikan ke pos anggaran lain, DPR mengecam dan menganggap itu sebagai tidak tertib anggaran bahkan penyimpangan.