Mohon tunggu...
Natalia Oetama
Natalia Oetama Mohon Tunggu... Penulis - Engineering murtad yang banting stir jadi penulis serabutan

life traveler, story collectors, sky admirer, sunset lover, crafting stories.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kurir Bahagia

31 Desember 2020   19:25 Diperbarui: 31 Desember 2020   21:15 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Bahagia itu seperti kue. Ia ada justru untuk dibagi..." seorang teman membuka suara. Bunyi kipas angin yang berputar di atas kepala kami menjadi musik latar satu-satunya. Sore itu, di hotel kecil di Jalan Poppies di Kuta, Bali, saya belajar makna kebahagiaan.

*

Bahagia, kata yang akhir-akhir ini dijadikan harapan dan mimpi dari banyak orang. Seperti tujuan akhir, kata ini dielu-elukan. #Janganlupabahagia telah menjadi mantra yang digemakan di mana-mana. Tapi sebenarnya apa makna di balik kata "bahagia" ini?

Pertanyaan ini membawa angan saya melayang jauh ke suatu sore di Kuta, Bali. Ketika itu saya, dan dua teman seperjalanan lainnya tengah duduk santai di kamar sederhana berukuran tiga kali empat meter persegi. Petualangan menyusuri Bali -- Lombok -- Lembongan dan kembali ke Bali yang kami lakukan dalam seminggu ini akan berakhir besok.

Perjalanan memang selalu punya cara tersendiri untuk membuatmu merenung dan berpikir ulang. Saya lupa apakah Chriswan atau Kinkin yang membuka perbincangan tentang bahagia ini. Tak dapat dibantah, perjalanan penuh warna seminggu silam memang membuat hati kami ruah dengan bahagia. Hingga sebuah pertanyaan impulsif tentang makna bahagia meluncur, dan membuat kami kembali diam dengan pikiran masing-masing.

"Koq bisa?" tanya saya menanggapi Chriswan yang menganalogikan kebahagiaan sebagai sebuah kue. Kinkin yang ketika itu duduk di pinggiran kasur, ikut mengernyit, memandang ke arah Chriswan dan menanyakan hal yang sama, "Maksudnya?"

Setelah Chriswan tertawa dengan lebar, lalu diceritakannya maksud dari analogi kue ini. Bahagia itu ibarat memiliki seloyang kue. Kue ini dapat disimpan dan dijaga sepenuh hati. Namun, selayaknya kue, ia tak akan mampu bertahan sepanjang masa. Ini alasan terbesar mengapa sebaiknya kue ini dibagikan selagi hangat.

Alasan lainnya, dunia berputar dan tak selamanya kita punya cukup bahan untuk meracik seloyang kue. Di satu dan lain kesempatan, kuemu habis, bahanmu tak ada dan tenagamu tak cukup untuk membuatnya kembali. Ini mengapa berbagi kue dan memberikannya kepada orang-orang terkasih dan teman-teman terdekat menjadi begitu penting.

Bukannya bermaksud mengharapkan pamrih, berbagi kue justru dilandasi pada kesadaran bahwa di potongan kue kita terselip kebahagiaan orang lain. Dengan berbagi dan menikmatinya bersama, rasa kue bisa menjadi berlipat ganda. Perlahan tapi pasti, kebahagiaan didistribusikan dalam hal-hal yang kecil nan sederhana. Tapi kebaikan kecil ini mungkin saja mengubah hidup seseorang.

Hukumnya sederhana: memberilah maka kamu akan diberi, menyantunilah maka kamu akan disantuni. Seloyang kue yang dibagi-bagi akan menjadi benih kecil yang kelak akan berbuah pada waktu dan tempatnya sendiri.

Dua belas tahun telah lewat dari pertama kali konsep berbagi bahagia ini saya dengarkan. Di 2020, di saat pandemi menyerang dan pergerakan semua orang menjadi terbatas, definisi berbagi kue ini menjadi semakin relevan dan semakin penting.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun