Mohon tunggu...
Natalia Serani
Natalia Serani Mohon Tunggu... -

Renang, Badminton, Terjun Payung

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menyongsong Pilkada Flores Timur

31 Mei 2015   22:16 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:25 1184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kapan Nagi Bisa Lebe Bae?

Oleh Natalia Serani

TAHUN 2010 publik Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) seperti tersihir oleh gerakan anak-anak muda yang mengibarkan panji Soga Naran Lewotanah (Mengangkat Derajat Kampung Halaman) alias Sonata. Warga tersentak. Luar biasa luhur dan mulia. Ada harapan baru, ada janji baru yang ditabur anak-anak muda itu.

Sonata muncul pada pilkada. Anak-anak muda yang mengibarkan tagline Soga Naran Lewotanah itu adalah Yoseph Lagadoni Herin (Yosni) berpasangan dengan Valens Tukan yang diusung PDIP dan sejumlah partai lain pada pilkada 3 Juni 2010. Pasangan Yosni-Valens kemudian memenangi pilkada untuk memimpin Flores Timur lima tahun ke depan.

"Hari ini adalah saatnya! Saatnya kita menabuh genderang perang. Perang telah dimulai, kita sudah berada di tengah gelanggang. Nuho tawa timu teti, tite todi timu teti tai. Bliwan gere warat lali, tite todi warat lali tai. Pehen peda sadik gala lali namang tukan. Ake so'ot, ake kedoko (terjemahan bebas: jika perang di timur, kita akan ke timur, jika pertempuran di barat kita bergegas ke barat. Bawa parang dan tombak menuju gelanggang laga. Jangan takut). Karena inilah saatnya bagi kita menjaga kehormatan dan kewibawaan Lewotanah. Inilah saatnya tite Soga Naran Lewotanah," kata Yosni dalam orasi politiknya saat deklarasi Koalisi Sonata di aula Gedung Paroki Santu Ignatius, Waibalun, Larantuka, Senin (15/3/2010), ( Pos Kupang 17 Maret 2010).

Yosni menceriterakan pengelanaannya selama 18 tahun mulai dari Timor, Sumba, Bali hingga Jakarta. "Lima tahun silam saya pulang ke Lewotanah Lamaholot dengan mengusung moto: Lewo Soron Lodo tana tapin balik (Kampung telah melahirkan, giliran kita mengabdi). Saya pulang sebagai `orang asing' di rumah sendiri. Saya tidak mengenal secara baik fisik rumah saya, Lewotanah Lamaholot ini. Tapi hai para orang tua dan saudara/i ku sekalian, saya pulang sebelum petang membayang dan malam belum mengubur cahaya. Saya pulang dengan bara di mata dan api di kepala. Karena saya tahu, tanah pusaka tak ingin berhala dengan mata meredup abu....," katanya berpuisi disambut gemuruh tepuk tangan. Luar biasa. Langit pun cerah.

Yosni dalam pidato mengatakan impiannya adalah paling lama 5 tahun ke depan, Flores Timur (orang Flores Timur menyebut Tanah Air mereka dengan Nagi) menjadi kabupaten mandiri pangan melalui gerakan diversifikasi tanaman pangan.Yosni bertekad menjadikan Flores Timur sebagai ‘Kabupaten Jagung'.

Lima tahun segera berlalu. Bliwan telah sampai di titik usai. Kenube, peda dan gala sudah lama disimpan di lango belen (rumah adat). Sepatu kets yang menandai langkah bergegas orang lapangan telah bersalin dengan sepatu mengkilap lantaran disemir tiap pagi. Tak ada upacara makan rengki (tumpeng) di namang (halaman rumah adat) yang menandai sebuah penghormatan kepada yang berhasil. Tak ada gemuruh tepuk tangan, hentakan kaki dan sorak sorai hedung (tarian perang) mengiringi ata kebelen maso namang (para elite masuk halaman rumah adat) yang menandai sebuah kesuksesan di medan tempur. Bara di mata telah padam, api di kepala sudah redup. Yang tinggal hanya deretan janji menambah luka lambung langit.

Kini masyarakat Flores Timur menjadi juri yang jujur memberi nilai apakah ‘Kabupaten Jagung’ yang dijanjikan, sudah jadi kenyataan. Masyarakat Nagi lah yang merasakan apa yang telah mereka nikmati dari tahun ke tahun, dari periode ke periode, dari rezim ke rezim. Mereka lah yang membuat neraca komparasi para pemimpin yang silih berganti datang dan pergi. Tak perlu banyak berdebat, bersilat kata atau mencari-cari alasan pembenaran. Coba tanya masyarakat dari ujung Boru sampai Tanjung Bunga, dari ujung Pamakayo di Solor sampai Waiwadan di Adonara apa yang telah dibuat para pemimpin selama menjabat?

Warisan kekecewaan masih terus terdengar. Memang tak mudah membuat banyak orang puas. Rakyat tetap menggerutu di sudut-sudut kota, di bale-bale desa serta di lango-lango belen maupun kantor-kantor kelurahan. Kehidupan dirasa semakin sulit. Pertanyaan klasik yang selalu muncul adalah, pembangunan untuk siapa? Dari rezim ke rezim hanya sekelompok kecil orang yang punya jabatan dan menjadi bagian ‘lingkaran dalam’ yang bisa menikmati hasil pembangunan itu. Mereka bisa leluasa pelesiran saban bulan ke Jakarta atau kota-kota lain atau melancong jauh ke Lisabon Portugal sebagai Sister City Larantuka. Apa yang dicari di Lisabon dan apa hasilnya dari Portugal? Apakah menjual ritual yang sudah berabad ‘Semana Santa’? Rasanya tanpa pemerintah menjual dalam paket pariwisata pun, pihak swasta sudah lama menjual ‘Semana Santa’ sebagai paket wisata rohani dan hasilnya terbilang sukses dari tahun ke tahun.

Selebihnya? Pegawai negeri rendahan dan para honorer tetap saja terseok-seok. Petani tetap saja kesulitan mendapatkan pupuk. Nelayan tetap saja kesulitan mendapatkan bahan bakar untuk melaut. Rakyat tetap saja kesulitan mendapatkan air bersih dari pipa yang dipasang sejakzaman pastor-pastor Eropa. Ibu-ibu tetap kesulitan menjual hasil bumi dan hasil laut lantaran daya beli rakyat tidak kunjung naik. Rakyat kian frustrasi menghabiskan waktu dengan minum arak kemudian mabuk melupakan sesaat beban hidup yang kian berat. Atau bapak-bapak dan orang muda yang kecewa mencari hiburan dengan bermain kartu bergiliran dari rumah ke rumah melupakan omelan isteri tentang harga yang semakin melambung. Para ibu rumah tangga terus mengeluhkan utang tak pernah lunas karena pinjaman dari bulan ke bulan terus bertambah. Sementara ‘eret mata’ atau ‘kumpu kao’ (gotong royong mengumpulkan dana untuk keluarga yang menikah atau meninggal) terus berjalan. Di saat rakyat kecil didera masalah, para elite terus bermain kalkulator menghitung pemasukan. Di saat rakyat kecil serius memikirkan ‘apa yangmesti dimakan esok hari’, para elite sibuk memikirkan ‘siapa yang mesti dimakan hari esok’. Memang dua posisi yang saling berhadapan.

Memang ada hasil pembangunan. Tetapi menimbulkan kecemburuan karena dirasa ada diskriminasi. Misalnya pembuatan talut di pesisir pantai. Desa Waibalun kebagian proyek talut. Menjadi bahan perguncingan bahwa Desa Waibalun mendapat proyek talut karena tiga putra desa itu berada di puncak kekuasaan, yakni Valens Tukan sebagai wakil bupati, Nani Bethan (Golkar) serta Anton Hajon (PDIP) duduk sebagai pimpinan DPRD Flores Timur. Sedangkan Desa Lewolere, tetangga Desa Waibalun yang abrasinya dianggap lebih parah dari Desa Waibalun tidak kebagian proyek talut. Desas desus menyebutkan karena Desa Lewolere tak punya orang penting di pemerintahan ataupundewan setelah berakhirnya masa jabatan Michael Tokan asal Lewolere sebagai Ketua DPRD Flotim periode yang lalu. Benar atau tidak walaualam. Tentu saja pemerintah dan DPRD punya alasan membangun talut di Desa Waibalun.

Kini Flores Timur bersiap mengikuti pilkada pada tahun 2017. Meski masih jauh sudah muncul nama calon bupati. PDIP misalnya telah memutuskan mengusung Ketua DPC PDIP Flores Timur Anton Hajon sebagai kandidat bupati dalam pilkada itu (baca: Zonalinenews.com). Bisa jadi nanti Golkar mengusung Ketua DPD II Golkar Flores Timur Nani Bethan sebagai calon bupati. Belum diketahui apakah Valens Tukan juga akan maju dan kendaraan (partai politik) manakah yang hendak dipakai. Juga belum diketahui apakah Yosni masih akan maju, karena tempohari sudah berjanji hanya ingin satu periode. Tentu saja sejumlah nama lain dari Adonara misalnya juga bersiap muncul. Jabatan gubernur/bupati/wali kota, tetap saja menarik walau sebagianbesar bupati/wali kota/gubernur berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seusai menjabat. Kekuasaan dan takhta memang nikmat. Nama-nama lain belum muncul, masih menghitung peluang dan menakar kekuatan logistik.

Entah siapa saja calon bupati nanti, rakyat Flores Timur mestinya semakin bijak. Tidak terpukau orasi yang puitis, atau koda kelake (kata-kata tetua adat) yang menawan serta ritual-ritual magis yang biasa digunakan nenek moyang di lango belen sebelum turun ke gelanggang perang, atau janji-janji muluk. Rakyat Flores Timur tentu mempunyai rekam jejak para kandidat, karena mereka yang maju menjadi kandidat bupati pasti selama ini juga sudah berada di lapisan elite entah menjadi pimpinan partai, pimpinan/anggota DPRD, atau petahana, kepala dinas, atau pengusaha. Intinya mereka yang berada di kasta atas dalam masyarakat.

