Natalia Serani
PRAHARA yang menerpa Partai Golkar kian berliku. Walau pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM Yasona Laoly telah memberikan pengakuan kepada kubu Agung Laksono dengan merujuk pada putusan Mahkamah Partai Golkar, kubu Aburizal Bakrie belum mau menerima. Upaya jalur hukum masih ditempuh.
Walau berjanji tidak akan memecat kadernya di DPR dan tidak akan melakukan sapu bersih, kubu Agung yang berada di atas angin sudah menegaskan sikap akan mengganti pimpinan Fraksi Partai Golkar DPR. Ketua Fraksi Golkar DPR Ade Komaruddin dan Sekretaris Bambang Soesatyo serta Ketua Komisi III DPR Aziz Syamsudin serta Ketua Komisi XI DPR Fadel Muhammad akan dicopot.
Bambang Soesatyo bereaksi keras dan menilai Agung sedang ‘mimpi basah’ karena sudah merasa puas setelah seolah-olah ada pengakuan dari Menkumham. Tetapi fakta memperlihatan bahwa ada loyalis Aburizal Bakrie (ARB) seperti Mahyudin, Erwin Aksa dan Erlangga Hartarto sudah meninggalkan ARB dan merapat ke Agung Laksono. Bambang tak kurang keras menilai mereka yang merapat ke kubu Agung Laksono seperti ‘pelacur politik’.
Ade Komaruddin dan Bambang Soesatyo sejak pekan lalu sudah menegaskan sikap bahwa tidak perlu repot menggusur mereka karena mereka akan mundur dengan sendirinya jika pengadilan memutuskan kubu Agung yang memimpin Golkar. Agar tidak difitnah main di dua kaki, Ade dan Bamsoet serta juga sejumlah pimpinan alat kelengkapan dewan (AKD) bersedia mundur. Bahkan Ade juga mengklaim Wakil ketua MPR dari Golkar juga akan mundur jika kubu Agung Laksono yang menang. Tetapi baru berselang beberapa jam, Wakil Ketua MPR dari Golkar Mahyudin berlabuh di kubu Agung Laksono. Jadi rupanya pernyataan bahwa pimpinan AKD akan rame-rame mundur hanya klaim sepihak Ade Komaruddin.
Dalam beberapa dekade terakhir setiap Munas Golkar menghasilkan perpecahan kemudian mendirikan partai baru. Munculnya partai-partai baru tersebut dipicu oleh dua hal. Pertama pihak yang menang tidak mengakmodasi pihak yang kalah dan kedua pihak yang kalah tidak menerima kekalahan karena merasa dicurangi.
Namun menurut saya, sumber yang paling mendasar adalah karena para kader dan politisi tidak loyal kepada partai dan sistem dalam partai. Para kader ternyata lebih loyal kepada pimpinan atau ketua umum dan sekjen partai. Dengan demikian, sering terdengar munculnya ‘kubu ketua umum’, ‘kubu sekjen’, ‘kubu wakil ketua umum’ dan kubu-kubu lain. Hal itu berarti loyalitas mereka kepada orang-orang yang memegang kekuasaan di puncak pimpinan, bukan pada sistem dan mekanisme di dalam partai.
Seseorang kader yang loyal kepada partai pasti tidak akan terjebak pada kubu-kubuan saat terjadi sengkarut di partai pascamunas, kongres, atau pun muktamar partai tersebut. Seseorang yang loyal kepada partai dan kepada sistem akan mudah diterima pihak manapun yang bersengketa.
Menurut saya, Ketua DPR Setya Novanto tergolong sedikit politisi yang setia dan loyal kepada partai. Dia tidak ikut dalam kubu-kubuan. Buktinya meski Partai Golkar berpindah rezim dari Harmoko ke Akbar Tandjung, kemudian ke Jusuf Kalla lalu ke ARB, Setya Novanto tetap saja eksis denhgan posisi-posisi penting yang akhirnya mengantar dia ke kursi Ketua DPR. Bahkan ketika Munas Golkar di Riau yang memecahkan Surya Paloh dan ARB, Setya Novanto tetap bersahabat baik dengan Surya Paloh walau dia sendiri menjabat Bendahara Umum Partai Golkar yang dipimpin ARB. Dia tidak memutuskan tali silaturahim dengan Ketua Umum Partai NasDem itu.
Bagi sebagian kader mungkin menganggap sikap Novanto tidak tegas bahkan plin-plan dan bunglon. Tetapi menurut saya, justru Novanto memperlihatkan sikap sebagai politisi yang piawai dan tidak terombang-ambing patron-patron dalam partai. Dia tidak ingin mengurung dirinya dalam salah satu kubu. Tetapi dia ingin berada di mana-mana dengan tujuan memperjuangkan kepentingan dan aspirasi konstituennya. Hanya politisi yang mengutamakan konstituen lah yang tidak ingin terkotak-kotak dan tersandera dalam kubu-kubuan. Bagi politisi seperti ini, partai politik lebih penting, ketimbang orang yang berada di belakangan partai politik itu. Partai politik harus tetap dijaga sebagai kendaraan untuk mengartikulasikan kepentingan konstituen, bukan berhamba pada pemimpin partai politik yang bisa diganti secara periodik. Pimpinan partai politik boleh datang dan pergi, tetapi politisi harus tetap eksis dalam segala cuaca.
Di tengah kerasnya kubu Agung dan ARB berseteru dan tanda-tanda kemenangan ada di kubu Agung, ternyata sebagian elite kubu Agung tidak bersikap keras terhadap Setya Novanto seperti halnya mereka bersikap keras terhadap Ade Komaruddin dan Bambang Soesatyo.