Rekam jejak mereka tentunya terbuka dan terang benderang. Rakyat pasti tahu kandidat mana saja yang selama ini hanya mengemas kepentingan pribadi atas nama kepentingan rakyat. Rakyat tentu tahu kandidat mana saja yang selama ini mendulang proyek pemerintah dengan memakai nama perusahaan sanak keluarga. Rakyat tentu tahu kandidat mana saja yang selama ini hanya menumpuk kekayaan pribadi. Rakyat tentu tahu kandidat mana saja yang selama ini hanya membagi-bagi proyek kepada keluarga. Rakyat juga tentu sudah tahu kandidat mana yang selama ini memang nyata berbuat untuk kepentingan rakyat banyak, bukan untuk kepentingan sanak keluarga, famili dan kerabat. Karena itu jangan terpukau janji sesaat, nantinya mengeluh dan menggerutu lima tahun. Karena itu jangan terkecoh tawaran manis karena akan menyandera lima tahun ke depan. Jangan biarkan Nagi terus berkubang di titik nadir, ketika kabupaten lain telah bergerak jauh menuju titik zenith.

Kita berharap lima tahun ke depan ada kemajuan berarti. Jangan sampai salah memilih orang yang kemudian membuat Nagi Tanah berputar di situ-situ saja. Jangan menyia-nyiakan waktu lima tahun dengan salah memilih. Memilih bupati adalah memilih pemimpin yang melayani rakyat, bukan sosok ‘seolah-olah pemimpin’ yang sibuk menumpuk kekayaan pribadi atau pemimpin yang hanya wira-wiri ke Jakarta untuk hal-hal yang remeh.

Kalau ingin Flores Timur segera lebih maju, jangan pilih orang yang jelas-jelas tamak dan serakah. Flores Timur butuh pemimpin yang serius bekerja dan mengabdi, bukan sosok yang pandai berpidato, pintar berpuisi atau kreatif menilap uang rakyat alias korupsi untuk mengisi pundi-pundi pribadi dan keluarga serta kerabat.

Ketamakan bisa dengan kasat mata terlihat dan ditelurusi. Di kabupaten yang tergolong miskin, ada saja pejabat yang bisa membangun istana megah. Ketamakan bisa juga terlihat dari nafsu berkuasa yang luar biasa. Merasa serba bisa, bisa menjadi pejabat ini, bisa menjadi pimpinan itu, lalu bisa menjadi bupati. Seolah segala kekuasaan dan jabatan hanya bisa menumpuk di satu tangan, yakni tangan mereka. Pemimpin jangan hanya merasa bisa, tetapi juga harus bisa merasa alias harus punya perasaan. Pemimpin harus mengaca diri, jangan hanya bisa mematut-matut diri. Mereka jangan merasa hanya mereka yang punya talenta, sedangkan yang lain hanyalah dayang-dayang yang menghiasi langkah mereka. Ketamakan juga bisa dilihat dari gaya hidup yang serba ‘wah’ hanya dalamtempo singkat tanpa ada rasa sungkan atau risi dengan warga sekitar.

Di era keterbukaan informasi ini, publik Flores Timur tentu punya referensi tentang pemimpin. Masyarakat Flotim tentu iri melihat Bupati Banyuwangi, Jawa TimurAnas Azwar yang sukses membangun daerahnya. Kita iri melihat Walikota Surabaya Tri Rismaharini yang sukses mengubah wajah kota pahlawan. Kita iri melihat Wali Kota Bandung Ridwan Kamil. Kita iri melihat kepala daerah lain yang benar-benar serius dan sukses membangun daerahnya. Kita tentu rindu Bupati Flores Timur seperti mereka. Itulah harapan kita, itulah impian kita, itulah kerinduan kita. Satu hal yang dibutuhkan dari pemimpin Flores Timur adalah orang yang sungguh-sungguh berbakti untuk kesejahteraan rakyat banyak. Artinya orang yang telah selesai dengan dirinya sendiri. Orang yang tidak sekadar mencari jabatan untuk mengangkat martabat keluarga dan suku, apalagi orang yang sekadar mencari gaji dan proyek.

Dalam obrolan-obrolan santai, warga Flores Timur bertanya-tanya kapan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membidikkan alat penyadapnya ke Flores Timur? Rakyat rupanya sudah geram dengan perilaku elite yang seakan memamerkan kemewahan di tengah kemiskinan rakyat. KPK perlu turun memeriksa siapa saja yang patut dicurigai dan diduga. ‘Perasaan rakyat’ mengatakan banyak yang nyolong uang rakyat secara haram, tetapi dalam hukum, ‘perasaan’ bukanlah alat bukti. Karena itu tugas KPK adalah mencari dan menemukan alat bukti itu agar ‘perasaan rakyat’ berubah menjadi fakta hukum yang bisa menggiring siapa pun yang suka maling uang rakyat ke ruang pengadilan. Semoga.*

Larantuka, Mei 2015

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun